TRIBUNJATIM.COM - Selain ada peninggalan Belanda dan Jepang, di Jember juga ada beberapa peninggalan Kerajaan Majapahit.
Sudah banyak diketahui, Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang berdiri di Nusantara, tepatnya pada 1293 hingga 1478 Masehi.
Patut disetujui juga bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat berkembang secara luas.
Bahkan, dalam catatan sejarah, luas daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Jawa, Papua, hingga masuk daerah Singapura dan beberapa kepulauan di Filipina.
Dari luasnya daerah kekuasaannya itu, tentu Kerajaan Majapahit banyak sekali mewariskan beberapa peninggalan di seluruh pelosok Indonesia.
Misalnya, bangunan candi hingga kitab-kitab terkenal seperti Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular dan Kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca.
Peninggalan Majapahit tentu banyak ditemukan nggak hanya di pusat pemerintahannya di Mojokerto, melainkan juga ditemukan di antaranya seperti di Blitar, Probolinggo, hingga Jember.
Di Jember, selain beberapa peninggalan yang diwariskan pihak kolonial (Belanda dan Jepang), nyatanya juga terdapat beberapa peninggalan dari Kerajaan Majapahit.
Pasalnya, Kerajaan Majapahit juga memiliki pengaruh yang signifikan bagi Kabupaten Jember.
Bahkan, nama Jember dipercaya merupakan adopsi dari penyebutan Raja Hayam Wuruk saat pergi ke daerah Besini (sekarang Kecamatan Puger, Jember) saat keretanya terjebak lumpur (lihat di Negarakertagama).
Akibatnya, Raja Hayam Wuruk menamai daerah terebut sebagai kawasan “Jembrek” alias berlumpur.
Dari situlah, kemungkinan nama Jember berasal.
Memang patut diketahui bahwa Jember dari dulu hingga saat ini merupakan daerah yang berair atau berlumpur.
Hal itu bisa dibuktikan dengan beberapa nama desa atau tempat yang menggunakan kata “curah” dan “rawa” yang berarti air.
Seperti Curah Kates, Curah Lele, Curah Nangka, Curah Mluwo, Rowotengu, Rowotamtu, dan Rowotengah.