Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Ramadan 2025

Bayar Zakat Fitrah Menggunakan PayLater, Bolehkah? Simak Penjelasan Hukumnya dalam Islam

Kemudahan transaksi finansial kini semakin berkembang, termasuk metode pembayaran paylater. Bolehkah bayar zakat fitrah pakai PayLater?

Freepik
PEMBAYARAN ZAKAT - Ilustrasi membayar zakat fitrah. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Nomor 04 Tahun 2022, sistem paylater yang menggunakan akad qardh (utang piutang) dengan adanya unsur bunga dikategorikan sebagai riba dan hukumnya haram. 

TRIBUNJATIM.COM - Kemudahan transaksi finansial kini semakin berkembang, termasuk metode pembayaran  paylater.

Bagaimana jika paylater digunakan untuk membayar zakat fitrah, bolehkah?

Paylater merupakan sistem pembayaran yang memungkinkan pengguna membeli barang atau jasa dengan pembayaran yang ditangguhkan ke waktu tertentu.

Metode ini umumnya melibatkan cicilan dengan biaya tambahan, baik berupa bunga atau biaya administrasi.

Dalam Islam, hukum penggunaan paylater bergantung pada akad yang digunakan.

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Nomor 04 Tahun 2022, sistem paylater yang menggunakan akad qardh (utang piutang) dengan adanya unsur bunga dikategorikan sebagai riba dan hukumnya haram.

Baca juga: Besaran Zakat Fitrah 2025 di Jawa Timur, Dilengkapi Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri & Keluarga

Namun, menurut Arin Setyowati Dosen Perbankan Syariah UM Surabaya, jika hanya terdapat biaya administrasi yang wajar, maka diperbolehkan.

“Jika dalam fitur paylater membebankan biaya tambahan maka bukan termasuk riba. Asalkan biaya tambahan tersebut dihitung sebagai jasa atau ijarah,” kata Arin dikutip dari situs UM Surabaya, via Grid.ID.

Sementara itu, sistem paylater dengan akad jual beli langsung kepada penyedia paylater, yang pembayarannya dilakukan secara kredit, diperbolehkan dalam hukum Islam.

Meskipun begitu, harganya biasanya lebih mahal dibandingkan jika dibayar tunai.

Transaksi dengan pengguna paylater juga diperbolehkan, asalkan tidak ada bukti yang jelas bahwa akad antara pengguna dan penyedia paylater tersebut melanggar hukum agama.

Dalam Islam, zakat fitrah harus berasal dari harta yang bersih dan telah dimiliki secara sah.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (QS. At-Taubah: 103)

Mengutip situs Baznas Yogyakarta, Jumat (21/3/2025), ayat ini menjelaskan bahwa zakat harus berasal dari harta yang dimiliki, bukan dari utang.

Jika seseorang membayar zakat dengan berutang, harta tersebut belum sepenuhnya menjadi miliknya, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai harta untuk zakat.

ZAKAT FITRAH - Ilustrasi zakat fitrah yang dikeluarkan pada Waktu Ramadan. Tata cara pembayaran zakat fitrah berbeda dengan zakat mal. BAZNAS memberikan penjelasannya, Selasa (18/3/2025).
ZAKAT FITRAH - Ilustrasi zakat fitrah yang dikeluarkan pada Waktu Ramadan. Tata cara pembayaran zakat fitrah berbeda dengan zakat mal. BAZNAS memberikan penjelasannya, Selasa (18/3/2025). (Dok. KOMPAS.com)

Bolehkah Membayar Zakat Fitrah dengan PayLater?

Jika paylater dianggap sebagai utang, penggunaannya untuk membayar zakat fitrah menimbulkan beberapa masalah.

Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, zakat fitrah seharusnya berasal dari harta yang sah dimiliki, bukan dari pinjaman.

Jika zakat dibayarkan menggunakan fasilitas paylater, berarti orang tersebut belum memiliki harta yang digunakan untuk zakat secara sah.

Selain itu, jika layanan paylater mengandung unsur riba, penggunaannya untuk zakat fitrah menjadi tidak diperbolehkan, karena zakat harus berasal dari sumber yang halal.

Sebagai solusi, sebaiknya menyiapkan dana zakat dari penghasilan yang halal dan telah dimiliki sepenuhnya. 

Sementara itu, bagi yang memiliki utang, kewajiban zakat tetap berlaku jika setelah dikurangi utang, hartanya masih mencapai nisab.

Jika seseorang memiliki harta yang cukup untuk mencapai nisab setelah dikurangi utang yang dimilikinya, maka ia tetap berkewajiban menunaikan zakat.

Hal ini sesuai dengan kaidah bahwa zakat dikeluarkan dari harta yang bersih dan sah secara kepemilikan.

Baca juga: Hukum Membayar Zakat Fitrah Secara Online, Bisa Via Baznas atau Dompet Dhuafa, Simak Bacaan Niatnya

Dalam perhitungannya, seseorang perlu mengevaluasi total kekayaan bersihnya, yaitu seluruh aset dikurangi dengan utang yang harus dibayar.

Misalnya, seseorang memiliki harta senilai Rp10.000.000 dan utang Rp3.000.000, maka kekayaan bersihnya adalah Rp7.000.000.

Nah, jika setelah dikurangi utang, jumlahnya masih mencapai atau melebihi nisab yang telah ditetapkan, maka ia wajib mengeluarkan zakat.

Namun, jika setelah dikurangi utang harta yang dimiliki tidak mencapai nisab, maka kewajiban zakat gugur. 

Jika setelah dikurangi utang harta yang dimiliki tidak mencapai nisab, maka kewajiban zakat gugur.

Dalam Alquran, disebutkan bahwa orang yang terlilit utang dan sudah jatuh tempo, atau yang disebut gharimin, tidak diwajibkan membayar zakat.

Sebaliknya, mereka sebenarnya berhak menerima zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal, karena termasuk golongan yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.

Orang-orang dalam kategori ini sering kali juga tergolong fakir miskin, ditambah dengan beban utang yang berat.

Dikutip dari situs Dompet Dhuafa, ulama membagi gharimin menjadi dua kategori.

Pertama, mereka yang berutang untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tidak mampu melunasinya, bahkan setelah menjual barang atau mencicil.

Baca juga: Waktu Terbaik Membayar Zakat Fitrah Menurut Ustaz Abdul Somad, Simak Penjelasannya

Kategori ini dianggap setara dengan fakir miskin dan berhak menerima zakat, karena hartanya tidak tersisa. 

Kedua, mereka yang berutang untuk tujuan kemaslahatan, seperti mendukung yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah non-profit, atau rekonsiliasi pasca konflik.

Menurut Imam Nawawi, kelompok ini juga berhak menerima zakat.

Namun, dalam kasus tertentu, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Sebagian berpendapat bahwa jika utang yang dimiliki berasal dari kegiatan maksiat, maka individu tersebut tidak berhak menerima zakat, karena kemaksiatan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Oleh karena itu, penting untuk memahami kondisi dan alasan di balik utang sebelum menentukan status penerima zakat.

Juga, dengan memahami prinsipnya, kita dapat menjalankan ibadah zakat dengan benar sesuai dengan ajaran Islam dan memastikan bahwa harta yang kita keluarkan benar-benar membawa keberkahan bagi diri sendiri maupun mereka yang membutuhkan.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Sumber: Grid.ID
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved