Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Ponorogo

47 Tahun Hilang, Mbah Tobari Pulang Kondisinya Buta Disambut Tangis Keluarga, Dikira Sudah Meninggal

Kepulangan Mbah Tobari kembali ke rumahnya di Desa Ciluk, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, melalui perjuangan panjang.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Dok Dinsos P3A
Mbah Tobari nangis kembali bertemu keluarga di Ponorogo usai 47 tahun hilang 

TRIBUNJATIM.COM - Sudah 47 tahun hilang, kakek berusia 71 tahun bernama Tobari akhirnya pulang ke rumah keluarganya di Ponorogo.

Sontak kepulangan Mbah Tobari tersebut disambut tangis histeris keluarga.

Pasalnya keluarga menganggap Mbah Tobari sudah meninggal dunia.

Baca juga: Mbah Sipon Teriak Panggil Cucu, Baru Sadar Jadi Korban Aksi Penipuan Jual Cincin, Videonya Viral

Diketahui, Mbah Tobari meninggalkan rumah sejak tahun 1977.

Selama 47 tahun, ia tak pernah pulang kampung.

Kala itu Tobari muda merantau ke Kabupaten Siak, Riau.

Saat awal merantau, Mbah Tobari pernah pulang.

Namun selama puluhan tahun, nasibnya tak lagi diketahui oleh keluarga.

"Tahun 77 (1977), Kakek Tobari memilih merantau ke Kabupaten Siak, Riau. Mandiri bukan ikut transmigran," ungkap Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A), Supriadi, pada Selasa (8/10/2024).

Kepulangan Mbah Tobari kembali ke rumahnya di Desa Ciluk, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, sendiri melalui perjuangan panjang.

"Ternyata beberapa tahun terakhir, Tobari dalam kondisi terlantar dan buta. Terlantarnya karena memang sebatang kara," tambah Supriadi.

Warga setempat kemudian mengantar Mbah Tobari ke Dinsos P3A Siak.

Ternyata ketahuan jika data Mbah Tobari tak tercatat di administrasi kependudukan.

"Karena tidak punya, oleh Dinsos Siak dibuatkan adminduk. Kemudian dilakukan pelacakan keluarga Kakek Tobari ini. Yang memudahkan karena Tobari ingat asalnya," urai Supriadi.

Suasana kakek Tobari, lansia yang kembali bertemu keluarga di Ponorogo usai puluhan tahun merantau ke Riau
Suasana kakek Tobari, lansia yang kembali bertemu keluarga di Ponorogo usai 47 tahun merantau ke Riau (Dinsos P3A)

Mbah Tobari kemudian dipulangkan ke Ponorogo dengan bantuan tiket dari LazisNU.

"Ketemu keluarga dan tangisnya benar-benar pecah. Keluarga tidak menyangka bisa ketemu karena dianggap sudah meninggal dunia."

"Tobari juga tidak menyangka, karena ketika mau pulang pasti malu. Mungkin karena merasa tidak berhasil saat merantau," tambahnya.

Ia menyebutkan Tobari sempat menikah, namun cerai pada tahun 1986.

Sementara anak semata wayangnya ikut mantan istri Tobari.

"Alhamdulillah sudah bisa bertemu kembali dengan keluarga. Setelah melakukan reunivikasi, yang memudahkan karena memang Tobari mengingatnya," urainya.

Mbah Tobari kini pulang dalam kondisi selamat, walau kedua matanya sudah tak lagi bisa melihat karena katarak.

Saat ini, Mbah Tobari tinggal bersama adiknya, Sopiyah, di Ponorogo.

Selain itu, Dinsos dan P3A Ponorogo juga akan berusaha membantu Mbah Tobari untuk mendapatkan program operasi gratis untuk kataraknya.

"Kami akan berupaya mencarikan program operasi katarak gratis agar kesehatan matanya bisa kembali pulih," pungkasnya. (Pramita Kusumaningrum)

Baca juga: Awal Kisah Cinta Mbah Agus Nikahi Gadis Muda 26 Tahun, Direstui Ayah Mertua Meski Lebih Tua 33 Tahun

Kisah serupa juga dialami Mbah Marmi (74) yang nangis terharu saat bertemu ibunya, Mbah Wiji, yang berusia 94 tahun.

Mbah Marmi sendiri dikira ibunya meninggal disapu tsunami.

Ibu dan anak ini baru bertemu lagi setelah lebih dari 30 tahun terpisah.

Mbah Wiji adalah warga Dusun Umbut Sewu, Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Ia menangis tersedu-sedu sambil memeluk anaknya, Marmi, yang hilang selama 30 tahun.

Bahkan Mbah Wiji menganggap Marmi sekeluarga sudah meninggal dunia tersapu tsunami Aceh 2004.

Namun Marmi pulang bersama sejumlah anaknya dan membuat Mbah Wiji larut dalam keharuan.

"Anak selama ini tidak tahu keberadaannya, tiba-tiba muncul," ucap Mbah Wiji yang masih enerjik, dengan mata berkaca-kaca penuh haru.

Ia mengaku, selama ini selalu merindukan anak sulungnya tersebut.

Setiap kali pergi ke pasar, pandangannya selalu menelisik, berharap bisa bertemu Marmi.

Demikian juga jika ada orang asing di lingkungannya, Mbah Wiji berharap sosok tersebut adalah cucunya yang tersesat saat pulang.

"Sekarang sudah senang, bisa bertemu anak yang selama ini hilang," kata Mbah Wiji.

"Saya ingat dulu anaknya lima, sekarang malah nambah cucu 19," imbuhnya.

Mbah Wiji (tengah) diapit Suyadi cucunya dan Marmi anaknya yang terpisah puluhan tahun dalam artikel berjudul 'Dikira Meninggal Disapu Tsunami 2004, Ibu dan Anak asal Tulungagung Kembali Bertemu Setelah Puluhan Tahun
Mbah Wiji (tengah) diapit cucunya, Suyadi, dan anaknya, Marmi, yang terpisah puluhan tahun (TRIBUNJATIM.COM/David Yohanes)

Diketahui, Marmi pergi ke Riau sekitar tahun 1975-1976 silam.

Saat itu, ia berangkat bersama suaminya, Samani, dan dua anaknya, Sutrimo serta Suyadi yang berganti nama menjadi Yatimin.

Pada awalnya, Marmi masih sering berkirim surat ke keluarganya di Desa Kaliwungu.

Bahkan di tahun 1984, Marmi sempat pulang ke Tulungagung.

Namun di tahun 1990-an, Marmi dan Mbah Wiji putus kontak.

Sampai kemudian terjadi bencana tsunami 2004 di Aceh, tersiar kabar jika keluarga Marmi ikut menjadi korban.

Mbah Wiji menganggap, keluarga Marmi sudah cures (habis semuanya).

Saat itu, Mbah Wiji sampai menggelar rangkaian selamatan untuk keluarga Marmi.

Selamatan ini pernah dilaksanakan kali kedua untuk mengenang keluarga Marmi yang dikira tersapu tsunami.

Mbah Wiji pun berencana menggelar selamatan ketiga setelah Lebaran 2024 ini.

"Sebenarnya lokasi kami jauh dari bencana tsunami."

"Tak tahu bagaimana kami dikabarkan jadi korban," ucap anak sulung Marmi, Suyadi (52).

Sejak tahun 2019, Marmi mengaku sudah berusaha melacak kembali keluarganya di Tulungagung, namun tidak membuahkan hasil.

Salah satu cucunya kemudian menemukan akun Instagram Desa Kaliwungu, dan mengirim pesan.

Pihak Pemerintah Desa Kaliwungu lalu mencoba menghubungkan kedua keluarga ini hingga bisa saling tukar nomor telepon.

"Saya senang sekali karena ternyata masih bisa bertemu mbah (nenek)."

"Ternyata saya masih punya nenek," ujar Suyadi dengan nada ceria.

Marmi pun tidak putus-putusnya memeluk sang ibu yang sudah renta.

Ia mengaku akan menghabiskan banyak waktunya bersama Mbah Wiji sebelum kembali ke Desa Bumbung, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Riau.

"Dipuas-puasin bersama orang tua, lepas kangen dulu. Rencananya balik, karena rumahnya di sana (Riau)," kata Suyadi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved