Pemilu 2024
4 Hakim MK Kuak Alasan Beda Pendapat soal Putusan Batas Usia Capres dan Cawapres, Simak Sosoknya
Simak sosok 4 hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda soal putusan batas usia capres dan cawapres.
TRIBUNJATIM.COM - Empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda soal putusan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.
Gugatan itu dikabulkan MK dan dibacakan dalam sidang yang digelar pada Senin, 16 Oktober 2023.
Keempat hakim tersebut, yakni Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Arief Hidayat.
Sebagai catatan concurring opinion berarti terdapat pendapat satu atau lebih hakim pengadilan yang setuju dengan keputusan yang dibuat oleh mayoritas pengadilan tetapi menyatakan alasan yang berbeda sebagai dasar keputusan mereka.
Adapun sosok empat hakim MK ini menolak untuk mengabulkan perkara yang digadang-gadang merupakan "karpet merah" bagi putra sulung Jokowi, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Berikut sosoknya:
Saldi Isra
Hakim konstitusi Saldi Isra menyatakan dirinya menolak permohonan a quo atas perkara 90/PUU-XXI/2023.
Hal itu sebagaimana dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Saldi juga berpandangan bahwa seharusnya mahkamah pun menolak permohonan a quo.
"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini," kata Saldi.
Sebab, kata Saldi, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini ia mengalami peristiwa “aneh” yang “luar biasa”.
Bahkan, Saldi berujar peristiwa itu dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar.
"Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ucap Saldi.
Adapun sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?" ucap Saldi.
Saldi Isra merupakan hakim yang diusulkan oleh Presiden.
Masa jabatannya adalah 11 April 2017 sampai dengan 11 April 2032. Guru Besar Hukum Tata Negara ini dilantik Jokowi untuk menggantikan hakim Patrialis Akbar.
Masih dikutip dari laman situs resmi MK, pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Jokowi oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim MK pada 3 April 2017 lalu.

Dalam sidang putusan Senin kemarin Saldi saat membacakan dissenting opinion mengaku merasa merasa bingung. Sejak menjadi hakim konstitusi pada 2017 lalu, baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh dan luar biasa proses pengambilan keputusan.
“Sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar,” ujar Saldi di ruang sidang Gedung MK, Senin.
Wahiduddin Adams
Hakim konstitusi Wahiduddin menyampaikan belasan pertimbangan.
Salah satunya, Wahiduddin menuturkan, pengaturan batasan usia untuk capres cawapres sangat lazim diakukan oleh pembentuk undang-undang.
Sebab, jabatan presiden dan wakil presiden secara esensial sangat berbeda dengan jabatan raja/ratu/sultan/kaisar dan lain sebagainya, yang umumnya diangkat pada berapapun usia mereka.
Selain itu, kata Wahiduddin, jika MK mengabulkan permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi dalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai legislating or governing from the bench tanpa didukung alasan-alasan konstitusional yang cukup.
"Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak permohonan pemohon," kata Wahiduddih, Senin, 16 Oktober 2023, dikutip TribunJatim.com dari salinan dokumen putusan MK.
Hakim yang akrab disapa Wahid ini masuk dalam periode keduanya menjadi hakim konstitusi. Periode pertamanya adalah 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2019.
Kemudian ia dilantik lagi untuk periode keduanya pada 21 Maret 2019 lalu dan akan berakhir pada 17 Januari 2024.
Wahid merupakan hakim yang diusulkan oleh DPR. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Wahid adalah seorang birokrat di Kementerian Hukum dan HAM, menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan dari 2010 hingga 2014.

Dalam perkara pengujian pasal kesusilaan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wahid adalah salah satu dari empat hakim (bersama Aswanto, Anwar Usman, dan Arief Hidayat) yang berpandangan bahwa pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan jati diri konstitusional sebagai sebuah "konstitusi yang berketuhanan", sehingga permohonan untuk memperluas penafsiran pasal kesusilaan di KUHP harus diterima.
Arief Hidayat
Sama seperti Wahid. Arief juga merupakan hakim rekomendasi DPR dan juga saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi di periode keduanya.
Periode pertamanya adalah 1 April 2013 sampai dengan 1 April 2018. Di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ia mengucapkan sumpah jabatan sebagai satu dari sembilan pilar MK.
Arief menggantikan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan sebagai hakim konstitusi yang telah diembannya sejak 2008. Kemudian periode Arief kedua dimulai 27 Maret 2018 sampai dengan 3 Februari 2026 mendatang.
Dalam rilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 2018 lalu, pelantikan Arief untuk kembali menjadi hakim sempat menjadi sorotan.
Sebab bagi ICW pelantikan kembali itu dapat dipandang sebagai ketidakpedulian Jokowi terhadap pembusukan MK, manakala seorang hakim konstitusi yang sudah dua kali dijatuhi sanksi etik, kembali mengisi jabatan yang sama.

Masih dalam rilis ICW, diketahui Arief telah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi dan dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik berupa teguran tertulis dan teguran lisan.
Kedua sanksi tersebut diberikan karena Arief terbukti telah memberikan katebelece kepada Mantan Jampidsus Widyopramono dan karena Arief Hidayat terbukti telah melakukan pertemuan secara tidak patut dengan Politisi DPR RI.
Hakim konstitusi Arief Hidayat menuturkan, meski ada beberapa perkara lain yang mempermasalahkan isu sama soal batas usia capres-cawapres, ia berfokus pada kelima perkara a quo. Sebab menurutnya, muara dan inti isu konstitusionalitas yang dibahas berawal dari perkara-perkara a quo, terlebih ketiga perkara a quo, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, telah diperiksa dan diadili dalam sidang pleno secara bersamaan. Sementara Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, merupakan perkara yang relatif baru, namun segera diputus.
"Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara a quo yang perlu saya sampaikan," kata Arief. "Karena hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik mana pun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada ideologi Pancasila."
Adapun keganjilan yang disebutkan Arief, yakni penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda; pembahasan dalam rapat permusyawaratan hakim; serta perkara nomor 900/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap dilanjutkan.
Terhadap perkara nomor 90 dan 91, Arief berpendapat pemohon telah mempermainkan marwah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan. Menurut Arief, seharusnya Mahkamah mengeluarkan ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan alasan pemohon tidak besungguh-sungguh dan profesional dalam mengajukan permohonan.
"Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan perkara, maka pemohon tidak dapat melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo dan perkara yang telah dicabut atau ditarik tidak dapat diajukan kembali," tutur Arief.
Suhartoyo
Hakim konstitusi Suhartoyo menyatakan dirinya tidak memberikan kedudukan hukum atau legal standing kepada para pemohon atas perkara nomor 29/PPU-XXI/2023 dan 51/PUU-XXI/2023. Alasannya, para pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Sehingga, pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, sebagaimana dalam petitum permohonannya," kata Suhartoyo.
"Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan legal standing kepada pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo 'menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima'," kata Suhartoyo.
Suhartoyo saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi dalam periode keduanya.
Ia hakim yang diusulkan oleh MA dan dilantik pada untuk periode pertama pada 7 Januari 2015 dan berakhir 7 Januari 2020.
Periode kedua ia dilantik pada 7 Januari 2020 dan bakal berakhir pada 15 November 2029.
Dari data yang dihimpun, Björn Dressel dan Tomoo Inoue dalam kajian ilmiahnya di jurnal Constitutional Review pada bulan Desember 2018 menemukan Suhartoyo, bersama mantan hakim konstitusi I Dewa gede Palguna dan Ahmad Syarifuddin Natabaya, merupakan yang paling cenderung berpihak pada pemerintah dalam memutuskan sebuah perkara.
Kajian itu mencatat Suhartoyo berpihak kepada pemerintah dalam 52 persen kasus yang diadili oleh MK.
Ia juga tercatat sebagai salah satu dari lima hakim yang paling sering mengeluarkan dissenting opinion, yaitu pada 47 persen kasus di bawah mantan hakim Achmad Roestandi, Palguna, dan Natabaya.

Dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Suhartoyo bergabung dengan mayoritas hakim yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut membatasi hak terpidana dalam meminta grasi, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam amar putusannya, Suhartoyo menegaskan bahwa grasi sangat penting "tidak hanya kepentingan terpidana", tetapi juga "untuk kepentingan negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman terpidana yang mungkin ada kaitannya dengan tekanan rezim kekuasaan".
Kabulkan Gugatan Pengagum Gibran
Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan syarat capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Putusan atas gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru, itu diketok Ketua MK Anwar Usman pada Senin, 16 Oktober 2023. Almas mengaku sebagai pengagum Gibran.
Hakim MK mengabulkan sebagian gugatan.
"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusannya, Senin 16 Oktober 2023.
Anwar mengatakan, MK telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara RI sebagaimana mestinya," kata Anwar Usman.
Salah satu hakim MK, Guntur Hamzah mengatakan, pertimbangannya mengabulkan gugatan itu karena beberapa negara telah mengatur batas usia pemimpinnya di bawah 40 tahun.
"Tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda, dengan demikian dalam batas penalaran yang wajar usia di bawah 40 tahun dapat saja menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang sederajat atau setara," kata Guntur saat membacakan amar putusannya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
---
Berita Jatim dan Berita Viral lainnya
Informasi lengkap dan menarik lainnya di GoogleNews TribunJatim.com
Mahkamah Konstitusi
Anwar Usman
Capres 2024
cawapres
Saldi Isra
Wahiduddin Adams
Arief Hidayat
Suhartoyo
Tribun Jatim
jatim.tribunnews.com
TribunJatim.com
Alasan Nisya Ahmad Dilantik Jadi Anggota DPRD Jabar Padahal Kalah Suara Pemilu 2024, Ini Kata KPU |
![]() |
---|
Hadiri Pembekalan Caleg Terpilih dari PDIP se-Jawa Timur, Hasto Kristiyanto Bawa Pesan Megawati |
![]() |
---|
Hasil Lengkap Pileg 2024 Pasca Putusan MK, PDIP Raih Suara Terbanyak, Disusul Golkar dan Gerindra |
![]() |
---|
Penyebab Lima Caleg DPRD Bojonegoro Terpilih Hasil Pemilu 2024 Terancam Gagal Dilantik |
![]() |
---|
Dipecat Partai Usai Terbukti Geser Suara, Mimpi Dodik Jadi Anggota DPRD Kota Madiun Kandas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.