Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Sudah 16 Tahun Warga Desa Ini Tak Pakai Gas Elpiji, Sebulan Hemat Cuma Bayar Rp15 Ribu Berkat Limbah

Banyak warga yang saat ini tidak menggunakan tabung gas elpiji, melainkan menggunakan gas dari sumber lain.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Tribun Jateng
Warga Desa Pesalakan di Tegal, Jawa Tengah, sudah 16 tahun tak pakai gas elpiji 

TRIBUNJATIM.COM - Selama 16 tahun warga Dukuh Pesalakan, Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, tak pernah beli gas elpiji.

Rupanya hal itu juga karena warga desa yang sudah turun temurun menjadi perajin tahu kuning.

Mereka pun memanfaatkan bahan bakar lain hingga bisa hemat cuma bayar Rp15 ribu sebulan.

Sudah 16 tahun terakhir sejak 2008, perajin tahu di Dukuh Pesalakan berhasil mengolah limbah tahu menjadi energi terbarukan berupa biogas.

Bahkan banyak warga yang saat ini tidak menggunakan tabung gas elpiji, melainkan menggunakan gas dari limbah tahu.

Diketahui, satu rumah produksi tahu dalam seharinya bisa mengolah 100 hingga 150 kilogram kedelai.

Limbah tahu yang baunya cukup menyengat tersebut sempat menjadi permasalahan bagi warga desa tetangga.

Warga setempat, Ranito (50) mengatakan, limbah tahu warga sebelumnya dibuang ke sungai hingga menyebabkan bau yang tidak sedap.

Dampaknya, banyak warga dari desa sekitar yang merasa jengkel.

Tetapi setelah limbahnya diubah menjadi biogas, baunya hilang dan gas yang dihasilkan bisa untuk memasak.

"Saya sejak 2008 belum pernah beli tabung gas elpiji," katanya, Selasa (13/8/2024).

"Untuk warga hemat juga, sebulan hanya membayar Rp15 ribu," imbuh Ranito.

Perajin tahu, Rumiyati (45) mengatakan, Dukuh Pesalakan menjadi sentral produksi tahu sudah turun temurun, dia pun melanjutkan usaha milik orang tua.

Dalam sehari, ia bisa memasak 10 kali hingga 60 kilogram kedelai.

Baca juga: Sudah 13 Tahun Dewi Jarang Beli Gas Elpiji, Masak Pakai Bahan Bakar Lain, Hemat Rp720 Ribu Setahun

Menurutnya, keberadaan limbah tahu mengganggu lingkungan karena baunya sangat menyengat.

"Dulu dibuang di selokan belakang rumah, jadi baunya menyengat."

"Alhamdulillah sekarang ada salurannya sendiri, jadi aman," ungkapnya kepada Tribun Jateng.

Limbah dari perajin tahu yang berjumlah sampai 200 rumah produksi tersebut disalurkan melalui pipa-pipa khusus atau Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di bawah tanah.

Saluran ini terpusat di rumah pengolahan yang memiliki empat biodigester dan berdiri di lahan seluas 700 meter persegi.

Penanggung jawab rumah biodigester, Rosikin (52) bercerita, pembuatan IPAL pengolahan limbah tahu menjadi biogas ini sejak 2008.

Sebelumnya limbah tahu dibuang ke belakang rumah, ada kolam yang dibuat oleh masing-masing perajin tahu.

Karena baunya menjadi masalah, sempat ada rencana pembuangan limbah melalui Sungai Gung yang melintasi Desa Kalimati.

Tetapi warga di desa tersebut tidak mengizinkan hingga terjadi keributan.

"Akhirnya dari pemerintah saat itu bekerja sama dengan UGM buat biogas. Maka sejak 2008 sampai sekarang, alhamdulillah masih berfungsi baik," ujarnya.

Penanggung jawab Rosikin memperlihatkan api dari biogas yang diolah dari limbah tahu di Dukuh Pesalakan, Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Selasa (13/8/2024). (TRIBUN JATENG/FAJAR BAHRUDDIN ACHMAD)
Penanggung jawab Rosikin memperlihatkan api dari biogas yang diolah dari limbah tahu di Dukuh Pesalakan, Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (13/8/2024). (TRIBUN JATENG/FAJAR BAHRUDDIN ACHMAD)

Rosikin menjelaskan, saat ini pengolahan dan perawatan sepenuhnya sudah diserahkan ke warga Dukuh Pesalakan.

Manfaatnya banyak dirasakan warga, dari limbah yang baunya menyengat justru bisa menjadi gantinya gas elpiji.

Masyarakat juga lebih hemat dengan cukup membayar Rp15 ribu per bulan dan bisa menggunakan setiap hari.

Selain itu, limbah tahu yang sudah melalui proses biogas saat keluar sungai sudah tidak memiliki bau apapun.

"Jadi penyaringan-penyaringan di biodigester itu saat keluar sudah tidak menyengat, baunya benar-benar hilang," jelasnya.

Rosikin mengatakan, dulu warga yang bisa menggunakan biogas dari limbag tahu ini bisa sampai 60 rumah.

Saat ini tinggal di sekitar rumah biodigester saja sekitar 25 rumah, karena terdampak proyek pembangunan jalan tol.

Dia berharap, ke depannya rumah biodigester ini mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah atau instansi pemerintah terkait, sehingga jaringannya bisa diperluas dan dapat dimanfaatkan masyarakat.

"Harapannya ke depan, kami ingin ada pencerahan dari pemerintah terkait penyaluran air limbah ke IPAL.

Kami ingin punya instalasi yang lebih bagus supaya tidak terhambat di penyalurannya," harapnya.

Baca juga: Cerita Hendri Pria dari Jombang, Bergelut dengan Kotoran Sapi Dapatkan Biogas Pengganti Gas LPG 

Sebagai informasi, biogas adalah salah satu jenis energi alternatif yang dapat menggantikan penggunaan bahan bakar fosil.

Dilansir dari Youmatter, biogas adalah jenis bahan bakar nabati yang dihasilkan dari penguraian bahan organik yang dilakukan secara alami.

Saat bahan organik terpapar lingkungan kedap oksigen, maka campuran gas didalamnya akan terbebas.

Gas yang paling banyak dilepaskan pada proses ini adalah gas metana sebesar 50-75 persen, bergantung pada jumlah karbohidrat yang terdapat pada campuran bahan organik dan karbon dioksida.

Proses ini juga menghasilkan gas lainnya namun dalam jumlah yang lebih kecil.

Dikarenakan proses produksi biogas ini terjadi secara anaerob, yaitu tanpa paparan oksigen, sehingga terjadi proses fermentasi yang memecah rantai pada bahan organik.

Proses pemecahan ini menjadikan bahan organik yang semula limbah menjadi sumber energi.

Sumber energi ini dapat digunakan untuk memanaskan, mendinginkan, memasak, atau bahkan memproduksi listrik.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved