Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Malang

Angka Putus Sekolah di Kota Malang Meningkat, Usia 16-18 Didominasi Perempuan

BPS Kota Malang mencatat, Angka Putus Sekolah (APTS) menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kota Malang meningkat

Penulis: Benni Indo | Editor: Ndaru Wijayanto
tribunjatim.com/PURWANTO
Kegiatan pembelajaran baris berbaris di sebuah sekolah yang ada di Kota malang, Rabu (20/3/2024) dalam artikel angka putus sekolah di Kota Malang meningkat 

“Kalau di kami, SD dan SMP sudah nol. Insha Allah tidak, coba saya telusuri. Saya sudah kerjasama dengan PKK Kelurahan, mereka tidak mendapatkan anak yang putus sekolah. Kalau mereka putus sekolah, pasti ada di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Kami fasilitasi semua. Pastinya. kami tidak ada. Di mana kalau ada yang bisa mencari, hari ini juga saya datangi,” tegas Suwarjana.

Baca juga: Tips Bagi Mahasiswa Surabaya Lolos Beasiswa Pemuda Tangguh, Ternyata Bukan Sekadar IPK Bagus

Setelah ditunjukan data yang diunggah oleh BPS Kota Malang, terdapat 1,46 persen angka putus sekolah untuk rentang usia 13-15 tahun.

Rentang usia tersebut pada umumnya berada di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang memang menjadi kewenangan Pemkot Malang.

Adanya angka putus sekolah di tingkat SMP menjadi pertanyaan penting karena Pemkot Malang memiliki program gratis pendidikan dari SD hingga SMP.

Suwarjana menyatakan akan mengkonfirmasi kembali data yang ada ke BPS Kota Malang.

“Nanti kami juga akan tanya ke BPS. Kalau di Dinas 0 persen. Kami sudah menyaring bagaimana caranya tidak ada angka putus sekolah. Coba nanti kami cek dan koordinasikan, tapi yang jelas data di kami tidak ada. Itu kami bingung,” ungkap Suwarjana.

Anggota DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita menyebut perlu dilakukan pemetaan terlebih dahulu sebelum membuat kebijakan yang bisa mengentaskan APTS di Kota Malang.

Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan APTS di Kota Malang. Tidak sekadar faktor ekonomi.

“Yang kami dengar, faktornya lebih banyak ke peserta didik. Jadi merasa pendidikan tidak penting karena di luar sana ada contoh bagaimana bisa bekerja di mana saja. Mempergunakan teknologi dan sebagainya sehingga bisa menghasilkan uang. Ini tantangan-tantangan yang harus kita bedah lagi,” ujar Amithya.

Ia mendorong perlunya langkah-langkah pemetaan di sektor seperti finansial, lingkungan, orangtua hingga terhadap peserta didik itu sendiri. Tugas seperti itu tidak bisa dibebankan pada satu kedinasan saja.

“Kan ada tuh orangtua yang memang sengaja tidak memprioritaskan pendidikan. Mengapa pendidikan tidak menjadi prioritas? Ini juga harus digali. Finansial itu sendiri tidak sesederhana itu, bukan hanya karena uang. Bukan. Prioritas anggarannya seperti apa?” ujarnya.

Hasil pemetaan itu akan memberikan panduan kepada pemangku kebijakan untuk menentukan arah keputusan. Saat ini, Pemkot Malang telah menerapkan pendidikan gratis untuk anak tingkat SD hingga SMP.

“Kalau dirasa pendidikan cukup mahal ya harus evaluasi kembali. Beasiswanya tepat sasaran atau bagaimana? Atau mungkin program sekolah gratis berarti tidak mengena. Apa biaya-biaya lain yang kurang, misalnya transportasi, berarti transportasi menuju sekolah harus kita perbaiki kembali. Itu kan banyak faktor, tidak bisa sesederhana itu bikin kebijakan. Pembiayaan pendukung perlu kita pikirkan juga,” papar Amithya

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved