Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Bertemu di 'Pasar Jodoh', Penjual Ayam Geprek Dapat Istri, Kini Punya Anak 3 & Pernikahan Awet

Kisah penjual ayam geprek dapat istri dari Pasar Jodoh, kini punya anak tiga dan pernikahan awet.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Tribun Jabar/Handika Rahman
Kisah penjual ayam geprek dapat istri di Pasar Jodoh 

TRIBUNJATIM.COM - Kisah penjual ayam geprek dapat istri setelah bertemu di Pasar Jodoh cukup menarik disimak.

Pasar Jodoh yang berada di Indramayu, Jawa Barat, ini memang dipercaya jadi tempat untuk mencari pasangan.

Kini penjual ayam geprek tersebut punya anak tiga dan pernikahannya langgeng.

Ya, warga Indramayu mungkin sudah tak asing lagi dengan tempat legendaris bernama Pasar Jodoh.

Melalui Pasar Jodoh, tak terhitung berapa orang telah dipertemukan dengan belahan jiwa mereka.

Nama Pasar Jodoh sendiri masih melekat hingga sekarang, walau aktivitasnya sudah tergerus oleh zaman.

Sesuai namanya, sudah tak terhitung berapa pasangan bertemu dengan belahan jiwanya di Pasar Jodoh untuk membangun rumah tangga.

Mahligai rumah tangga mereka juga terbilang awet hingga melahirkan generasi-generasi selanjutnya.

Nyaris semua warga di daerah setempat mendapat pasangan hidup dari Pasar Jodoh ini.

Salah satunya adalah seorang penjual ayam geprek, Nurani (38).

Warga Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, ini bertemu dengan istrinya di Pasar Jodoh.

Kini keduanya sudah memiliki tiga orang anak.

"Saya dahulu bertemu dengan istri saya tahun 2008 di Pasar Jodoh ini," ujarnya, Minggu (31/12/2023), mengutip Tribun Jabar.

Nurani pun bercerita saat awal pertemuan dengan istrinya tersebut.

Baca juga: Ketahuan Selingkuh Sama Dokter Koas, Wanita Tak Terima Merasa Difitnah Istri Sah: Saya Cuma Korban

Kala itu ia dan istrinya sama-sama sedang nongkrong di Pasar Jodoh.

"Dia lewat, saya juga lewat, terus ya namanya perempuan sama laki ya, pengin kenal," ujar Nurani.

Nurani sendiri saat itu sudah bekerja di daerah Tangerang dan kebetulan sedang pulang kampung.

Sementara istrinya saat itu masih sekolah.

Nurani yang tertarik langsung mengawali perkenalan.

Istrinya juga saat itu menanggapi permintaan Nurani yang ingin kenalan.

Usai mengetahui latar belakang masing-masing, Nurani memberanikan diri untuk izin main ke rumah istrinya tersebut.

"Kata istri saya dulu jangan katanya, nanti saja. Terus kata saya, kalau nanti mah saya pergi lagi," cerita Nurani menceritakan percakapannya dahulu.

Nurani (38) warga Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, yang mendapat pasangan dari Pasar Jodoh, Minggu (31/12/2023).
Nurani (38) warga Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, yang mendapat pasangan dari Pasar Jodoh, Minggu (31/12/2023). (Tribun Cirebon/Handhika Rahman)

Lanjut Nurani, zaman itu sudah ramai ponsel walau tidak secanggih saat ini.

Ia lalu meminta nomor ponsel istrinya, keduanya pun saling bertukar nomor kontak.

Selang beberapa hari setelah kejadian tersebut, istrinya mencari-cari keberadaan Nurani.

Ia datang ke Pasar Jodoh, tapi tidak ketemu, sampai akhirnya datang ke rumah Nurani.

"Tapi saat itu saya kan enggak ada di rumah, sudah berangkat lagi ke Tangerang," ucapnya.

Diceritakan Nurani, menurut pandangan istrinya saat itu, ia menganggap Nurani sebagai pria yang jujur dan baik.

Istrinya pun langsung menelepon Nurani.

Keduanya lalu memutuskan untuk menikah.

Saat ini, kata Nurani, ia sudah memiliki tiga orang anak.

"Semuanya ada tiga anak, tapi meninggal satu saat masih kecil," ujar Nurani.

Baca juga: Pesan Menyentuh Anak Lihat Ibunya Nikah Lagi di Usia 70 Tahun, Awalnya Tak Setuju, Jodoh Biarlah

Pasar Jodoh sendiri berada di wilayah Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, tepatnya di samping Alun-alun Kandanghaur Indramayu, Jawa Barat.

Namun jangan salah persepsi, pasar jodoh bukan berarti gadis atau pemuda dijajakan layaknya berjualan di pasar.

Tempat tersebut adalah pusat pertemuan, baik laki-laki maupun perempuan, yang hendak menimba air sumur.

Berawal dari perkenalan, saling memantapkan niat, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.

Menurut dia, puncak keramaian Pasar Jodoh terjadi sekitar tahun 90-an.

Pasar Jodoh ini oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan istilah 'jaringan', yakni tradisi untuk menjaring pasangan hidup.

"Di sini memang ajang pertemuannya laki-laki dan perempuan. Apalagi kalau terang bulan, kan nelayan-nelayan pada balik dari melaut," ujar Nurani kepada Tribun Cirebon, Minggu (31/12/2023).

Menurut Nurani, para gadis juga banyak yang ke luar rumah dan berkumpul di lokasi setempat.

Lokasi Pasar Jodoh yang ada di wilayah Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Minggu (31/12/2023).
Lokasi Pasar Jodoh yang ada di wilayah Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Minggu (31/12/2023). (Tribun Jabar/Handika Rahman)

Menurut cerita sejarah, kata Nurani, tradisi jaringan bermula dari kemarau panjang, sehingga membuat Pangeran Dryantaka membuat sumur sebagai sumber mata air.

Sumur bernama Temenggung tersebut konon tidak pernah kering.

Masyarakat pun boleh mengambil air sumur tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.

Di sana, masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki, saling bertemu untuk mengambil air hingga terjadi perkenalan.

Belakangan, dari tujuan awal datang untuk menimba air sumur, diketahui berubah menjadi mencari jodoh.

Tidak sedikit pula warga dari desa lain ikut datang ke lokasi tersebut dengan tujuan yang sama, sebagian lagi datang karena penasaran.

Baca juga: Cari Suami Gaji Rp 55 Juta, Alasan Gadis 17 Tahun Dibongkar Agensi Jodoh: Terlalu Banyak Perceraian

Nurani bercerita, di wilayah ini dahulu banyak sekali pedagang yang berjualan.

Baik laki-laki maupun perempuan banyak yang nongkrong di Pasar Jodoh.

Dari situlah perkenalan di mulai saling bertukar nama, rumah, pekerjaan, dan sebagainya.

Jika ada yang merasa saling cocok, pemuda pemudi tersebut akan lanjut menjalin hubungan.

Diawali jalan-jalan bersama lalu saat niat sudah matang, laki-laki akan datang ke rumah perempuan dan terjadi lamaran hingga akhirnya menikah.

Proses ini dikenal dengan sebutan 'sanja'.

"Pada tahun 2010 itu masih ramai, cuma ke sininya sepi sampai sudah tidak ada lagi."

"Kan zaman sekarang bisa kenalan lewat Facebook, lewat apa, serba online," pungkas Nurani.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved