Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

2 Pakar Hukum Kampus Jember Soroti Revisi KUHAP, Tuntut Partisipasi Publik-Kesetaraan Lembaga Hukum

Pakar Hukum Universitas Jember dan Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember turut menyorot draf revisi Kitab Undang Undang

Penulis: Imam Nawawi | Editor: Ndaru Wijayanto
TRIBUNJATIM.COM/IMAM NAWAWI
EVISI KUHAP: Prof Dr. M.Noor Harisudin S.Ag, S.H Pakar Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember dan Prof. Dr M. Arief Amrullah, Pakar Hukum Pidana Universitas Jember saat isi seminar nasional di Aula Perpustakaan UIN KHAS Jember, Jawa Timur bertajuk kesetaraan peran dan kewenangan di KUHAP, Kamis (20/2/2025). 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Imam Nawawi

TRIBUNJATIM.COM, JEMBER- Pakar Hukum Universitas Jember dan Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember turut menyorot draf revisi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Hal tersebut dilakukan melalui seminar nasional di Aula Perpustakaan UIN KHAS Jember, Jawa Timur bertajuk kesetaraan peran dan kewenangan di KUHAP, Kamis (20/2/2025). 

Pakar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof Dr M Arief Amrullah, S. H, M. Hum menilai, revisi KUHAP Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) harus melibatkan partisipasi publik. 

Dia khawatir, jika pembahasan draf Rancangan Undang Undang (RUU) KUHAP ini tertutup, ada potensi adanya ketidaksetaraan antar lembaga Aparat Penegak Hukum (APH) saat menangani perkara. 

"Makanya ini ada potensi, jika draf RUU KUHAP terbaru tidak dibuka dan didialogkan kepada orang secara umum. Jadi harus dibuka agar semua orang bisa akses dan mengkritisi RUU itu,"ujarnya.

Menurutnya, dalam draf RUU KUHAP terbaru, Pemerintah Indonesia mencoba mengadopsi teori Plibargen atau tradisi sistem peradilan Amerika Serikat. 

"Ketika mau mengadopsi sistem peradilan di negara lain harus dipertimbangkan dengan kondisi di Indonesia," ucap Prof Arief. 

Prof Arief menjelaskan  sistem peradilan hukum di Amerika tersebut sudah mulai dikritisi oleh akademisi sempat, seharusnya hal itu tidak perlu diterapkan di negara ini. 

"Makanya saya bilang perlunya dialog, jangan langsung dibuat begitu saja, disetujui sementara yang lain tidak tahu," papar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember ini. 

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember, Prof Dr M Noor Harisudin S.Ag, S.H menambahkan, kesetaraan antara lembaga penegak hukum perlu diatur di KUHAP baru, agar tidak ada celah penyalahgunaan kekuasaan. 
 
"Masih banyak hakim yang nakal, jaksa nakal, pengacara nakal dan polisi bermasalah. Supaya ini tidak terjadi, harus ada kesetaraan antar lembaga ini," tambahnya. 

Prof Haris menjelaskan kalau ada satu instansi Aparat Penegak Hukum (APH) diberi kewenangan lebih. Mereka akan mudah menyalahgunakan kekuasaan ketika menangani perkara. 

"Misalkan jaksa dikasih kewenangan dominan, pasti lebih lagi dia melakukan penyimpangan, sekarang saja sudah seperti ini (banyak jaksa bermasalah) apalagi diberi kewenangan lebih," papar Prof Haris. 

Selain itu, sistem peradilan di Indonesia tidak bisa mengadopsi gaya Belanda. Prof Haris menyebut di negeri kincir angin posisi jaksa lebih tinggi dari pada polisi. 

"Tetapi di negera kita kan setara posisinya dan sangat cocok dengan kultur negera Indonesia. Karena wilayah kita luas dengan 280 juta penduduk. Sementara Belanda cuma 17 juta penduduk," tuturnya. 

Kalau sistem hirarki dalam instansi aparat penegak hukum diterapkan dalam KUHAP ini. Ia yakin bakal terjadi keos ketika regulasi tersebut diterapkan. 

"Pasti ada kesulitan yang dihadapi, ketika itu mau diimplementasikan di Indonesia," urai Guru Besar Fakultas Syariah UIN KHAS Jember. 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved