Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Telisik Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Soal Tombak Kanjeng Kiai Upas, Tak Boleh Sembarang Dipindah

Pusaka milik Kabupaten Tulungagung, tombak Kanjeng Kiai Upas menjadi pembahasan serius selama

Penulis: David Yohanes | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/DAVID YOHANES
SEJARAH KIAI UPAS - Agus Utomo alias Mas Bekel Sepuh, abdi dalem Keraton Yogyakarta yang tinggal di Tulungagung menjelaskan sejarah tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas, pusaka milik Pemkab Tulungagung, Jawa Timur, Minggu (13/7/2025). Menurut Agus, tombak pusaka itu dari era Kerajaan Majapahit, dan diberikan Hamengkubuwono II ke menantunya, Pringgokusumo saat menjadi bupati ke-4 di Tulungagung. 

Menurut tradisi keraton, tombak ini diberikan ke Pringgokusumo secara pribadi.

Karena itu yang berhak mewarisi senjata pusaka ini sebenarnya Trah Dalem atau keturunan keluarga.

Di bawah trah dalem ini ada abdi dalem, atau para abdi yang memelihara tombak pusaka ini yang disebut Wimbosoro.

Keberadaan Wimbosoro ini masih bertahan sampai saat ini.

Di bawah wimbosoro ada kawulo atau rakyat, di dalamnya para pejabat pemerintahan saat ini.

Berdasar tradisi keraton, setiap kali jamasan pusaka seharusnya trah dalem yang diajak bicara, atau diundang.

“Mereka seharusnya dipinarakne dan disekecakne (diundang dan dimuliakan), karena mereka pewaris Kanjeng Kiai Upas. Dalam konteks ini, para pejabat pemerintahan termasuk dalam kawulo,” tegas Agus.

Dengan sejarah yang kuat ini, maka tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas tidak boleh sembarangan dipindah.

Hal ini disampaikan Agus, karena ada wacana yang akan memindah tombak ini ke Pendopo Kabupaten.

Bahkan ada yang ingin memindah tombak pusaka ini ke Desa Majan.

Sesuai tradisi keraton, pemindahan hanya bisa dilakukan setelah minta izin ke Trah Dalem.

Selain itu alasan pemindahan juga harus kuat karena berpotensi melemahkan unsur kesejarahan tombak pusaka ini.

“Nilai historisnya justru akan luntur jika tombak itu dipindah dari ruang penyimpanan pusaka Pendopo Kanjengan. Juga potensi berkonflik dengan abdi dalem Wimbosoro,” tutur Agus.

Menurut catatan sejarah, Pringgokusumo kemudian diangkat menjadi Patih Yogyakarta dengan nama Pringgodiningrat.

Beliau meninggal tahun 1816 setelah peristiwa Geger Sepehi, dan dimakamkan di Kota Gede.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved