Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Ramadan 2022

Cerita Ramadan Mirza-Lia, Pasutri yang Sukses Raih Beasiswa ke Inggris: Puasa Makin Seru dengan Anak

Uniknya berpuasa di luar negeri menjadi pengalaman menarik bagi keluarga Mirza Idham & Aldilia Wyasti, pasutri asal Nganjuk yang berkuliah di Inggris.

Instagram.com/@mirzaidhams
Mirza Idham Saifuddin, Aldilia Wyasti Pratama, dan Nayaka Airani Saifuddin (Aira). 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Ficca Ayu Saraswaty

TRIBUNJATIM.COM - Menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadan jauh di negeri orang memiliki keunikan tersendiri. Uniknya berpuasa di luar negeri menjadi pengalaman menarik bagi keluarga Mirza Idham Saifuddin dan Aldilia Wyasti Pratama. Keduanya merupakan pasangan suami istri asal Nganjuk, Jawa Timur, yang berkuliah di Inggris.

Bidan Lia melanjutkan studinya sambil memboyong keluarganya ke negara berjuluk "The Black Country" itu. Kehebohan terjadi ketika ada anggota baru yakni sang anak, Nayaka Airani Saifuddin (Aira). Mirza, sang suami, menceritakan perbedaan Ramadannya dulu dan sekarang.

“Ramadan tahun ini berbeda dengan tahun 2017 saat saya kuliah, dulu puasa saat musim panas jadi lebih lama. Durasi puasa saat itu 19 jam, sekarang 15 jam,” ujar alumnus S1 Manajemen Bisnis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember pada TribunJatim.com Kamis (7/4/2022).

Untuk suhunya juga berbeda, Lia membandingkan suhu ketika ia menemani sang suami kuliah dengan suhu di mana ia menempuh studi saat ini. “Dulu suhunya 28-29 derajat celcius, sekarang 10-12 derajat celcius dan ini terbilang cukup sejuk,” ungkapnya.

Baca juga: Kisah Ramadan Pelajar Indonesia Puasa 16 Jam di Turki-Inggris, Tak Ada Azan hingga Masjid Dihidupkan

Bagi Waktu Kuliah dan Urus Anak

Mirza Idham Saifuddin, Aldilia Wyasti Pratama, dan Aira.
Mirza Idham Saifuddin, Aldilia Wyasti Pratama, dan Aira. (Instagram.com/@mirzaidhams)

Suasana Ramadan di Inggris yang begitu berbeda dengan Indonesia ditambah kehadiran anak menjadi tantangan baru bagi Mirza dan Lia. Meski begitu, Lia bersyukur karena puasa tahun ini bertepatan dengan libur kuliahnya.

“Pelajar Indonesia di sini puasanya mengikuti waktu Inggris, Di UCL, puasa bertepatan dengan libur jadi lebih ringan. Kalau puasa pas kuliah mungkin lebih berat karena harus mikir dan durasi waktunya lama,” ujar alumnus S1 Pendidikan Kebidanan Universitas Airlangga.

Cerita Ramadan Mirza dan Lia kini juga makin seru dengan adanya Aira.

“Dulu sudah berkeluarga, tapi masih berdua, kalau sekarang tantangannya sudah ada anak. Dulu bisa tidur dari pagi hingga siang, kalau sekarang pagi harus tetap bangun karena anaknya butuh makan atau sarapan,” ungkap Mirza.

Pasutri kelahiran Oktober itu mengaku tidak ada kesulitan yang cukup signifikan dalam hal membagi waktu untuk kuliah dan mengurus anak. Hal ini karena sudah ada kesepakatan sebelumnya di antara mereka berdua.

“Rasanya puasa ada anak itu challenging, tapi karena ini sesuatu yang sudah kita sepakati, jadi sama-sama bagi tugas dan kerja sama. Kalau aku kuliah, Mirza yang masak dan jaga Aira. Pulang kuliah, gentian aku yang main sama Aira dan Mirza punya me time-nya sendiri,” tutur Lia.

Perkuliahan Lia juga tidak terganggu di samping tugasnya sebagai istri dan ibu karena jadwal yang tidak terlalu padat dan tidak seabrek tugasnya.

“Kuliahnya enggak padat banget. tugasnya tidak terlalu banyak, dan sangat kontekstual. Lebih ke quality over quantity dan enggak banyak pertemuan. Satu modul tiga minggu, satu minggu kuliahnya 3 hari,” tambahnya.

Baca juga: Pengembaraan Imajinasi The Wanderlust, Teknik Plototan Jadi Ciri Khas Karya dari Galih Reza Suseno

Ngabuburit, Suara Azan, hingga Salat Tarawih

Mirza dan Lia punya cara tersendiri untuk ngabuburit menunggu jam buka puasa selama di Inggris. Keduanya memilih untuk memasak, bermain dengan anak, dan mengobrol dengan teman-teman Indonesia di rumahnya. Buka puasa di KBRI belum ada karena terhalang kebijakan pandemi. Meski begitu, Mirza dan Lia tetap bisa buka bersama dengan para keluarga Indonesia yang tinggal di akomodasi kampus untuk keluarga di University College London.

Sebagai kaum minoritas, suara azan didengarkan melalui aplikasi, karena kegiatan keagamaan di sana tidak diperbolehkan menggunakan speaker besar. Sementara untuk salat tarawih lebih banyak dilakukan di rumah.

“Salat tarawih di masjid biasanya 1 hari 1 juz, tarawihnya bisa sampai jam 1 malam. Rata-rata teman Indonesia tidak ikut tarawih di masjid, cuman sesekali saja dan lebih memilih tarawih di rumah. Kemudian, pengajian dan ceramah juga ada di sini, bisa gabung PCNU atau muslimat NU. Komunitas muslim di sini banyak hanya penyelenggaraan kegiatannya tidak terlalu masif,” terang Chevening Alumni MSc Innovation and Entrepreneurship, University of Warwick.

Baca juga: Ahmad Fuadi Merasa Beruntung 4 Tahun Nyantri di Gontor: Ruh Keikhlasan dan Pondok Ibarat Ibu Kandung

Cangkrukan dengan Supervisor, Suasana Belajar Empowering

Mirza Idham Saifuddin, Chevening Alumni MSc Innovation and Entrepreneurship, University of Warwick.
Mirza Idham Saifuddin, Chevening Alumni MSc Innovation and Entrepreneurship, University of Warwick. (Instagram.com/@mirzaidhams)

Supervisor rasa teman sendiri, begitulah yang dirasakan Mirza saat kuliah di University of Warwick.

“Di Warwick, kita ditekankan untuk project-based learning, kuliah 45 hari dalam setahun. Setelah itu cuman tugas, proyek esai, dan disertasi. Kalau merasa kesulitan, ada personal tutor. Menariknya, saya dengan supervisor cangkrukan hampir tiap minggu, mengobrol tentang bisnis, tidak melulu bahas soal disertasi.” tutur pria kelahiran Nganjuk, 15 Oktober 1992.

Lia juga menyebut supervisor di sana berdedikasi tinggi dan terbuka dengan ide apa pun.

“Supervisornya dedicated, kalau janjian akan menyiapkan waktunya untuk mahasiswa, ide apa pun akan diterima, dan sangat empowering suasana belajarnya.” imbuh LPDP Awardee yang mengambil studi MSc Women’s Health, UCL.

Baca juga: Kisah Jovan Zachary Arek Suroboyo Goes to US Navy, Merantau Berujung Jadi Tentara Amerika Serikat

Bukan Lidah Western

Makanan Barat yang dirasa kurang asin dan rasanya hambar membuat Mirza dan Lia belajar memasak masakan Indonesia selama tinggal di Inggris. Sejauh ini sudah banyak makanan dan minuman Indonesia yang mereka buat, termasuk untuk buka puasa dan sahur.

“Dari awal ke Inggris, Mirza yang selalu masak. Kemarin bikin es sirup nanas, gula, agar-agar, selasih. Terus gulai sapi, ote-ote, peyek, dan es manado. Bisa masak Western tapi kurang puas karena kurang asin dan rempahnya kurang. Bahan-bahan beli di Asian Mart ada, tapi kebanyakan impor dan diawetkan, rasanya juga beda serta mahal. Untuk Idul Fitri rencananya ingin di KBRI, kalau batal mungkin mau bikin nasi kuning, tempe, tahu, dan bihun,” cerita keduanya kompak.

Baca juga: Eko Yuli Irawan The Movie: Gembala Kambing ke Olimpiade, Menembus Batas dan Menjaga Mimpi Jadi Juara

Keuntungan Jadi Anak Daerah

Aldilia Wyasti Pratama, LPDP Awardee yang mengambil studi MSc Women’s Health, UCL.
Aldilia Wyasti Pratama, LPDP Awardee yang mengambil studi MSc Women’s Health, UCL. (Instagram.com/@aldiliawyasti)

Dari orang kampung bisa kuliah di luar negeri dengan beasiswa adalah hal luar biasa, Mirza dan Lia pun menemukan keuntungan menjadi anak daerah. Lia merasa anak daerah lebih aplikatif.

“Orang-orang daerah punya keuntungan lebih besar, masalahnya juga lebih banyak, kita lebih aplikatif dan enggak teroritis saja. Kekurangannya kadang minder, merasa inferior sama orang-orang kota, Bahasa Inggris tidak bisa, padahal Bahasa Inggris itu sesuatu yang bisa dipelajari dan diperjuangkan. Menjadi anak daerah adalah sebuah keuntungan. Beasiswa LPDP hadir untuk menyekolahkan sebanyak mungkin anak negeri yang bisa kembali untuk berkontribusi.” jelas putri pasangan Sugeng Budi Wiyono dan Woro Wirasti.

Lebih lanjut, Mirza mengungkapkan kalau parameter menjadi penerima beasiswa utamanya bukan pada Bahasa Inggris.

“Bahasa Inggris bukan pertimbangan utama untuk menjadi Chevening atau LPDP Awardee. Kalau itu parameternya, orang kota pasti yang lulus, orang daerah yang kalah. Bahasa Inggris kita itu masih medok, belum bisa aksen British atau American. Justru pengalaman dan cerita menarik, membangun daerah, misalnya punya sekolah, membantu ibu-ibu yang melahirkan, itulah yang tidak didapatkan orang di kota. Ini yang menjadi keuntungan anak daerah, tinggal ditunjukkan dan negara seperti Indonesia atau Inggris hadir untuk membantu itu,” terang Mirza, putra pasangan Cholis Ali Fahmi dan Eny Mutiati.

Baca juga: Film Pendek Omah Njero: Tempat Paling Sakral, Sendang Kapit Pancuran, hingga Ruang Semayam Para Ego

Bapak Rumah Tangga dan Istri yang Bermimpi Besar

Bicara soal pasutri inspiratif. Mirza dan Lia bisa menjadi contohnya. Di satu sisi, Mirza tak ragu untuk menjadi suami sekaligus bapak rumah tangga. Di sisi yang lain, Lia didukung oleh suaminya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

“Dulu kepikiran ninggal istri untuk berangkat sendiri, tapi suatu ketika dikasih tahu teman kalau hal ini bisa menimbulkan banyak konflik. Demi menghindari Long Distance Marriage (LDM), saya ikut istri dan anak ke luar negeri. Di Inggris enaknya jadi bapak rumah tangga karena lingkungannya mendukung, banyak laki-laki jadi bapak rumah tangga, bisa berbagi ilmu dengan tetangga tentang sekolah atau tempat bermain anak. Peran bapak sangat penting bagi perkembangan anak. Jika bapak tidak hadir dalam parenting, anak akan kehilangan sosok bapaknya dan akhirnya lepas kontrol,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara itu.

Senada dengan Mirza, Lia juga memaparkan pendapatnya tentang perempuan yang sekolah lagi dan bermimpi besar.

“Teman-teman perempuan di Indonesia selama ini mungkin dibesarkan dengan cara dilindungi orangtuanya, diberi mimpi yang penting menikah saja, padahal masa depan perempuan bukan hanya dengan menikah. Menikah adalah satu di antara banyak pilihan, penting bagi perempuan untuk bermimpi besar dan memiliki value. Dengan begitu, enggak akan terburu-buru mencari pasangan, galau soal nikah, karena bisa menyaring laki-laki yang punya pandangan sama, dan akhirnya mendukung kesetaraan dalam sebuah hubungan,” papar perempuan kelahiran Surabaya, 29 Oktober 1993.

Lia bersyukur karena mempunyai suami yang mendukungnya untuk sekolah lagi dan kini merasa kualitas hubungannya dengan suami sangat baik.

“Mirza enggak suka punya istri yang tidak selaras atau kasarannya tidak pintar. Pada akhirnya, pernikahan itu tentang berbagi dan komunikasi. Untuk menghabiskan seumur hidup perjalanan pernikahan butuh orang yang nyambung. Mirza sudah S2, sekarang aku yang S2. Lima tahun pernikahan ini aku merasa kualitas hubungan kita paling baik. Parenting anak oke, travelling, banyak hal untuk dieksplor bareng dan kenangan yang kita buat bersama.” tutupnya.

(TribunJatim.com/Ficca Ayu Saraswaty)

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved