Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Pilpres 2024

Fakta Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak: Aturan di UU Pemilu - Respons Timnas AMIN

Inilah deretan fakta terkait Jokowi yang menyebut Presiden boleh kampanye dan memihak. Mulai dari aturan di UU Pemilu hingga respons Timnas AMIN.

|
Editor: Elma Gloria Stevani
Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden dan Tim Komunikasi Gerindra
Foto : Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada acara konsolidasi pemenangan di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Minggu (10/12/2023).(Dok. Tim Komunikasi Gerindra/ Foto 1: Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara penyerahan bantuan kepada petani gagal panen di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah pada Selasa (23/1/2024). Timnas AMIN menilai Jokowi sudah melanggar sumpahnya sendiri usai menyebut presiden boleh untuk memihak dan berkampanye. 

d. fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(3) Gedung atau fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disewakan kepada umum dikecualikan-dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Respons Timnas AMIN

Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas AMIN), Sudirman Said, berharap hal itu tak dilontarkan langsung oleh Jokowi.

Pernyataan ini disampaikan Sudirman Said ketika menghadiri acara "Ikrar Gerakan Rakyat untuk Perubahan dan Konsolidasi Pemenangan AMIN" di Tumang, Desa/Kelurahan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Rabu (24/1/2024).

"Mudah-mudahan itu bukan pernyataan Pak Jokowi, ya, karena itu muncul dari seorang kepala negara, ya, kita dalam keadaan bencana," ujarnya dikutip dari TribunSolo.com.

Sudirman berpendapat seharusnya kepala negara mengayomi seluruh kontestan Pemilu 2024.

"Bagaimana mungkin, seorang kepala negara mengatakan presiden boleh, menteri boleh (berkampanye)," ucapnya.

Apabila ingin bersikap adil, Sudirman menilai menteri atau presiden yang mendukung salah satu paslon harus cuti atau mengundurkan diri dari jabatannya.

Situasi ini seperti dalam sebuah pertandingan olahraga, yang mana presiden diibaratkan sebagai wasit tertinggi.

"Kita ingin betul-betul, kepala negara yang memberikan teladan, yang memberikan contoh netralitas."

"Karena apa, ibarat pertandingan, presiden itu wasit tertinggi. Nah, kalau wasit tertinggi merangkap jadi pemain, ya, bagaimana itu?" ungkapnya.

Di sisi lain, Juru bicara Tim Nasional (Timnas) Anies-Muhaimin (AMIN), Mustofa Nahrawardaya menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah melanggar sumpahnya sendiri setelah menyatakan bahwa presiden boleh berpihak dan berkampanye.

Adapun maksud Mustofa terkait sumpah Jokowi adalah saat dilantik menjadi Presiden yang berbunyi:

"Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Dengan sumpah ini, Mustofa mengatakan ada tiga janji yang sudah dilanggar Jokowi sebagai Presiden yaitu tidak bertindak sebaik-baiknya, seadil-adilnya dan tidak selurus-lurusnya.

Alhasil, dia menganggap Jokowi telah melukai masyarakat Indonesia dan tidak memiliki etika sebagai Presiden.

"Pelanggaran janji ini nyata-nyata telah melukai seluruh bangsa Indonesia. Dengan mengabaikan janjinya sendiri, Jokowi tak memiliki etika sebagai presiden yang seharusnya adil," kata Mustofa kepada Tribunnews.com, Rabu (24/1/2024).

Mustofa pun menilai, sejak Jokowi menjadi Presiden RI pada 2014, telah sukses membentuk karakter bangsa yang buruk dan tidak sesuai dengan jargon yang selama ini dirinya gaungkan yaitu Revolusi Mental.

"Akibat tak memegang etik sumpahnya itu, maka pernyataannya jelas berlawanan dengan Revolusi Mental yang pernah dicanangkannya," ujarnya.

Namun, ketika ditanya apakah Timnas AMIN bakal melaporkan Jokowi ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mustofa mengatakan tidak bakal melakukannya.

Dia mengatakan pernyataan Jokowi tersebut agar dinilai masyarakat sesuai seruan capres nomor urut 1, Anies Baswedan.

"Tetapi sesuai keinginan Pak Anies, kita persilahkan masyarakat menilai. Bagaimana karakter Jokowi yang sangat berpotensi ditiru oleh paslon lain yang mengaku sebagai kepanjangan kepentingannya," pungkasnya.

Komentar Gerindra

Berbeda pandangan dengan Sudirman Said, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, setuju dengan apa yang dikatakan oleh Presiden Jokowi.

Ini karena Indonesia memiliki aturan terkait sikap pemerintah saat pemilu.

Selama presiden sebagai kepala negara tidak menggunakan kekuasaannya atau fasilitas negara untuk memberikan dukungan, maka itu sah-sah saja.

"Ketentuan tersebut adalah Pasal 306 UU Nomor 7 tahun 2017 yang secara umum mengatur pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, serta Pasal 547 yang mengatur setiap pejabat negara yang membuat kebijakan yang merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun," kata Habiburokhman dalam keterangannya, Rabu.

Oleh sebab itu, dia merasa tidak masalah dengan pernyataan Presiden Jokowi. Pasalnya, Indonesia mempunyai aturan ketat terkait hal ini.

"Negara kita sudah punya aturan yang ketat untuk mencegah presiden menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan dirinya atau calon yang dia dukung," sambungnya.

Guna menegakkan aturan tersebut, Indonesia memiliki Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Bahkan kinerja Bawaslu pun diawasi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

"Intinya kita tidak perlu khawatir apabila presiden menggunakan haknya untuk mendukung salah satu paslon karena ada aturan berlapis yang jelas dan ada lembaga penegak hukum yang jelas untuk memastikan tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.

Dukungan ke Prabowo-Gibran

Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, menyebut pernyataan Jokowi makin memperjelas bahwa presiden mendukung pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilu 2024.

"Jadi saya melihat imbas pernyataan Jokowi, Pak Jokowi sangat jelas kelihatannya makin hari makin clear (jelas) ke Prabowo-Gibran," kata Ujang kepada Tribunnews.com, Rabu.

Menurutnya, keberpihakan Jokowi sudah terlihat sejak awal di mana Gibran yang notabene merupakan putra sulungnya dipinang oleh Prabowo untuk maju ke Pemilu 2024.

Oleh karena itu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu berbeda haluan dengan PDIP, partai di mana Jokowi meniti karier politiknya selama ini.

"Keberpihakan sudah sangat jelas semenjak Gibran dijadikan cawapres sudah pasti Jokowi ke pasangan 02 Prabowo-Gibran, makanya dia berbeda haluan, beda kubu dengan PDIP partainya sendiri," ungkap Ujang.

Bagaimanapun, dia menilai dukungan yang makin nyata ini akan menguntungkan Prabowo-Gibran.

Alasannya karena tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi masih terbilang tinggi.

"Dan itu menguntungkan Prabowo-Gibran karena tingkat kepuasan Jokowi masih tinggi di mata publik," pungkas Ujang.

Pendapat Pakar Hukum Tata Negara

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari merespons pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa presiden boleh kampanye dan berpihak.

Feri mengatakan, Presiden Jokowi terkesan tidak menabrak aturan yang diamanatkan Pasal 281 Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

"Secara ketentuan undang-undang memang kesannya Presiden tidak menabrak ketentuan 281 UU Pemilu, jika kemudian presiden melakukan cuti dan tidak melakukan fasilitas negara," kata Feri, dalam keterangannya, Rabu (24/1/2024).

Menurutnya, pernyataan Jokowi justru merupakan permasalahan etika dan moral.

"Poblematikanya bukan problem normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden, satu, akan mendukung anaknya," ucapnya.

Selain itu, Feri menilai, dukungan Presiden Jokowi untuk sang putra, Gibran Rakabuming Raka, yang maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di 2024 dinilai merusak sistem kepartaian di Indonesia.

Alih-alih menegakkan etika dan moral, kata Feri, Jokowi sama sekali tidak memberikan contoh kepada rakyat terkait menjalankan etika bernegara yang baik dan benar.

"Tapi yang lebih parah adalah Presiden merusak sistem kepartaian kita. Lumrahnya presiden mendukung calon yang diajukan partainya sendiri, kali ini presiden kemudian mendukung dari calon partai lain. Ini kan kerusakan etika berpolitik, berpartai, dan menjalankan wewenang kekuasaan bernegara," jelas Feri.

"Letaknya adalah panggilan etika dan moral, dan sampai saat ini presiden tidak menjalankan nilai-nilai moral bahkan memberikan contoh etika dalam menjalankan praktik bernegara," tutur akademisi hukum Universitas Andalas itu.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com, Tribunnews.com dan Tribunnews.com

---

Berita Jatim dan Berita Viral lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di GoogleNews TribunJatim.com

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved