Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

8 Perempuan Inspiratif Bicara Soal 'Break The Bias' Konjen AS, Patahkan Stereotip dan Diskriminasi

Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya menggelar bincang virtual dengan tokoh-tokoh perempuan yang menjadi inspirasi di Indonesia.

Instagram.com/@uscongensby
Acara bincang-bincang virtual bersama 8 perempuan inspiratif dari berbagai latar belakang profesi yang diadakan oleh Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya. 

"Politik adalah media untuk satu ruang, di mana kehidupan masyarakat difokuskan di situ. Di Indonesia, patriarki memang masih ada dan sangat maskulin. Perempuan yang masuk politik biasanya hanya merupakan pemantik dan pewarna-warni saja, namun saya belajar kalau politik penting bagi perempuan, siapa yang lebih kuat akan mendominasi. Maka dari itu, saya buktikan dengan kepemimpinan yang meyakinkan, meski jumlah perempuan di parlemen sedikit tapi berkualitas," papar Mutmainah.

Baca juga: Kisah Jovan Zachary Arek Suroboyo Goes to US Navy, Merantau Berujung Jadi Tentara Amerika Serikat

Foto Jurnalistik Tidak Mengenal Gender

Adek Berry, Photo Journalist Agence France-Presse di Jakarta.
Adek Berry, Photo Journalist Agence France-Presse di Jakarta. (Instagram.com/@uscongensby)

Selama 23 tahun lebih berkarier di bidang foto jurnalistik, Adek Berry berhasil membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi fotografer jurnalistik. Hal ini dikarenakan foto jurnalistik tidak mengenal gender.

Menurut Adek Berry, Photo Journalist Agence France-Presse di Jakarta, Break The Bias menegaskan bahwa perempuan bisa melakukan apa saja.

"Selama perempuan tersebut mau, maka nantinya orang lain yang akan menilai kalau kita mampu. Buktikan kalau apa yang orang lain prediksikan tentang kita tidak bisa itu terbalik. Kita available dan capable. Saya cinta bidang ini dan tidak tahu kapan akan berhenti, meski saat ini status saya adalah istri dan ibu dari dua anak. Jangan sampai pernikahan merontokkan karier sebagai jurnalis," papar Adek.

Lastri Berry Wijaya atau Adek Berry adalah seorang jurnalis dan telah menekuni dunia foto jurnalistik lebih dari 23 tahun, termasuk liputan perang di Afghanistan dan konflik di Timor Leste.

Saat ini ia bekerja sebagai fotografer kantor berita AFP yang berbasis di Jakarta.

Baca juga: Eko Yuli Irawan The Movie: Gembala Kambing ke Olimpiade, Menembus Batas dan Menjaga Mimpi Jadi Juara

Kemudian, Fadriah, seniman dari Ternate yang selalu mengedepankan perempuan dan hak minoritas dalam karyanya mengungkapkan Break The Bias berarti mewujudkan persamaan hak bagi siapa saja tanpa terkecuali.

Fadriah adalah seorang pelukis wanita asal Ternate yang juga pendiri Lembaga Seni Kampong Warna dan Magazine Art Space di Ternate, Maluku Utara.

Saat ini ia sedang bergeliat mengembangkan kegiatan kesenian, khususnya seni rupa sebagai sarana edukasi masyarakat secara swadaya.

"Cara saya untuk melawan orang-orang yang menganggap remeh seni di Ternate adalah dengan pendidikan. Pengalaman secara formal bisa membuktikan bahwa perempuan mampu berkarya di dunia kesenian," ujar Fadriah.

Baca juga: Virtual American Film Showcase 2021 Dibuka Hari Ini, Izzy Chan Berbagi Proses Kreatif The Big Flip

Sesama Perempuan Saling Mendukung, Bukan Menjatuhkan

Maria Anityasari, Director of Global Partnership dan dosen jurusan Teknik Sistem dan Industri di ITS.
Maria Anityasari, Director of Global Partnership dan dosen jurusan Teknik Sistem dan Industri di ITS. (Instagram.com/@uscongensby)

Menurut Maria Anityasari, Director of Global Partnership dan dosen jurusan Teknik Sistem dan Industri di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Break The Bias merupakan upaya untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat dan seluruh perempuan Indonesia bahwa perempuan punya kesempatan yang sama untuk belajar di bidang sains dan teknologi.

"Kita sesama perempuan harus saling mendukung dan bukan menjatuhkan. Misalnya ada perempuan yang masuk jurusan STEM, kita dukung. Di era Revolusi Industri 4.0 ini, kesempatan bagi perempuan justru terbuka lebar. Perempuan sangat punya potensi, karena mereka detail dan multitasking. Dengan adanya teknologi, Work From Home (WFH) menjado mungkin. Maka dari itu, perempuan harus percaya diri karena perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama," jelas Maria.

Maria Anityasari menuntaskan pendidikan sarjana Teknik Industri ITS di tahun 1994. Ia melanjutkan S2 dan S3-nya di School of Mechanical and Manufacturing Engineering, University of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia.

Baca juga: Diskusi Film Walk Run Cha-Cha Jadi Penutup Virtual American Film Showcase 2021, Intip Foto-fotonya

Bekerja di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) memberikan kesempatan bagi Maria untuk terlibat dalam berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintahan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved