Tolak Tambang Emas Tumpang Pitu, Warga Pancer Banyuwangi Ngontel ke Surabaya Temui Gubernur Khofifah
Tolak Tambang Emas Tumpang Pitu, warga Desa Pancer, Banyuwanyi ngontel ke Surabaya, ingin temui Gubernur Jawa Timur, Khofifah.
Penulis: Sri Wahyunik | Editor: Hefty Suud
Sejak saat itu hingga mereka mengayuh sepeda ontel ke Surabaya, warga mendirikan posko di areal bekas tambak di Dusun Pancer.
Dari posko itulah mereka berangkat. Ibu Siwi Lestari, Ibu Poniyah, juga sejumlah ibu-ibu dan bapak-bapak dari Pancer mewakili warga Desa Sumberagung dan sekitarnya yang menolak penambangan di sekitar Laut Selatan Banyuwangi tersebut.
"Ikan sulit semenjak ada tambang. Masyarakat Pancer itu masyarakat nelayan. Masyarakat Desa Sumberagung itu nelayan dan petani. Keberadaan tambang membuat air habis, sumber mata air rusak. Sungai yang mengalir ke muara berwarna coklat," ujar Siwi Lestari (42). Perempuan asal Pancer yang sehari-hari berjualan ikan itu mengeluh sepinya ikan di perairan Pancer.
• Johan Budi: Alumnus SMPP Mojokerto Lewat Bedah Buku Berikan Rekomendasi Usulan Kurikulum Pendidikan
Perempuan ini memilih berjuang bersama warga lain untuk bersuara kepada pemerintah. Mereka menuntut Gubernur Jatim mencabut IUP PT BSI dan DSI di kawasan Desa Sumberagung.
"Kami ingin melaut, dan bertani saja. Ada tambang juga menimbulkan pertengkaran di antara warga," tegasnya. Siwi ngontel memakai sepeda 'mini' yang biasa dipakai warga ke sawah atau belanja ke pasar. Sepeda yang dipakainya bukan jenis sepeda gunung. Itu pun bukan sepeda miliknya sendiri, tetapi pinjam ke tetangganya.
Siwi juga mengajak serta anaknya yang masih duduk di bangku TK. "Saya ngajak anak yang kecil, yang masih TK. Kasihan kalau ditinggal di rumah. Anak ikut mobil, saya ngonthel," ujarnya.
• Pohon Asam Keramat Berusia 200 Tahun di Pamekasan Roboh Misterius, Warga Berdoa Bukan Pertanda Buruk
• Buka Rekrutmen PPS Pilwali Blitar 2020, KPU Targetkan Minimal Ada 126 Pendaftar
Ibu Poniyah (44), juga memakai sepeda 'mini'. Perempuan itu juga meminjam sepeda tetangganya. Perempuan yang juga berjualan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer itu juga memilih ikut berjuang.
"Supaya Gunung Salakan tidak ditambang. Kalau ditambang, air makin tidak ada. Ikan sekarang juga sulit semenjak ada penambangan di sana," kata Poniyah.
Semangat lah yang menjadi stamina para ibu-ibu Pancer tersebut. Semangat yang menjadi kekuatan mereka ngontel menempuh jarak 300 Km tersebut.
Para pengontel yang memakai sepeda mini menempatkan bekal seperti minum di keranjang sepeda.
Sedangkan mobil pick-up mengangkut sejumlah perlengkapan. Sepeda yang rusak, atau pengayuhnya capek bisa diangkut di mobil tersebut.
Ada sebuah mobil pick-up yang membawa sejumlah hasil bumi. Hasil bumi itu sebagai bukti bahwa dari hasil bumi itulah masyarakat Desa Sumeragung dan sekitarnya hidup.
Selain mobil pick-up, ada juga mobil yang mengangkut pengonthel yang kecapekan. Puluhan warga itu bergantian ngonthel. Mereka yang capek bisa naik mobil, dan digantikan oleh rekan mereka.
Satu rute berat Banyuwangi - Jember sudah mereka lewati. Rute ini berjarak sekitar 100 Km. Jika mengacu kepada peta, jarak dari Kota Jember ke Pancer adalah 109 Km. Rute ini harus melewati Gunung Gumitir, rute menanjak, menurun, dan berkelok.
Minggu (16/2/2020) pukul 07.00 Wib, warga Pancer penolak tambang meneruskan perjalanan. Mereka menuju Lumajang, sebelum meneruskan perjalanan ke Probolinggo - Pasuruan - Porong - Surabaya. Tanggal 19 Februari, mereka dijadwalkan tiba di Surabaya.
"Tuntutan kami tegas yakni mendesak Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mencabut perizinan pertambangan PT BSI dan PT DSI guna terciptanya keselamatan, keberlanjutan, dan pemulihan lingkungan dan ruang hidup warga Sumberagung dan sekitarnya," ujar Usman A Halimi, dari Solodaritas Masyrakat Tolak Tambang Banyuwangi.
Penulis: Sri Wahyunik
Editor: Heftys Suud