Berita Viral
LSM Datang, Bikin Wali Murid Heran Guru dan Kepsek Jadi Tersangka Imbas Niat Bantu Honorer
Bantuan itu berupa iuran yang dipungut dari wali murid yang sebelumnya sudah sepakat dengan jumlah iuran Rp 20 ribu untuk gaji guru honorer.
Ringkasan Berita:
- Abdul Muis, guru SMAN 1 Luwu Utara dipecat karena menarik iuran siswa.
- SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, lokasi kasus iuran Rp20 ribu terjadi.
- Iuran sukarela guru honorer dilaporkan LSM, berujung penjara dan pemecatan.
TRIBUNJATIM.COM - Wali murid heran guru dan kepala sekolah alias kepsek dipenjara dan dipecat imbas berniat membantu honorer setiap bulannya.
Bantuan itu berupa iuran yang dipungut dari wali murid yang sebelumnya sudah sepakat dengan jumlah iuran Rp 20 ribu untuk gaji guru honorer.
Guru yang terkena imbas itu adalah Abdul Muis (59) yang bertugas di SMAN 1 Luwu Utara.
Ia dipecat setelah menarik iuran Rp 20 ribu dari siswa.
Baca juga: Imbas Kepsek Diduga Diancam Wali Murid, Puluhan Siswa Gelar Aksi Damai Depan Polsek Ungkap Tuntutan
Luwu Utara terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan, berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Petaka itu bermula setelah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membuat pelaporan hingga Abdul Muis dan rekannya yang menjabat kepala sekolah (kepsek), Resnal dipenjara.
Abdul Muis dan kepsek menerima Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) setelah memungut iuran.
Meski, orang tua siswa sebenarnya tak keberatan dengan iuran tersebut.
Baca juga: Nasib Siswa SMP Dipukuli Tapi Teman-teman Malah Provokasi, Kepsek Minta Maaf: Saya Jamin Keamanannya
Hal itu dinilai sebagai bentuk kepedulian terhadap guru honorer.
Abdul Muis sempat menceritakan momen dirinya mengetahui fakta soal surat pemecatan yang ditanda tangani sang gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman.
Surat keputusan (SK) Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD memutuskan Abdul Muis mendapatkan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
SK pemberhentian statusnya sebagai PNS tersebut diterima Abdul Muisdengan pasrah.
Namun Abdul Muis tetap berusaha tegar.
“Rezeki itu urusan Allah. Masing-masing orang sudah ditentukan jatahnya. Saya tidak mau larut. Cuma sedih saja, niat baik membantu sekolah malah berujung seperti ini,” ujarnya pelan.
Abdul Muis sendiri telah menjadi guru sejak tahun 1998, dengan total pengabdian selama 27 tahun.
Niat Awal Ingin Membantu Guru Honorer
Abdul Muis menguak permasalahan berujung pada pemecatannya bermula ketika ia ditunjuk sebagai bendahara komite sekolah pada 2018.
Saat itu ia dipilih sebagai bendahara komite berdasarkan kesepakatan dalam rapat pengurus komite dan orang tua siswa, bukan pungutan sepihak.
Hasilnya, disepakati adanya donasi sukarela dari wali murid sebesar Rp 20.000 per bulan.
“Dana komite itu hasil kesepakatan orang tua. Disepakati Rp 20.000 per bulan. Yang tidak mampu, gratis. Yang bersaudara, satu saja yang bayar,” ujarnya.
Dana itu digunakan untuk mendukung kegiatan sekolah dan memberikan tunjangan kecil bagi guru dengan tugas tambahan seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah.
Menurut Muis, saat itu sekolah menghadapi kekurangan tenaga pendidik karena banyak guru yang pensiun, mutasi, atau meninggal dunia.
“Tenaga pengajar itu kan dinamis. Ada yang meninggal, ada yang mutasi, ada yang pensiun. Jadi itu bisa terjadi setiap tahun,” ucapnya.
Sekolah pun harus mencari guru honor baru.
Dalam rapat komite, dibahas persoalan guru honorer yang tidak mendapat insentif karena tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sehingga tidak bisa menerima dana BOS.
Proses administrasi agar mereka masuk sistem Dapodik butuh waktu hingga dua tahun.
“Kalau guru honor baru itu, butuh dua tahun untuk bisa masuk ke Dapodik. Nah, sementara itu, kegiatan belajar tetap harus jalan,” tambahnya.
Jumlah guru honor di sekolah itu mencapai 22 orang, banyak di antaranya bekerja dengan penghasilan minim.
Selama menjadi bendahara, ia hanya menerima uang transportasi Rp125.000 per bulan dan tambahan Rp200.000 sebagai wakil kepala sekolah.
Sebagian ia gunakan membantu guru honor.
“Ada guru honor namanya Armand, tinggal di Bakka. Kadang saya kasih Rp150 ribu sampai Rp200 ribu karena dia sering tidak hadir, tidak punya uang bensin,” kenangnya.
Muncul Masalah Saat Didatangi LSM
Namun, langkah kemanusiaan dan kebijakan internal sekolah yang terbuka ini justru berbuntut panjang.
Masalah muncul pada 2021 ketika seorang pemuda yang mengaku aktivis LSM datang ke rumahnya menanyakan soal dana sumbangan.
“Anak itu datang, langsung bilang: ‘Benarkah sekolah menarik sumbangan?’ Saya jawab benar, itu hasil keputusan rapat. Tapi saya kaget, dia mau periksa buku keuangan,” tutur Muis.
Tak lama kemudian, ia mendapat panggilan dari pihak kepolisian.
Kasus berkembang hingga ia dakwa melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada siswa.
Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider tiga bulan kurungan.
“Total saya jalani enam bulan 29 hari karena ada potongan masa tahanan. Denda saya bayar,” ujarnya.
Menurut Muis, proses hukum berjalan panjang.
Setelah berkas dilimpahkan ke kejaksaan, sempat dinyatakan belum lengkap (P19) karena belum ditemukan bukti kerugian negara.
“Lalu entah bagaimana, polisi bekerja sama dengan Inspektorat. Maka lahirlah testimoni dari Inspektorat yang menyatakan bahwa Komite SMA 1 itu merugikan keuangan negara,” kata Muis.
Ia menyebut Inspektorat Kabupaten Luwu Utara hadir sebagai saksi dalam sidang Tipikor tingkat pertama.
Meski menerima putusan, Muis tetap yakin tidak bersalah.
Ia menilai kasus itu terjadi karena salah tafsir terhadap peran komite sekolah.
“Kalau itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak dan sembunyi-sembunyi. Padahal, semua keputusan kami terbuka, ada rapatnya, ada notulen, dan dana itu digunakan untuk kepentingan sekolah,” ucapnya.
“Kalau dipaksa, mestinya semua siswa harus lunas. Tapi faktanya banyak yang tidak membayar dan mereka tetap ikut ujian, tetap dilayani,” tambahnya.
Orang Tua Ngadu ke Prabowo
Pemecatan dua guru tersebut langsung direspon orang tua siswa yang tak terima.
Pasalnya uang iuran yang dipungut merupakan keputusan bersama orang tua tanpa ada paksaan.
Salah satu orang tua bernama Akramah menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.
"Pembayaran dana komite itu adalah kesepakatan orang tua," ujar Akramah.
"Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik," imbuhnya.
Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak.
"Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka," tambahnya.
Ia juga memastikan, dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut.
"Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah," ujarnya, melansir Tribun Timur.
Akramah menyayangkan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.
"Kembalikan hak dua guru yang diberhentikan. Mereka punya keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka," ucapnya sambil meneteskan air mata.
Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan tersebut dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.
"Pembayaran iuran itu tidak serta merta ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa," kata Taslim, Senin (10/11/2025).
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.
"Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan," jelasnya.
Taslim menegaskan, iuran tersebut adalah bentuk kepedulian orang tua untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
"Kami menyumbang untuk memperbaiki mutu pendidikan di sekolah. Kami kecewa, niat kami membantu justru berujung pada jeruji besi dan pemecatan dua guru," ucapnya.
"Kami juga tidak tega melihat tenaga honorer yang mengajar anak kami dari pagi sampai sore tanpa insentif," lanjut Taslim.
Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.
"Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi."
"Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa."
"Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat," harap Taslim.
Artikel ini telah tayang di TribunSumsel.com
wali murid
guru honorer
Guru Honorer di SMAN 1 Luwu Utara
Abdul Muis
Resnal
TribunJatim.com
Tribun Jatim
berita viral
meaningful
LSM
Luwu Utara
| 3 Nama Pelaku Teror Dunia hingga Makna Agartha & 14 Words di Senjata Mainan Ledakan SMAN 72 Jakarta |
|
|---|
| Gus Elham Ngaku Khilaf Ciumi Anak-anak saat Pengajian, Sebut Aksi di Bawah Pengawasan Para Orang Tua |
|
|---|
| Siti Syok Suami Ditahan di Malaysia 10 Hari Tanpa Kabar, Minta Bantuan Pemerintah: Kami Orang Susah |
|
|---|
| Sosok Gus Elham Yahya, Pendakwah Viral Cium dan Kokop Bocah Perempuan, Silsilah Keluarga Mentereng |
|
|---|
| Purbaya Diajak ke China untuk Bahas Cara Bayar Utang Whoosh: Biar Tahu Diskusinya Apa |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jatim/foto/bank/originals/Mantan-Kepala-SMAN-1-Luwu-Utara-Rasnal-dan-Bendahara-Komite-SMAN-1-Luwu-Utara-Abdul-Muis.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.