Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Para Jenderal Tinggi Polisi Dibuat Kagum dengan Drama Kolosal Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan

Para jenderal tinggi polisi dibuat kagum menonton drama kolosal perjuangan pasukan M Jasin dan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan.

Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Dwi Prastika
TribunJatim.com/Luhur Pambudi
Drama kolosal dalam Upacara Hari Juang Polri di Monumen Polisi Istimewa, Tegalsari, Surabaya, Rabu (21/8/2024).  

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Jenderal Bintang Tiga, Komjen Pol Wahyu Widada, bersama jajaran para Jenderal Mabes Polri dibuat berdecak kagum menyaksikan penampilan drama kolosal peringatan 'Hari Juang Polri' di Monumen Perjuangan Polri atau Polisi Istimewa di Jalan Polisi Istimewa, Tegalsari, Surabaya, Rabu (21/8/2024). 

Perwira tinggi Polri yang menjabat sebagai Kabareskrim Polri itu, tampak tertegun dengan drama kolosal yang melibatkan ratusan pemeran aktor dan aktris dari warga sipil, juga anggota Polri aktif.

Bahkan, beberapa kali, ia juga mengangkat gawai ponselnya dalam posisi landscape untuk merekam penggalan adegan heroik dari para penampil yang berada tepat di depannya. 

Selama beberapa menit merekam adegan pertempuran yang sedang terjadi dalam drama kolosal itu, ia juga sempat dibuat tertawa serata melebarkan senyum merekah, melihat adegan demi adegan. 

Apalagi saat terdapat seorang 'kempetai' atau pasukan Jepang bertubuh tambun berlarian terbirit-birit usai senjatanya dirampas pasukan perjuangan Indonesia 'arek-arek Suroboyo' yang menjadi cikal bakal Polri di kemudian hari.

Ditambah lagi pakaian seragamnya robek-robek hingga menampakkan anggota tubuh bagian atasnya lalu kempetai bertubuh gendut tersebut, berteriak ketakutan karena dikejar-kejar pejuang Indonesia yang cuma bersenjatakan bambu runcing. 

Sejenak tertegun, sejenak tertawa, memang demikian random ekspresi Komjen Pol Wahyu Widada sepanjang menyaksikan alur cerita drama kolosal tersebut. 

Bahkan, senyumannya bisa langsung sirna saat adegan drama kolosal yang begitu apik menyajikan 'vibes' suasana Kota Surabaya era zaman kolonial 79 tahun lalu, mendadak menyuguhkan lekuk plot cerita yang mengharukan. 

Saat pertempuran yang melibatkan para pejuang bersenjata bambu runcing warna hijau kecokelatan itu, tumbang satu per satu, bersimbah darah diberondong senjata laras panjang zaman dulu (jadul). 

Baca juga: Drama Kolosal Bakal Warnai Peringatan Hari Juang Polri di Surabaya

Apalagi, momen adegan tersebut, semakin dibuat sendu dengan lagu mellow yang menjadi latar belakangnya. 

Ekspresi Komjen Pol Wahyu Widada sontak berubah begitu datar menandakan bahwa dirinya terseret dalam suasana haru yang mengiris hati pertanda beratnya perjuangan para pahlawan pendahulu dalam mempertahankan Kemerdekaan RI. 

Ekspresi kekaguman terhadap pementasan drama kolosal yang ditunjukkan oleh Wahyu Widada juga tampak pula pada Komjen Pol Fadil Imran, Kabaharkam Mabes Polri yang duduk di sebelahnya. 

Mantan Kapolda Jatim, saat situasi pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu itu, malah melakukan 'standing ovation,' di penghujung penampilan drama kolosal tersebut. 

Begitu juga dengan para jenderal tinggi polisi lainnya yang duduk di deretan bangku paling depan panggung tersebut, yakni Brigjen Pol Sandy Nugroho selaku Kadivhumas Polri, dan Irjen Pol Argo Yuwono selaku Aslog Polri. 

Mereka berdecak kagum melihat pertunjukan drama kolosal yang berlangsung hampir selama sejam, setelah Upacara 'Hari Juang Polri.' 

Kepala Pusat Sejarah (Kapusjarah) Mabes Polri, Brigjen Pol Hari Nugroho mengatakan, adegan demi adegan yang tersaji sepanjang pementasan drama kolosal tersebut menggambarkan dinamika dan kerumitan situasi perjuangan masyarakat Indonesia, terutama 'arek-arek Suroboyo' dalam mempertahankan Kemerdekaan RI.

Mulai dari momen saat Teks Proklamasi dibacakan oleh Soekarno-Hatta dibacakan dari Jakarta, yang pembacaannya teresonansi secara berulang-ulang melalui siaran radio menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Madura. 

Kemudian, berlanjut pada upaya pelucutan senjata kempetai atau tentara Jepang yang dikomandoi oleh Komjen Pol M Jasin. 

Hingga senjata-senjata hasil perampasan dari para kempetai itu didistribusikan kepada seluruh laskar atau kelompok pejuang kala itu untuk bersiap menghadapi pertempuran pada 10 November 1945.

Dan puncaknya pada momen perobelan Bendera Belanda di atas Hotel Yamato yang sempat berubah nama menjadi Oranje Hotels, lalu berubah kembali hingga kini bernama sebagai Hotel Majapahit. 

"Kita tahu dari semua kolosal tadi bahwa semua elemen masyarakat pasti akan ikut berjuang," ujarnya ditemui awak media seusai upacara di depan Monumen Polisi Istimewa. 

Polri memang belum memiliki hari juang, dibanding dengan TNI yang telah sejak lama memiliki hari bersejarah masing-masing. 

Oleh karena itu, lanjut Hari Nugroho, Kapolri mengeluarkan Keputusan Kapolri Nomor: KEP/95/I/2024 tanggal 22 Januari 2024 tentang Hari Juang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Dan, Keputusan Kapolri Nomor: KEP/1325/VII/2024 tanggal 12 Agustus 204 tentang Tata Upacara Hari Juang Polri.

Isinya meneguhkan tanggal 21 Agustus bakal diperingati secara terus menerus pada setiap tahun sebagai Hari Juang Polri, yang berakar pada sejarah Komjen Pol M Jasin membacakan Proklamasi Perjuangan Polri 1945, pada tanggal 21 Agustus 1945 silam. 

"Jadi memang sudah diteliti sejak 14 tahun lalu oleh Komjen Pol (Purn) Arif. Secara intens mulai tahun 2023 kita melakukan focus group discussion (FGD) serasehan, kemudian kami buat naskah akademik untuk Hari Juang Polri ini," jelasnya. 

Menurut Hari Nugroho, peristiwa perampasan senjata Kempetai Jepang yang dilakukan oleh Komjen Pol M Jasin kala itu, memiliki keterkaitan peristiwa sejarah yang kuat dengan sebelum dan sesudahnya. 

Mulai dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Hingga berlanjut pada perampasan senjata dan penguasaan gudang persenjataan Don Bosco. Dan terakhir pecahnya pertempuran pada 10 November 1945.

"Peristiwa 21 Agustus 1945 itu juga jadi starting poin butterfly effect perjuangan polri berikutnya. Mulai ada perlawanan pelucutan senjata membagikan senjata mengirim senjata ke wilayah lain untuk membantu perjuangan," katanya. 

"Kemudian hal lain dilakukan dengan menurunkan Bendera Hinomaru, Bendera Jepang, menaikan Benderan Merah Putih, dan seterusnya sampai peristiwa 10 November 1945," pungkasnya. 

Sementara itu, Ketua Komunitas Sejarah Begandring Surabaya, Achmad Zaki Hamani mengapresiasi upaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menetapkan Hari Juang Polri pada tanggal 21 Oktober yang berakar pada momen Proklamasi Perjuangan Polri 1945.

Proklamasi yang meneguhkan eksistensi polisi sebagai Kepolisian Republik Indonesia itu, dibacakan langsung Komjen Pol M Jasin setelah merampas senjata para Kempetai Jepang pada tanggal 21 Agustus 1945.

Penetapan 21 Oktober sebagai Hari Juang Polri bakal menambah daftar kesejahteraan bangsa Indonesia, khususnya warga Kota Surabaya, yang telah menyandang sebutan sebagai Kota Pahlawan. 

Apalagi peristiwa Komjen Pol M Jasin memimpin apel seluruh pasukannya sebelum melakukan perampasan senjata milik para kempetai lalu mendeklarasikan diri sebagai Anggota Polisi Republik Indonesia dengan membaca Teks Proklamasi Perjuangan Polri 1945, berhubungan dengan peristiwa besar pada zaman itu. 

Mulai dari Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 sebelumnya, hingga berlanjut dengan pertempuran mempertahankan Kemerdekaan RI di Surabaya pada 10 November 1945.

"Ini salah satu rangkaian, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemudian penurunan bendera Jepang. Dan naiknya bendera merah putih di Surabaya di Markasnya Pak Jasin; Tokubetsu Keisatsutai yang itu menjadi satu momen penting penegakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Surabaya," katanya, seusai Upacara Hari Juang Polri di Monumen Polisi Istimewa. 

"Disambut lagi oleh beliau, dengan mengumpulkan para anggotanya tanggal 20 Agustus 1945 malam, yang kemudian pada pagi harinya, beliau mengapelkan seluruh pasukannya, di halaman depan markasnya untuk membacakan Proklamasi Kepolisian Republik Indonesia," pungkasnya. 

Sekadar diketahui, Monumen Polisi Istimewa di Jalan Polisi Istimewa, Tegalsari, Surabaya, yang menjadi lokasi peringatan 'Hari Juang Polri' pada Rabu (21/8/2024), berada di seberang Gedung Graha Wismilak yang sempat viral karena dilakukan penyitaan atas sebuah pengusutan kasus oleh Anggota Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Jatim, pada Senin (14/8/2023). 

Gedung Graha Wismilak yang berlokasi di Jalan Raya Darmo 36-38, Dr Soetomo, Tegalsari, Surabaya itu, pada halaman utamanya, menjadi lokasi Komjen Pol (Purn) M Jasin memproklamirkan Polisi Istimewa Surabaya 'Tokubetsu Keisatsutai' menjadi Kepolisian Republik Indonesia, setelah melucuti senjata para tentara Jepang, pada 21 Agustus 1945, atau 79 tahun lalu. 

Gedung tersebut akhirnya dikembalikan lagi sebagai situs budaya milik Pemkot Surabaya, dan kini dirawat oleh Mabes Polri melalui Polda Jatim. 

Irjen Pol (Purn) Toni Harmanto, eks Kapolda Jatim, pada Senin (21/8/2023), mengajak seluruh anak buahnya; seluruh kapolres wilayah Polda Jatim untuk melakukan napak tilas di dalam gedung bersejarah tersebut. 

TribunJatim.com melakukan reportase pelaksanaan agenda tersebut. Toni Harmanto, mengajak seluruh penjabat kapolres, kapolresta, dan kapolrestabes se-Jatim, untuk melakukan napak tilas kesejarahan di dalamnya. 

Seluruh pejabat utama dari masing-masing polres dikumpulkan di dalam dua ruang lobby gedung tersebut, lalu mendengarkan ulasan kesejarahan mengenai sosok Komjen Pol M Jasin yang disampaikan oleh Sejarawan Universtas Negeri Surabaya (Unesa), M Sumarno. 

Kemudian, disusul penjelasan mengenai rekam jejak sejarah dan status quo kepemilikan bangunan bersejarah tersebut sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Surabaya dari Pakar Cagar Budaya Disbudpar Kota Surabaya, Handinoto. 

Selama kurun waktu 10 bulan menjabat sebagai Kapolda Jatim dan kurang dari setahun ini, pensiun sebagai anggota Perwira Tinggi Polri, Toni Harmanto mengakui, dirinya baru pertama kali memasuki bangunan gedung bersejarah bagi Polri itu. 

Pernyataan serupa juga sempat dilontarkannya kepada seluruh anak buahnya atau seluruh kapolres se-Jatim yang datang pada siang hari itu. 

Ternyata, hampir sebagian besar para kapolres itu, mengacungkan tangan kanannya, sebagai tanda penegas kesamaan pengalaman dengan sang atasan.

Halaman teras depan bangunan Gedung Graha Wismilak disebut Toni sebagai tempat terpenting yang menjadi momen Komjen Pol (Purn) M Jasin merampas senjata para tentara Jepang untuk melakukan perlawanan dalam menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. 

Melalui aksi heroik tersebut, ia berharap anggota Polri saat ini, dapat memaknainya sebagai peneguh semangat dalam melaksanakan tugas pengabdian dan pengayoman masyarakat.

"Kita berharap dengan cerita sejarah dan perjalanan sejarah yang dilakukan oleh Jenderal M Jasin ini menjadi penyemangat dan motivasi kita, untuk memiliki juga motivasi yang sama seperti beliau. Artinya, kalau beliau bisa merampas tentara jepang saat itu, kita juga melakukan hal-hal yang bisa terus memberi warna bagi kepolisian kita," kata Toni dalam sambutannya. 

Menurut Sejarawan Universtas Negeri Surabaya (Unesa), M Sumarno, bangunan Gedung Graha Wismilak merupakan bangunan yang sangat monumental bagi Polri dalam masa Kemerdekaan RI yang dipelopori oleh Komjen Pol (Purn) M Jasin. 

Lokasi tersebut dulunya merupakan Kantor Kepolisian Jepang. Setelah Jepang menyerah tanpa sarat, momen tersebut dimanfaatkan oleh pasukan Polisi Istimewa Surabaya yang dikomandoi oleh Komjen Pol (Purn) M Jasin merampas senjata para pasukan Jepang.

"Artinya apa, pak Jasin sangat tahu persis kekuatan kami ini yang bisa membentengi republik ini dari segi kekuatan senjata. Karena masih pegang senjata, oleh Jepang tidak diambil alih. Kalau yang lain Heiho dan sebagainya sudah diambil alih, saat tanggal 15 Jepang menyatakan kalah," ujar Sumarno.

Guna meneguhkan semangat juang mempertahankan kemerdekaan RI kala itu, M Sumarno menambahkan, M Jasin sampai memproklamirkan diri bahwa Polisi Istimewa Surabaya menjadi Polisi Republik Indonesia.

Isi dari Proklamasi tersebut, sebagai berikut ‘untuk bersatu dengan rakyat dalam perjuangan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan ini menyatakan bahwa Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia.'

Proklamasi yang dilakukan oleh Komjen Pol (Purn) M Jasin itu kelak menginspirasi keberanian ‘arek-arek Suroboyo’ merebut Gudang Senjata Don Bosco, St Louis, dan momen perobekkan Bendera Belanda di Hotel Yamato, yang kini bernama Hotel Majapahit.

"Intinya Pak Jasin sangat monumental memiliki peristiwa di gedung ini. Polisi Istimewa menjadi pelopor pertama karena yang memegang senjata otomatis berat, lebih dulu, yang kemudian diikuti oleh seluruh 'arek-arek' Surabaya," pungkasnya.

Kemudian, menurut Pakar Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya, Handinoto, Gedung Graha Wismilak tersebut sudah berkali-kali pindah kepemilikan sejak medio zaman kolonial sampai kemerdekaan.

Hingga akhirnya diketahui sempat menjadi Kantor Kepolisian Jepang, lalu berpindah tangan lagi menjadi milik Anggota Polisi Istimewa Surabaya yang dipelopori oleh Komjen Pol (Purn) M Jasin.

Berdasarkan penelusurannya, bangunan tersebut dulunya dibangun pada medio tahun sekitar 1920-an. Hal tersebut ditandai dengan adanya temuan perangko pada zaman tersebut yang bergambar bangunan gedung berlantai dua tersebut.

Gedung tersebut sempat dimiliki oleh seorang pengusaha distributor gula firma G.L. SIRKS and Co, bernama Paul Alexander Johannes Wilhelm Brandenburg Van Der Gronden. Lantaran bisnisnya kala itu, keuntungannya seret, si pemilik menyewakan gedung tersebut.

"Gedung ini ditempati atau disewa oleh sebuah Toko Yan. Pemiliknya juga memiliki Toko Piet yang juga menjadi Toko Metro. Bahwa antara 1936-1942, dia pernah tinggal di atas gedung ini. Dia bilang pada waktu itu, dipakai oleh Toko Yan, dan pegawainya berdiam di atas yang ada 4 kamar besar. Setiap bulan dia disuruh majikannya membayar sewa," ujar Handinoto.

Kemudian, pada momen Jepang berusaha menduduki Surabaya pada tahun 1942, Toko Yan tutup karena bangunan tersebut diambil alih oleh pasukan Jepang untuk dialihfungsikan sebagai Kantor Polisi Jepang.

Graha Wismilak merupakan bangunan cagar budaya (BCB) sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/251/402.104/1996 dengan nomor urut 32.

Karena, menurutnya, bangunan tersebut telah memenuhi serangkaian persyaratan sebagai situs bangunan cagar budaya.

Yakni telah berusia lebih dari 50 tahun, memiliki bentuk arsitektur bangunan yang indah, dan memiliki keterkaitan degan sejarah perjuangan kemerdekaan RI.

"Artinya dari tahun itu, gedung ini dipakai oleh banyak orang, tapi secara fisik tidak mengalami banyak perubahan. Saat Jepang datang 1942, tidak jelas di sini, gedung ini selama ini dipakai untuk apa. Setelah tahun 1945, tanggal 21 Agustus, Polisi Istimewa Surabaya memproklamirkan sebagai Polri di depan gedung ini," pungkasnya.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved