Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kabinet Prabowo Gibran

Kursi Kementerian Kabinet Merah Putih Gemuk, Pakar Politik Beber Dampak Positif dan Negatif

Kursi kementerian Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran terlalu gemuk, pakar politik beber dampak positif dan negatifnya.

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Dwi Prastika
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Presiden Prabowo Subianto didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berfoto bersama Menteri Kabinet Merah Putih usai pelantikan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/10/2024). Presiden Prabowo Subianto resmi melantik ke-53 dan kepala badan negara setingkat menteri dalam Kabinet Merah Putih periode 2024-2029. 

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Fikri Firmansyah

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Presiden RI Prabowo Subianto resmi mengumumkan Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta pada Senin (21/10/2024).

Presiden Indonesia ke-8 ini memulai langkah besar dengan memecah sejumlah kementerian dan memperluas struktur kabinetnya.

Keputusan ini menarik perhatian sejumlah pakar politik.

Satu di antaranya Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Ali Sahab

Ali Sahab memberikan pandangannya terkait pemecahan kementerian ini.

Menurutnya, langkah tersebut merupakan bagian dari upaya Prabowo untuk merangkul berbagai kelompok politik dan memastikan stabilitas koalisi.

“Saya kira ini bentuk upaya Prabowo merangkul semua kelompok. Dampak positifnya stabilitas politik relatif stabil, dampak negatifnya gemuknya kursi menteri berdampak pada anggaran dan potensi konflik internal,” jelasnya, Jumat (25/10/2024).

Kabinet Merah Putih terdiri dari 48 menteri dan 56 wakil menteri.

Jumlah ini menjadikannya kabinet tergemuk sejak era Orde Baru hingga Reformasi.

Baca juga: Perbandingan Anggaran Gaji dan Tunjangan Kabinet Prabowo dan Jokowi, Postur Gemoy Disorot

“Saya kira Kabinet Merah Putih cenderung gemuk. Misal, Kemenristekdikti yang dipecah menjadi tiga, kesan yang tampak lebih mencarikan posisi partai koalisi,” terang Ali Sahab.

Jumlah kementerian di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Undang-undang ini membagi kementerian dalam tiga kelompok: kementerian fungsional, kementerian pendukung utama, dan kementerian koordinator.

Namun, setelah undang-undang ini direvisi pada pada September lalu, batasan jumlah kementerian dihapus. Sehingga presiden memiliki fleksibilitas penuh untuk menambah kementerian sesuai kebutuhan politik atau ekonomi.

Hal ini memungkinkan jumlah kementerian menjadi tidak terbatas. 

Ali Sahab juga menyoroti tantangan anggaran yang akan muncul seiring bertambahnya jumlah kementerian.

“Dengan kondisi keuangan APBN yang semakin berat ke depannya, sebaiknya penghematan perlu dilakukan,” ucapya.

Selain itu, ia juga mengingatkan, pemecahan kementerian dapat menyebabkan kewenangan yang tumpang tindih. Sehingga bisa mengurangi efektivitas pemerintahan.

“Saya melihat ada beberapa kementerian yang kewenangannya tumpang tindih. Sehingga kurang efektif dalam kerjanya,” jelasnya lebih lanjut. 

Secara politik, Ali Sahab menilai langkah ini sebagai upaya Prabowo untuk memberikan ruang kepada partai-partai koalisi. Sehingga semua kelompok merasa terwakili dalam pemerintahan.

Namun, ia juga mengingatkan pentingnya kontrol dalam demokrasi. 

“Pemecahan kementerian ini untuk memberikan ruang kelompok koalisi. Prabowo ingin semua pihak bersatu dalam membangun bangsa. Namun, dalam konteks demokrasi, kontrol itu penting untuk meluruskan jika ada kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat,” imbuh dia.

"Keputusan Prabowo untuk memperbanyak kementerian dan menambah posisi wakil menteri merupakan langkah yang berani. Pada akhirnya, efektivitas pemerintahan tidak hanya bergantung pada jumlah menteri. Akan tetapi, juga pada bagaimana mereka bekerja untuk kepentingan rakyat," tutupnya.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved