Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Dorong Gerobak Sendiri, Nenek Ade Penjual Bubur Tetap Senyum Meski Dagangan Tak Habis, Suami Sakit

Dorong gerobak sendirian, nenek Ade penjual bubur tetap menyunggingkan senyumannya meskipun dagangan tak laku, suaminya sudah 7 tahun sakit.

Penulis: Ignatia | Editor: Mujib Anwar
Tribun Bogor
Nenek Ade yang berjuang keras berjualan sendirian sejak suaminya menderita sakit prostat 

TRIBUNJATIM.COM - Perjuangan keras dijalani oleh nenek Ade Mulyati.

Nenek Ade si penjual bubur pacar dan bubur lemu tetap tersenyum meskipun mendorong gerobak sendirian.

Dulunya dibantu suami, kini Nenek Ade harus berjuang sendiri karena suaminya yang sakit.

Setiap hari, Ade Mulyati (64) berjualan bubur pacar dan bubur lemu, makanan manis dan lembut berbahan tepung.

Dia berjualan dengan menggunakan gerobak yang dipangkalkan di Kawasan Cilengkrang, di sekitar Pertigaan Ojolali, Sumedang Utara, Sumedang

Buka pukul 09.00-16.00, Ade tabah menjalani hari-harinya. 

Sebagai lansia, dia masih harus semangat berjualan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. 

Dia punya anak-anak yang peduli kepadanya, tapi dengan senyuman, dia nyatakan bahwa dia tak ingin merepotkan mereka. 

Ade biasanya membuat bubur pacar dan bubur lemu bersama suaminya, Into Irianto (65). 

Bersama Into juga Ade biasanya berjualan di lapaknya itu.

Baca juga: Nenek Lapor Uangnya Rp100 Ribu Hilang, Ayah Malah Lempar Pertalite, Tak Sengaja Bakar Anak Sendiri

Namun, telah genap setahun ini, Into sakit cukup parah.

Terserang prostat. 

"Ya jadi sendiri saja. Bapak sakit. Kalau buat bubur, dibantu sama anak yang tinggal dekat rumah," kata Ade saat ditemui TribunJabar.id, Rabu (22/1/2025) sore. 

Ade dan Into tinggal di Dusun Babakan Lembur Tengah RT03/17 Kelurahan Situ, Kecamatan Sumedang Utara.

Nenek Ade Mulyati
Nenek Ade Mulyati (Tribun Jabar)

Ini jaraknya sekitar 500 meter dari tempatnya berjualan. 

Sudah 7 tahun Ade dan Into berjualan bubur pacar dan bubur lemu.

Namun, setahun ini, Ade menghadapi hari-hari mencari penghasilan sendirian. 

"Kalau habis semua ini, Rp200-300 ribu dapatnya. Tapi namanya jualan, sering juga tidak habis," katanya. 

Baca juga: Rahasia Sederhana Umur Panjang Nenek Qiu hingga Berusia 124 Tahun, Dulu Pernah Miskin dan Kelaparan

Di usianya yang 64 tahun dan termasuk lanjut usia itu, Ade masih tersenyum di tengah-tengah aktivitasnya melayani pembeli.

Dia mengaku masih harus berjualan kareba kebutuhan harus dipenuhi, kebutuhan sehari-hari. 

"Karena peryogi (perlu), hehehe..." katanya.  

Selama bertahun-tahun itu, gerobak untuk berjualan ini didorong pergi-pulang dari rumah ke lokasi jualan.

Dulu ada Into yang mendorongnya, tapi kondisinya yang sakit-sakitan mengharuskan roda disimpan di tempat berdagang. 

Baca juga: Numpang Salat di Rumah Warga, Nenek Arnia Syok Polwan Tiba-tiba Ngamuk Singgung Warisan: Ikut Campur

"Derobak dulu (didorong) sama bapak, baru 15 hari ini disimpan di sekitar ini," katanya. 

Ade punya tiga orang anak dan empat cucu.

Anak-anaknya tersebar tinggal di sejumlah daerah, termasuk Jakarta.

Namun, ada pula yang tinggal di dekat rumahnya. 

Jika bukan anaknya yang membantu aktivitasnya mengolah bubur untuk dijual, ada juga cucu atau tetangganya.

Semua aktivitas itu dilakukan Ade Mulyati dengan gembira, dengan senyuman. 

"Jualan ini 1 porsi Rp 8 ribu," katanya.

Bubur lemu dibuat sore hari sepulang Ade berjualan.

Sementara sekoteng, santan, dan kinca gula mera dibuatnya subuh sebelum pada pagi harinya berangkat jualan. 

"Sebelum jualan bubur ini, sama bapak berjualan pakaian," katanya. 

Into, suami Ade sakit-sakitan.

Kadang sembuh dan bisa membantu Ade menyiapkan bahan untuk berjualan.

Namun, kadang sakitnya kambuh dan mengharuskannya berobat ke klinik. 

"Dulu belum tahu pakai BPJS. Sekarang sudah didaftarkan oleh kelurahan. Dulu harus bayar mahal, sekali berobat Rp800 ribu," katanya.

Baca juga: Dulu Terkenal di TV Kini Jualan Bubur Ayam, Sahabat Nia Ramadhani Alih Profesi, Outlet Tersebar

Kisah pilu lain soal getirnya kehidupan juga dialami oleh keluarga ini.

Cerita menyedihkan ini datang dari Wahyu Ramadhan dan keluarganya.

Anak berusia 10 tahun itu mengidap penyakit pengecilan otak.

Ayah Wahyu pergi meninggalkannya sejak dalam kandungan.

Wahyu pun kini hanya dirawat oleh nenek dan ibunya.

Melansir dari Kompas.com, keluarga ini tinggal di rumah sederhana berukuran 3x5 meter di kawasan Marunda, Jakarta Utara.

Sejak bayi, ia telah menderita penyakit pengecilan otak, yang membuat pertumbuhan dan perkembangan fisiknya terganggu.

Kini, ia hanya mampu berbaring di atas balai kayu sederhana, dengan tubuh yang sangat kurus karena tidak bisa mengonsumsi makanan layak seperti anak-anak seusianya.

“Seharinya makan cerelac, kadang buah papaya, ya, dikerok aja kayak bayi gitu,” ujar nenek Wahyu, Ranina (60), saat diwawancarai di kediamannya pada Rabu (19/12/2024).

Dibesarkan oleh ibunya dan neneknya, Wahyu mengalami kehidupan yang penuh keterbatasan. 

Ayahnya pergi meninggalkan mereka ketika Wahyu masih dalam kandungan, sehingga keluarga kecil ini harus berjuang sendiri.

Baca juga: Sebulan Dirawat di RS, Bayi Tak Dijemput Keluarga Ternyata Ibu Kabur, Tak Mampu Bayar Biaya Berobat

Ranina mengaku kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup Wahyu.

“Ya, sulit karena dari biayanya dia kan juga sudah enggak punya bapak, jadi usaha dari emaknya sendiri sedapatnya saja,” jelas Ranina.

Meskipun menghadapi tantangan ini, Ranina tidak merasa kesulitan dalam merawat Wahyu.

Ia mengikhlaskan sisa umurnya untuk menjaga cucunya tercinta.

Ibu Wahyu bekerja sebagai penjaga warung es, dan sehari-harinya mendapatkan gaji sebesar Rp 30.000.

"Dia dapat upah kerja sama orang Rp 30.000 sehari. Itu juga tidak tiap hari, bayarnya bulanan," ungkap Ranina.

Baca juga: Pemulung Mbah Ahmad Rajin Sedekah Meski Berjuang karena Istri Sakit Kanker, Nyambi Jualan Agar-agar

Pendapatan yang terbatas ini harus dibagi untuk makan bertiga dan memenuhi kebutuhan Wahyu, yang memerlukan pampers dan cerelac.

Harga satu bal pampers Wahyu mencapai Rp 55.000.

Namun, karena keterbatasan uang, Ranina membeli pampers tersebut secara eceran.

Ia juga mengakui bahwa pendapatan Rp 30.000 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan khusus Wahyu.

Meskipun demikian, Ranina berusaha sebaik mungkin agar pendapatan tersebut dapat cukup untuk kehidupan sehari-hari.

“Cukup enggak cukup, dicukup-cukupin lah mau gimana lagi,” ujarnya.

Di tengah hidup yang sulit, keluarga Wahyu pernah menerima bantuan dari pemerintah.

“Iya, sudah (pernah dapat bantuan), tapi dulu enggak tahu tahun berapa. Banyak ngasihnya, ada telur, beras, kasur lantai,” terang Ranina.

Selain itu, Wahyu juga mendapatkan kartu disabilitas yang bisa dicairkan senilai Rp 200.000.

Pihak kelurahan dan puskesmas setempat selalu memberikan perhatian dan dukungan untuk Wahyu.

Setiap bulannya, dokter dari Puskesmas Marunda datang untuk memeriksa kondisi Wahyu dan biasanya membawa susu.

Namun, sampai saat ini, Wahyu tidak menjalani pengobatan apa pun karena penyakitnya merupakan bawaan sejak lahir.

Dalam kesederhanaan dan keterbatasan, Wahyu dan keluarganya menunjukkan ketahanan yang luar biasa.

Mereka tetap berjuang meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.

Berita viral lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved