Berita Viral
Sosok Bupati Meranti yang Mau Gugat Jokowi, Ucap Kemenkeu Berisi Setan, Pernah Mendebat Pejabat Lain
Inilah sosok Bupati Meranti yang ingin menggugat Jokowi dan menuding orang-orang di dalam Kemenkeu memiliki sifat seperti setan.
Penulis: Ignatia | Editor: Sudarma Adi
Namun Kemenkeu bersikukuh meminta pertemuan dilakukan secara daring.
Dikarenakan upaya tersebut gagal, ia pun berupaya meminta klarifikasi dari Kemenkeu.
Pertemuan Kemenkeu dengan para kepala daerah itu juga ditayangkan dalam akun YouTube Diskominfotik Provinsi Riau
Pada kesempatan itu, Adil bertanya soal dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas (Migas) di Kepulauan Meranti kepada Kemendagri dan Kemenkeu.
Baca juga: Sosok Pejabat yang Dijodohkan dengan Happy Asmara, Si Bupati Tuban Tak Kalah dari Denny Caknan
Awalnya, Muhammad Adil mengeluhkan kalau Meranti merupakan salah satu daerah termiskin di Indonesia dengan jumlah penduduk miskin mencapai 25,68 persen.
Padahal wilayah ini merupakan penghasil minyak mentah yang beberapa waktu belakangan harganya melambung.
Namun dia menyebut, dana bagi hasil yang didapatkan wilayahnya tak sebanding dengan produksi dan kenaikan harga minyak.
Adil menyebut, lifting minyak Meranti saat ini mencapai 7.500 barel per hari, dari sebelumnya hanya di kisaran 3.000-4.000 barel per hari.

Sementara asumsi harga minyak dalam anggaran negara naik menjadi 100 dollar AS per barel dari sebelumnya 60 dollar AS per barel.
Tapi dana bagi hasil yang diterimanya untuk tahun ini sebesar Rp 115 miliar, hanya naik sekitar Rp 700 juta dari sebelumnya.
"Meranti itu daerah termiskin se-Indonesia, penghasil minyak, termiskin, ekstrem lagi. Pertanyaan saya, bagaimana kami tidak miskin, uang kami tidak dikasihkan," ungkap Adil.
Melihat kondisi yang menurutnya kontras itu, Adil sempat bersurat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani agar dana bagi hasil bisa bertambah karena kenaikan harga minyak.
Namun respon yang diterimanya dinilai kurang baik, ia pun mengaku cukup emosi karena suratnya yang dikirimkan sebanyak 3 kali hanya dijawab dengan rapat online.
"Saya sudah berulang kali sampai tiga kali menyurati Bu Menteri (Keuangan) untuk audiensi, tapi alasannya Kementerian Keuangan mintanya online, online, online. Kalau dituntut untuk pendapatannya bertambah, untuk kami sudah bertambah cukup besar," kata dia.
Baca juga: Kisah Pramugari Cantik Pacari Prajurit Kopassus, 2 Dekade Kemudian Sang Pacar Jadi Jenderal
Dari situlah awal mula kekesalannya terhadap instansi bendahara negara itu.
Ia menilai, Kemenkeu tidak terbuka dalam perhitungan bagi hasil.
"Saya di 2022 dapat dana bagi hasil Rp 114 miliar. Waktu itu hitungannya 60 dollar AS per barel di perencanaan pembahasan APBD 2022. Di 2023, pembahasan APBD kami dapat mengikuti nota pidato Pak Presiden Agustus lalu, 1 barel 100 dollar AS," ujar Adil.
"Kemarin waktu lewat zoom dengan Kementerian Keuangan, (mereka) tidak bisa menyampaikan dengan terang. (Setelah) didesak-desak baru lah menyampaikan dengan terang bahwa 100 dollar AS per barel," bebernya.
Tak mendapat jawaban memuaskan, Adil juga mengadukan persoalan dana bagi hasil ini ke Kementerian Dalam Negeri.
"Kami ngadu ke Kementerian Dalam Negeri kok bisa offline. Terima kasih Pak Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian) karena menerima kami, tapi untuk di (Kementerian) Keuangan susahnya nggak ketulungan.
Baca juga: Cara Memutihkan Ketiak dengan Bahan Dapur, Hasilnya Permanen! Manfaatkan Gula Pasir - Minyak Kelapa
Ia mengaku tak putus asa memperjuangkan kenaikan dana bagi hasil.
Di Bandung, ia lagi-lagi menanyakannya kepada pihak Kementerian Keuangan.
"Sampai ke Bandung saya kejar orang Kementerian Keuangan juga tidak dihadiri oleh yang kompeten, yang hadir waktu itu entah staf, tidak tahu lah. Sampai waktu itu saya ngomong 'ini orang keuangan isinya iblis atau setan'," kata dia.
"Hari ini saya kejar bapak, saya mau tahu kejelasannya. Pertama apakah penyusunan APBD 2023 pakai asumsi 60 dollar AS, atau 80 dollar AS yang bapak sampaikan, atau 100 dollar AS seperti di pidato Pak Jokowi yang benar. Ini ada tiga saya cermati tadi," ucap Adil.
Dengan data yang disampaikan Kementerian Keuangan dinilai membingungkan.
Adil pun menyebut lebih baik pemerintah pusat berhenti menyedot minyak di Meranti.