Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Viral Nasional

Dulu Ikut Operasi Trikora, Sarno Nangis Tiap Hari karena Tinggali Bekas Kandang Ayam, Makan Dibantu

Inilah kisah Sarno (84), pria yang dulu pernah jadi anggota militer sukarela di era Presiden Soekarno. Sarno rupanya juga pernah ikut Operasi Trikora

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO
Dulu Ikut Operasi Trikora, Sarno Nangis Tiap Hari karena Tinggali Bekas Kandang Ayam, Makan Dibantu 

TRUBUNJATIM.COM - Inilah kisah Sarno (84), pria yang dulu pernah jadi anggota militer sukarela di era Presiden Soekarno.

Sarno rupanya juga pernah ikut Operasi Trikora.

Operasi Trikora adalah operasi militer yang dilancarkan Indonesia untuk melawan pendudukan Belanda di Irian Barat (Papua).

Sayangnya, kehidupan Sarno kini justri pilu.

Ia tinggal di rumah sederhana kecil, dengan dinding anyaman bambu, dan beralaskan tanah di Padukuhan Susukan II, Kalurahan Genjahan, Ponjong, Gunungkidul, DI Yogyakarta.

Dikunjungi Jumat (2/8/2024), di rumah Sarno ada belasan medali, lencana, hingga sertifikat saat dirinya ikut beberapa kali operasi militer saat menjadi anggota militer sukarela.

"Ini dulu bekas kandang ayam, dan saya juga di sini. Sekarang saya sendiri tidur di sini," kata Sarno, melansir dari Kompas.com.

Sambil menunjukkan surat tanda penghargaan 'Satya Lenjana Wira Dharma' yang ditandatangani Menteri Koordinator keamanan dan pertahanan/keamanan Kepala staf angkatan Bersendjata A.H. Nasution, pada 26 Maret 1966, Sarno menceritakan dirinya menjadi anggota militer sukarela sejak tahun 1960 sampai 1969.

"Dimulai tahun 1960 DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Kedua di Sumatera pemberantasan PRRI. Ketiga kali di Sulawesi itu memberantas Kahar Muzakkar. Keempat kali itu ke Irian, merebut Irian Barat (Trikora), habis itu saya ke Kalimantan 1964, saya sampai 1,5 tahun lah di sana,” ucap dia.

Baca juga: Nasib Artis yang Diidolakan Presiden Soekarno, Sering Bikin Penonton Tergila-gila, Ending Pilu

Lalu dirinya 1966 sampai 1967 dirinya ikut pembersihan G30S, dan disiagakan untuk operasi Timor timor (Timor Leste).

"Sampai tahun 1969, ndak (masuk TNI), saya masuk wajib militer darurat. Saat itu lima tahun selesai, aturannya begitu. Saya sudah 9 tahun, saya dapat bintang sewindu juga itu," kata dia.

Sarno mengatakan, beberapa temannya di militer sukarela masuk sekolah dan melanjutkan karier di militer.

Namun, dirinya yang sempat menjadi wakil komandan malah tidak bisa melanjutkan pendidikan.

Dia lalu memutuskan bekerja di Bandung, Jawa Barat, sebagai penjaga pasar. Hingga menikah dan pulang ke Gunungkidul, dirinya bekerja sebagai petani.

Ia menikah dua kali, karena istri pertamanya meninggal setelah 20 tahun bersama.

Istri keduanya juga meninggal setelah 15 tahun bersama.

Namun, kedua pernikahan tidak dikaruniai keturunan.

Baca juga: Sebelum Lengser dari Presiden, Soeharto Sudah Siapkan Pengganti Dirinya: Ada, Saya Tak Ambisi

Setelah istri keduanya meninggal, dirinya pulang ke Susukan II, dan dibuatkan rumah kecil beralaskan tanah berukuran sekitar 8x6 meter.

Lampu penerangan kecil setiap malam memberikan cahaya redup untuk tubuh rentanya.

Sarno tidak berpenghasilan dan hidup sebatang kara.

Untuk kembali bekerja jelas tidak memungkinkan karena tubuhnya tidak sekuat dulu lagi.

"Saya sekarang menganggur. Sekarang saya sendiri, makan kalau tidak diberikan saya tidak makan," ucap dia.

Bahkan, saat teman-temannya yang lain bisa mengurus menjadi anggota veteran, dirinya tidak bisa, dan sudah dua kali dilakukan.

Sambil menatap dalam, ia sering meratapi kehidupannya yang dijalani.

"Saya setiap hari nelongso nangis dalam batin. Saya kurang apa, perlengkapan sudah baik semua. Boleh dibaca surat saya semuanya bersih, baik," ucap pria kelahiran 21 April 1940.

Seorang kerabat Sarno, Sukiran (66) membenarkan Sarno telah tinggal di rumah tersebut sebatang kara sejak kurang lebih 20 tahun.

Selain tetangga sekitar, dia mendapatkan bantuan beras dan telur dari salah satu gereja.

Beberapa tahun terakhir kesehatan Sarno menurun, bahkan tiga kali operasi yakni 2 kali prostat, dan 1 kali hernia. Semuanya tercover BPJS Kesehatan.

"Makan dapat dari yayasan sudah setahun terakhir. Utamanya mengandalkan saudara dan tetangga," ucap dia.

Kisah Operasi Trikora

Melansir dari Intisari, Operasi Trikora dimulai pada bulan Desember 1961 dan berakhir pada bulan Agustus 1962.

Operasi ini berakhir dengan kekalahan militer Indonesia di beberapa daerah, tetapi berhasil memperoleh keuntungan politik bagi Indonesia.

Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia.

Operasi Trikora terjadi karena konflik antara Indonesia dengan Belanda terkait perebutan Irian Barat.

Masalah ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 2 November 1949 terkait rencana pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Kerajaan Belanda.

Masih terdapat satu persoalan penting yang belum disepakati, yakni mengenai status Irian Barat.

Baik Indonesia maupun Belanda merasa berhak atas wilayah di bagian timur Kepulauan Nusantara itu.

Baca juga: Salat Idul Adha Mencekam Kala Presiden Soekarno Jadi Target Pembunuhan, Sujud Jadi Penyelamat

Lantaran tidak dicapai titik temu, KMB memutuskan bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu setahun ke depan.

Namun, hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi.

Belanda ternyata ingin menjadikan Irian Barat sebagai negara boneka.

Pada Februari 1961, Belanda mulai membentuk parlemen. Lalu, pada 19 Oktober 1961, dibentuk Komite Nasional Papua. Kekuatan militer Papua juga turut dibangun.

Departemen Penerangan RI merilis buku Irian Barat Daerah Kita (1962) yang di dalamnya terdapat bukti bahwa Belanda pernah melakukan “Pameran Bendera” (Vlagertoon) yang ternyata disertai kapal-kapal perang pada 4 April 1960.

Melihat hal ini, Presiden Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia tidak tinggal diam. Pada 6 Maret 1961, dibentuk Korps Tentara Kora-1.

Sebagai panglima komandonya adalah Mayor Jenderal Soeharto. Nama kesatuan ini beberapa kali mengalami perubahan, dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) hingga menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Baca juga: Sosok Pahlawan Trikora, Nasib Berubah Tragis seusai Peritiwa G30S, Dijatuhi Hukuman Mati

Tanggal 11 Desember 1961, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan).

Tiga hari setelah itu dilaksanakan sidang yang melahirkan Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno.

Tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengutarakan maksud Trikora melalui pidatonya yang diserukan di Yogyakarta.

Trikora adalah singkatan dari Tri Komando Rakyat yang terdiri dari tiga perintah utama, yaitu:

Menggagalkan negara boneka Papua yang dibentuk oleh Belanda.

Mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat sebagai lambang kedaulatan Indonesia.

Bersiap-siap untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan bangsa.

Tujuan Operasi Trikora adalah untuk merebut kembali Irian Barat dari Belanda dan menyatukannya dengan wilayah Indonesia sebagai bagian dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Meskipun Operasi Trikora berhasil menimbulkan kerugian bagi Belanda, Indonesia juga mengalami beberapa kegagalan dan korban.

Salah satu kegagalan yang paling menyedihkan adalah operasi Mandala yang dilakukan pada 15 Januari 1962 oleh pasukan AU (Angkatan Udara) yang dipimpin oleh Marsekal Omar Dhani.

Operasi ini gagal mendaratkan pasukan di Biak karena disambut tembakan dari pasukan Belanda. Akibatnya, sekitar 150 pasukan gugur termasuk Komodor Udara Yos Sudarso yang menjadi pahlawan nasional.

Korban jiwa dari Operasi Trikora diperkirakan mencapai 214 prajurit Indonesia gugur dan tidak diketahui berapa jumlah korban tewas dari pihak Belanda dan relawan Papua.

Operasi Trikora juga menimbulkan ketegangan internasional antara Indonesia dengan Belanda dan sekutunya seperti Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Baca juga: Hidup Mewah hingga Jadi Favorit Presiden Soekarno, Namun Nasib Tiga Artis Cantik Ini Berakhir Tragis

Operasi Trikora berakhir dengan perjanjian New York yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962.

Perjanjian ini mengatur bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA yang akan mengelola wilayah tersebut selama tujuh bulan sebelum diserahkan kepada Indonesia.

Perjanjian ini juga mengatur bahwa akan dilakukan penentuan pendapat rakyat (Pepera) untuk menentukan nasib akhir Irian Barat.

Pada 1 Mei 1963, UNTEA secara resmi menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Pada tanggal yang sama, bendera Merah Putih dikibarkan di Irian Barat sebagai lambang kedaulatan Indonesia.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved