Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Tariske dan Barongan Jepaplok: Napas Budaya dari Lereng Wonosalam Jombang

Tariske Valentine merupakan perajin Barongan Jepaplok asal Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam, Jombang. Ia giat melestarikan warisan budaya.

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Dwi Prastika
Tribun Jatim Network/Anggit Puji Widodo
UMKM JOMBANG - Tariske Valentine (23) perajin Barongan Jepaplok asal Dusun Sanggar, Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, saat membuat barongan di rumahnya, Kamis (24/7/2025). Pesanan ramai menjelang bulan Agustus.  

Poin Penting:

  • Perajin Barongan Jepaplok asal Jombang tidak hanya membuat topeng, tapi juga menjaga cerita dan filosofi yang hidup di baliknya.
  • Barong ibarat raja berwatak jahat. Ia memakai jamang atau mahkota bergambar naga liman gabungan paksi, naga, dan gajah.
  • Pembuatan satu unit barongan bisa memakan waktu satu bulan, tergantung tingkat kerumitan.

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Anggit Puji Widodo

TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Di sebuah sudut tenang di lereng Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, terdengar ketukan saling bersahutan dari gesekan amplas. 

Di tengah tumpukan serpihan kayu waru krisik, di sana duduk seorang pemuda dengan tatapan penuh fokus dan konsentrasi penuh. 

Dilihat dari berbagai sisi manapun, tangan pemuda tersebut begitu lincah menorehkan detail ukuran di sebongkah kayu yang perlahan membentuk wajah khas barongan.

Mata besar menyala, mulut menyeringai serta mahkota bergambar naga liman. 

Tariske Valentine, pemuda 23 tahun, warga Dusun Sanggar, Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam, Jombang, adalah orangnya.

Usianya masih muda, namun ia sudah menjelma menjadi salah satu perajin Barongan Jepaplok yang gigih menjawab warisan budaya Jawa.

“Saya tidak hanya membuat topeng, tapi juga menjaga cerita dan filosofi yang hidup di baliknya,” ucapnya, Kamis (24/7/2025).

Baca juga: Perajin Aksesori Merah Putih di Mojokerto Kebanjiran Pesanan Jelang Agustusan

Kecintaan Tariske terhadap barongan muncul sejak duduk di bangku SMP.

Ia sering menonton pertunjukan kesenian rakyat. 

Dari sering menonton, ia pun terpikat pada karakter topeng yang dimainkan para penari.

Saat teman sebayanya sibuk dengan gawai, Tariske justru memilih belajar mengukir.

“Saya belajar autodidak. Awalnya dari coba-coba. Lama-lama, saya makin paham bentuk, makna, sampai teknik pewarnaannya,” katanya melanjutkan.

Kini, hampir satu dekade ia menekuni kerajinan Barongan Jepaplok.

Bukan sekadar produk seni, setiap karyanya sarat filosofi. Baginya, barong bukan tokoh sembarangan.

“Barong itu ibarat raja berwatak jahat. Ia memakai jamang atau mahkota bergambar naga liman gabungan paksi, naga, dan gajah. Semua itu lambang kekuatan besar, tapi belum tentu digunakan dengan bijak,” ungkapnya.

Pada prosesnya, pembuatan satu unit barongan bisa memakan waktu satu bulan, tergantung tingkat kerumitan.

Bagian tersulit, menurut Tariske, adalah membuat kepala barong.

“Presisi jadi kunci. Kanan kiri harus simetris. Kalau tidak seimbang, karakternya bisa berubah,” bebernya.

Bahan yang ia pakai pun tak sembarangan.

Kayu waru krisik dipilih karena ringan dan mudah dibentuk.

Setelah ukiran selesai, proses pengecatan dilakukan dengan kombinasi warna-warna mencolok agar tampil mencuri perhatian saat dipentaskan.

Harga satu barongan buatannya berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 7,5 juta. Itu belum termasuk kostum, yang biasa dipesan terpisah. 

Meski harga tak bisa dibilang murah, peminatnya justru datang dari berbagai daerah, mulai dari Jombang, Kediri, Mojokerto, hingga Kalimantan dan Sumatera.

Puncak pesanan biasanya terjadi menjelang bulan Agustus, bertepatan dengan musim pertunjukan seni rakyat dalam rangka HUT RI.

Dalam momen itu, Tariske tak hanya menjadi perajin, tapi juga penggerak budaya.

“Ramainya di bulan Juni sampai Agustus. Banyak yang butuh untuk pentas. Saya senang, artinya barongan masih dicari dan dihargai,” tuturnya.

Di tengah era digital dan budaya instan, pilihan Tariske untuk bertahan dengan kerajinan tradisional bukan hal mudah.

Tapi bagi pemuda ini, warisan budaya bukan untuk dikenang semata melainkan dijaga agar tetap hidup dan berkembang.

“Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Budaya Jawa itu kaya. Sayang kalau cuma jadi pajangan museum,” pungkasnya. 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved