Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisahkan Banyuwangi Lewat Puisi, Tengsoe Tjahjono Hadirkan Buku Jenggirat!

Sastrawan dari Banyuwangi yang tinggal di Kota Malang, Tengsoe Tjahjono menerbitkan karya terbarunya berupa buku berjudul Jenggirat!.

Penulis: Benni Indo | Editor: Ndaru Wijayanto
TRIBUNJATIM.COM/BENNY INDO
BINCANG BUKU - Sastrawan Tengsoe Tjahjono menghadiri kegiatan dialog tentang karya terbarunya berjudul Jenggirat di Gedung B FIB, Universitas Brawijaya, Rabu (26/2/2025). Tengsoe Tjahjono menerbitkan karya terbarunya berjudul Jenggirat!. Karya terbarunya ini berisi kumpulan puisi. Jenggirat! banyak bercerita tentang kampung halamannya yang berada di ujung Pulau Jawa. Tengsoe yang lahir pada 1958 di Jember memiliki banyak kenangan tentang sejarah hidupnya di Banyuwangi. 

Menurtnya, Tengsoe memiliki hasrat literer sangat tinggi ketika menulis karya ilmiah. Catatan kaki yang dibuat oleh Tengsoe dalam sejumlah puisinya menunjukan bahwa penulis tidak ingin pembacanya kebingungan.

"Saya kira catatan kaki yang begitu banyak adalah infiltrasi atau resapan dari hasrat agar puisinya bisa dipahami. Padahal, kalau menulis puisi itu, paham tidak paham ya silahkan. Tapi kalau menulis karya ilmiah, pembacanya harus paham dan dipahamkan. Kalau puisi tidak paham tidak apa-apa, tapi Tengsoe berhasrat agar pembacanya paham. Makannya puisi ini terayun-ayun juga di antara hasrat agar tetap metaforis dengan membiarkan segala diksi dan terminologi," katanya.

Di sisi lain, Joko menilai bahwa catatan kaki itu sebenarnya membatasi metafora yang dibangun di dalam puisi. Tengsoe secara tidak langsung telah 'membunuh' pesan metaforis pada puisinya.

"Bagi saya membatasi metafora yang dibangun di dalam puisi. Bahkan boleh saya katakan, sesuatu yang sudah metaforis, tiba-tiba dalam tanda petik, dibunuh sendiri oleh Tengsoe dalam bentuk catatan itu. Menurut saya itu hasrat memberitahu pembacanya agar tidak tersesat, padahal menurut saya tersesat membaca puisi itu bagus," ujarnya.

"Membaca puisi itu bukan intended impact, tapi unintended impact. Kalau kita bisa menemukan suatu yang baru, terpendam di antara yang tertulis itu lebih bagus. Sepertinya Tengsore menggiring pembaca agar tidak tersesat di tempat, suasana, atau alam tertentu. Bisa juga ditafsirkan bahwa Tengsoe terlalu baik kepada pembacanya. Ini mungkin kebaikan hati, sekaligus membatasi puisinya. Tengsoe ini menciptakan puisi metafor, tapi juga membunuh metafor itu melalui catatan kaki," imbuhnya.

Yusri Fajar, sastrawan yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya menilai, Tengsoe tidak bisa lepas dari Banyuwangi. Meskipun saat ini secara fisik ia berada di Kota Malang, menjalani kehidupannya di Kota Malang, namun ingatan dan sejarah Banyuwangi tidak dapat dilepaskan begitu saja.

Yusri, yang juga kelahiran Banyuwangi, merasa ikut terpanggil ketika membaca puisi-puisi di buku Jenggirat!. Ia menyadari kalau Tengsoe seperti berada di ruang antara, di satu sisi ada kepergiaan dari Banyuwangi, di sisi lain masih terngiang segala hal tentang Banyuwangi.

"Seseorang yang tidak bisa lepas dari Banyuwangi, berada di ruang antara. Di mana satu sisi kepergian, langkah pergi dari Banyuwangi itu sebuah keharusan untuk melanjutkan kehidupan, tapi di sisi lain hatinya tetap di Banyuwangi. Tetapi kalau kita lihat bagaimana Tengsoe mengeksplorasi Banyuwangi, ada hal yang menarik," katanya. 

Banyuwangi adalah satu wilayah yang memiliki ragam budaya yang sangat kompleks. Cerita rakyat, folklor, dan kesenian Banyuwangi memiliki banyak ciri khas yang tidak ditemukan daerah lain. 

"Itulah saya kira, menjadi inspirasi Tengsoe menulis Banyuwangi. Kalau kita mencoba mengamati berbagai puisi di dalam Jenggirat!, hampir semua khasanah kebudayaan Banyuwangi terepresentasikan. Ada kawah Ijen, Pulau Merah, Sukamade, Bangsring, dan khasanah alam yang indah, teman-teman bisa eksplorasi," paparnya.

Salah satu penggelan puisi di dalam Jenggirat!:

Padang Savana Bekol

"Datanglah pagi-pagi" pesanmu.
Aku pun datang bersama matahari,
seakan cahaya bisa menembus rimbun hutan tropis,
mengiris sunyi yang tak pernah padam.
Jalan kecil ini, membelah remang,
membawa aroma rindu yang terjerat waktu.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved