Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Ahmad Fuadi Merasa Beruntung 4 Tahun Nyantri di Gontor: Ruh Keikhlasan dan Pondok Ibarat Ibu Kandung

Bernostalgia zaman nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jatim, kenangan indah Ahmad Fuadi akan almamaternya itu tiba-tiba menyeruak.

Instagram.com/@afuadi
Foto Ahmad Fuadi saat menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Ficca Ayu Saraswaty

TRIBUNJATIM.COM - Ahmad Fuadi awalnya sempat setengah hati untuk berangkat merantau ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Alumnus Universitas Padjajaran itu takut dikutuk jadi batu kalau tidak menuruti permintaan ibu. Legenda Malin Kundang bak melekat ke anak Minang, termasuk Ahmad Fuadi kala itu.

“Ibu ingin saya masuk pesantren, saya awalnya menolak, tapi dari kecil sudah di ‘cuci otak’ tentang Malin Kundang, kalau melawan ibu bisa jadi batu,” keluh Ahmad Fuadi remaja.

Di pikiran Ahmad Fuadi ketika itu ia hanya ingin masuk SMA karena nilainya bagus. Lulus dari Madrasah Tsanawiyah Kota Padang Panjang dengan nilai yang baik memotivasi Fuadi bercita-cita seperti BJ Habibie yang bisa studi ke Jerman. Tapi di sisi lain sang ibu justru tidak satu suara dengan dirinya.

Baca juga: Kisah Jovan Zachary Arek Suroboyo Goes to US Navy, Merantau Berujung Jadi Tentara Amerika Serikat

“Ibu tahu nilai saya bagus setelah lulus MTsN. Dengan nilai sebagus ini tidak boleh masuk SMA, justru diminta masuk pesantren/sekolah agama. Menurut saya ini tidak logis, dalam bayangan saya masuk pesantren itu pilihan kedua,” curhatnya.

Tahu sang anak tidak setuju mondok, ibu Ahmad Fuadi mencoba memberi pengertian ke putranya, yakni dengan menanamkan tujuan mulia dari menuntut ilmu di pesantren.

“Ibu bilang kalau masuk pesantren nanti saya bisa memberikan sesuatu untuk pesantren dan agama. Ini karena saat itu banyak orang mengirim anaknya ke pesantren karena nakal atau bermasalah. Ibu saya prihatin melihat kondisi tersebut, jadi ibu inginnya umat Islam punya pemimpin dari bibit yang baik,” papar Ahmad Fuadi dalam wawancara virtual dengan TribunJatim.com (29/10/2021).

Setelah mencoba berkompromi, Ahmad Fuadi dengan setengah hati berangkat ke Gontor. Merantau dari Sumatera Barat di usia 15 tahun bukan dengan sepenuh hati, ia menempuh perjalanan darat 3 hari 3 malam untuk tiba ke Jawa Timur.

Baca juga: Eko Yuli Irawan The Movie: Gembala Kambing ke Olimpiade, Menembus Batas dan Menjaga Mimpi Jadi Juara

Ruh Keikhlasan dan Kenangan Nyantri di Gontor

Ahmad Fuadi saat menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor.
Ahmad Fuadi saat menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor. (Instagram.com/@afuadi)

Bernostalgia zaman nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, kenangan indah Ahmad Fuadi akan almamaternya itu tiba-tiba menyeruak. Tempatnya menimba ilmu agama di tahun 1988-1992 itu tetap sama, mengajarkan keikhlasan dan semangat belajar.

Sosoknya yang sekarang juga berkat diayun-ayun “dibuayan sayang” seorang kiai. Kiai, ustaz, guru, dan murid dalam suasana keikhlasan. Tidak ada nilai transaksi materi dalam mengajar, yang ada hanya mengharap balasan Allah SWT.

“Fondasi yang kuat dari pesantren itu keikhlasan, semuanya dalam suasana keikhlasan, guru mengajar ikhlas, murid juga belajarnya ikhlas. Guru mengajar dari shubuh sampai malam, mengeluarkan kinerja terbaiknya meski gaji nol. Bagi mereka, ini tentang pengabdian, keikhlasan, nilai transaksi materi tidak ada dalam referensinya. Inilah yang membuat pesantren bisa hidup sampai sekarang,” urai Ahmad Fuadi.

Baca juga: Menikah Muda Itu Asyik, Psikolog Yudha: Kalau Kesiapan Usia, Mental, hingga Finansial Sudah Dipenuhi

Empat tahun di Gontor menjadi kenangan belajar paling berkesan bagi Ahmad Fuadi. Ayah beranak satu yang pernah melanglang buana ke Kanada, Amerika, Inggris, dan banyak negara ini kagum dengan metode pengajaran di Gontor. Murid diberi contoh tanpa harus dikhotbahi.

“Masa-masa dibentuk, diajari untuk tahu kita darimana, sedang di mana, dan akan kemana ini diajarkan ke murid tanpa harus dikhotbahi tapi diberi contoh di kehidupan sehari-hari,” tutur sang penulis novel Negeri 5 Menara.

Tidak berhenti di sana, para santri juga mendapat arahan yang selalu diulang-ulang tentang budi yang luhur. Tiga hal yang kerap ditekankan kepada murid yakni berbudi luhur, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.

“Santri diarahkan menjadi orang yang berbudi luhur, berbadan sehat dan kuat, serta berpengetahuan luas dan berpikiran bebas atau tidak terkotak-kotak, apalagi dijajah satu pemikiran,” ungkap pria kelahiran Bayur Maninjau.

Baca juga: Kisah Ramadan Pelajar Indonesia Puasa 16 Jam di Turki-Inggris, Tak Ada Azan hingga Masjid Dihidupkan

Mantra ‘Man Jadda Wajada’ Negeri 5 Menara

Setiap kali diundang untuk berbicara tentang novel Negeri 5 Menara (The Land of Five Towers) di berbagai negara dari Amerika Jerman hingga Australia, Ahmad Fuadi acap kali mengatakan jika novelnya seperti Harry Potter. Novel fenomenal Ahmad Fuadi kurang lebih mengadopsi kisah Harry Potter, tentang kehidupan di asrama.

“Jika Harry Potter naik Hogwarts Express untuk menuju ke Hogwarts School of Wizardry, Ahmad Fuadi naik bus ANS dan Lorena untuk ke Gontor. Kalau Harry Potter punya mantra Patronus, Negeri 5 Menara punya mantra Man Jadda Wajada,” ujar alumnus The George Washington University, 1999-2001.

Poin lain yang membuat Ahmad Fuadi merasa pesantren menarik adalah ketika santri diwajibkan bicara Bahasa Arab dan Bahasa Inggris 24 jam. Bahkan, kebiasaan itu bisa sampai terbawa ke alam mimpi.

Tak jarang ada santri yang bermimpi dengan dua bahasa, karena saking melekat hingga masuk ke alam bawah sadar. Pesantren juga mengaplikasikan penggunaan dua bahasa di pelajaran, tulisan-tulisan yang ditempel, hingga musik radio. Metode yang dipakai yaitu dengan mengajarkan syair atau kata-kata mutiara.

Baca juga: Film Pendek Omah Njero: Tempat Paling Sakral, Sendang Kapit Pancuran, hingga Ruang Semayam Para Ego

“Ada banyak kata mutiara keren di pelajaran Mahfudhat. Ustaz dengan penuh semangat meneriakkan Man Jadda Wajada, menerangkannya secara bahasa dan filosofis sehingga bisa membekas di hati para santri. Saat riset untuk novel Negeri 5 Menara ketemu lagi dengan kata itu dan ibarat sudah tertanam di memori, lalu berpikir kata ini cocok dijadikan semboyan novel saya,” jelas alumnus Royal Holloway, University of London, Inggris.

Ada tiga mantra yang digaungkan dan dijadikan tagline di novel trilogi Ahmad Fuadi. Man Jadda Wajada untuk Negeri 5 Menara, Man Shabara Zhafira untuk Ranah 3 Warna, dan Man Sara Ala Darbi Washala untuk Rantau 1 Muara.

Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Namun kesungguhan saja tidak cukup, lalu dilanjutkan dengan Man Shabara Zhafira, siapa bersabar akan beruntung. Terakhir, Man Sara Ala Darbi Washla, siapa yang berjalan di jalan-Nya akan sampai di tujuan.

Baca juga: Janji Teruskan Perjuangan Pakde, Mira Kirana ‘The Next Didi Kempot’ Ajak Anak Muda Cinta Budaya Jawa

Kiai Panutan, Pondok Ibarat Ibu Kandung, & Uniknya Hidup di Asrama

Menghabiskan waktu di pesantren membuat Ahmad Fuadi dikelilingi sosok-sosok inspiratif. Para kiainya adalah panutan yang punya ciri khas masing-masing dalam mengajar.

“Di Gontor Kiai tidak satu tapi bertiga. Kiai Syukri menanamkan rasa dan motivasi untuk berjuang, menciptakan versi terbaik diri kita. Kalau Kiai Syukri pidato kita bisa terbang dan seperti kesetrum. Dua Kiai lainnya mampu menyetuh jiwa, mengajarkan self awareness, hingga keteguhan hati. Bagi Fuadi, Gontor ibarat ibu kandungnya sendiri.

“Di lirik terakhir Hymne Oh Pondokku, ‘Pondok seperti ibu kandungku’, maknanya karena selama di pesantren kita tidak punya ibu, jadi pondok ibarat ibu kandung kita, bapak kita itu Kiai dan ustaz, dan selayaknya ibu kandung mendidik dengan kasih sayang. Santri di sana ibarat saudara kandung kita,” cerita Ahmad Fuadi.

Keunikan hidup di asrama menurut Ahmad Fuadi yakni ada pada persaudaran yang sangat kuat. Bertemu 3000 santri dan 24 jam hidup di tempat yang sama tentu membuat ikatan tali persaudaran sesama santri sangat kuat.

Baca juga: Berjaya di Panggung Balet, Michael Halim Peraih Solo Seal Punya Mimpi Besarkan Balet Kontemporer

Hikayat Menara di Ranah Fiksi

Menara menjadi unsur penting di cerita novel Negeri 5 Menara. Ahmad Fuadi mencoba membawa kata menara ke ranah fiksi.

“Menara di pesantren adalah bangunan struktural yang tinggi, fungsinya bisa untuk azan, speaker untuk membangunkan sahur dengan suara terompet. Seringkali juga dipakai santri untuk tempat mangkal atau duduk, bercerita apa saja sambil menunggu waktu salat atau istirahat.

Menara ini kemudian dalam cerita di novel Negeri 5 Menara ditarik ke dunia fiksi yang fungsinya tidak hanya bangunan struktural, tapi melambangkan impian. Tiap orang punya menaranya masing-masing. Misalnya ada yang mau ke London lihat Big Ben, ke Amerika lihat Washington Monument, atau ke Al Azhar lihat menara Al Azhar,” pungkasnya.

Baca juga: Sosok Nikita Fima, Freediver dan Mermaid Jakarta Aquarium Bersuara Merdu yang Cinta Dunia Bawah Laut

(TribunJatim.com/Ficca Ayu Saraswaty)

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved