Kisahkan Banyuwangi Lewat Puisi, Tengsoe Tjahjono Hadirkan Buku Jenggirat!
Sastrawan dari Banyuwangi yang tinggal di Kota Malang, Tengsoe Tjahjono menerbitkan karya terbarunya berupa buku berjudul Jenggirat!.
Penulis: Benni Indo | Editor: Ndaru Wijayanto
Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Benni Indo
TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Sastrawan dari Banyuwangi yang tinggal di Kota Malang, Tengsoe Tjahjono menerbitkan karya terbarunya berjudul Jenggirat!. Karya terbarunya ini berisi kumpulan puisi.
Jenggirat! banyak bercerita tentang kampung halamannya yang berada di ujung Pulau Jawa. Tengsoe yang lahir pada 1958 di Jember memiliki banyak kenangan tentang sejarah hidupnya di Banyuwangi.
"Meskipun saya ini lahir di Jember, tapi kampung halaman orangtua saya di Banyuwangi. Saya banyak menghabiskan waktu di sana. Di Desa Ringin Pitu," ujar Tengsoe dalam acara bincang buku puisi Jenggirat! di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Rabu (26/2/2025).
Tengsoe menghabiskan masa pendidikannya sejak sekolah dasar hingga SPG di Banyuwangi. SPG adalah sekolah pendidikan guru yang setara dengan SMA. Pengalaman hidupnya di Banyuwangi itulah yang ia tuliskan kembali dalam puisi-puisinya.
"Sejak SD hingga SPG, saya belajar di Banyuwangi sehingga itu menjadi bagian yang tak bisa saya lepaskan dari pergulatan masa saya tumbuh menjadi manusia setengah dewasa. Pada 1978 pindah ke Kota Malang dan tidak kembali sampai sekarang. Jadi itu kisahnya, tetapi ingatan tentang Banyuwangi ini tidak dapat dilebur begitu saja. Ada kerinduan, kangen, ketika menonton tari jejer gandrung, rasanya terharu juga. Mengingat kembali situasi Banyuwangi yang pernah saya tinggali," ujar Tengsoe.
Bagi Tengsoe, Banyuwangi adalah daerah luar biasa. Baik dari sisi alam, budaya, tradisi, kesenian, serta kuliner. Ada banyak kekhasan di Banyuwangi yang menurutnya luar biasa. Kondisi itu mendorong dirinya menulis puisi.
"Banyak objek seperti itu yang mendorong saya membuat puisi. Puisi itu tidak akan pernah lahir kalau saya tidak pernah tinggal di sana. Teks sastra itu mau tidak mau berangkat dari pengalaman penyair dari kehidupan sehari-hari," ujarnya.
Keinginannya menulis tentang Banyuwangi ini sudah lama dipendam. Tengsoe menerangkan, ada tulisan lama dari tahun 2008 yang juga menjadi bagian di dalam ratusan puisi yang ia tulis di Jenggirat!. Judul Jenggirat! ia dapatkan melalui pemikiran yang cukup dalam.
Tengsoe berpikir untuk menghadirkan Banyuwangi tanpa menulis kata Banyuwangi di bukunya. Munculah nama jenggirat yang memang ungkapan khas dari Banyuwangi. Jenggirat berarti bangkit atau bangun dari keterpurukan.
"Ketika saya memberikan judul antologi ini, apa ya yang bisa merepresentasikan Banyuwangi tanpa memberikan kata Banyuwangi di dalam judul. Maka munculah nama jenggirat itu. Jenggirat ini artinya bangkit atau bangun. Kenapa jenggirat, tentu saja bagi saya teks budaya Banyuwangi banyak yang baik, tapi juga ada yang direvisi agar coock dengan perkembangan zaman dan menjawab tantangan zaman. Tapi tentu saja nilai-nilai tradisi tidak bisa menghapus begitu saja," katanya.
Tradisi dan kebudayaan Banyuwangi sudah melekat pada diri Tengsoe. Wajar saja karena sejak kecil, ia telah belajar budaya Banyuwangi. Dikisahkan oleh Tengsoe, sekurang-kurangnya ia bisa menari sejak sekolah dasar. Pasalnya, menari telah menjadi bahan ajar wajib pada saat itu. Pun menyanyikan sebuah lagu juga ia lakukan.
"Saya pernah menjadi pelajar di Banyuwangi. Itu sekurang-kurangnya harus bisa menari satu tarian. Waktu itu tarian padang bulan. Senam pagi diganti tarian padang bulan, sehingga setiap pagi saya menari. Sekurang-kurangnya bisa menyanyi satu lagu juga. Ketika saya SPG, minta tandatangan guru nyanyi dulu. Saya pikir peran pemerintah daerah itu sangat besar untuk ikut mengembangkan budayanya masing-masing," paparnya.
Pada puisi-puisi yang ia tulis, terdapat banyak catatan kaki. Di situ ada keterangan yang menjelaskan tempat atau istilah asing bagi pembaca. Semuanya masih berkaitan dengan Banyuwangi. Tengsoe seolah tak ingin pembacanya bingun mengenal nama atau istilah baru yang berkaitan dengan Banyuwangi.
Joko Saryono, guru besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang memiliki catatan terhadap karya Tengsoe. Joko memiliki ikatan pengalaman hidup yang sangat dekat dengan Tengsoe. Ia mengaku megenal karakter tulisan Tengsoe yang pernah ia baca ketika menjadi promotor untuk gelar doktornya Tengsoe.
AFPI Cetak Rekor MURI Daring 25 Jam, Easycash Beri Apresiasi, Dukung Ekosistem Inklusif |
![]() |
---|
Pemilik Warung Angkringan yang Ditusuk Orang Tak Dikenal Meninggal, Berikut Kronologinya |
![]() |
---|
Waspada Gangguan Jantung ‘Aritmia’, Fakta Dibalik Maraknya Fenomena Meninggal Mendadak |
![]() |
---|
BREAKING NEWS : Subuh Mencekam, Pemilik Warung Angkringan di Ngawi Ditikam Orang Tak Dikenal |
![]() |
---|
Paguyuban Tani Puncu Gelar Demo di Kantor BPN Kediri, Tolak Pemerintah Patok Lahan Fasilitas Sosial |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.