Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisah Para Pemuda Suku Osing di Banyuwangi Jadi Penggerak Desa Wisata Kelas Dunia

AROMA kopi menyeruak ketika melangkah di jalan utama Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (8/11/2025) petang.

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/AFLAHUL ABIDIN
KOPI - Ratusan warga berbaur dalam Festival Ngopi Sepuluh Ewu di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (8/11/2025). Ini adalah salah satu festival di Banyuwangi yang mengangkat adat istiadat masyarakat suku Osing. 

Mereka juga punya kebiasaan unik lain. Dalam setiap pernikahan, orang tua akan menghadiahi pengantin dengan beberapa perabot rumah. Satu yang tak pernah ketinggalan adalah selusin cangkir keramik kecil. Bisa cangkir baru atau cangkir lawas yang diwariskan secara turun temurun.

Cangkir-cangkir ini juga yang dikeluarkan dari tiap rumah untuk disajikan kepada wisatawan dalam festival Ngopi Sepuluh Ewu.

"Dulu tidak terpikirkan bagi kami bahwa budaya sederhana yang kami miliki menarik bagi para wisatawan," kata Moh Edy Saputro, Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Kemiren.

Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang rutin digelar setiap tahun bukanlah satu-satunya pagelaran besar di desa tersebut. Kemiren setidaknya menyumbang tiga event dalam kalender Banyuwangi Festival (B-Fest), sebuah rangkaian event wisata yang sukses memoles citra Banyuwangi sebagai Kota Wisata di Indonesia.

Selain Ngopi Sepuluh Ewu, dua festival lain adalah Festival Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu.

"Barong Ider Bumi merupakan ritual yang digelar sebagai penyucian dan perlindungan. Upacara tradisional ini sudah digelar puluhan atau bahkan ratusan tahun setiap hari kedua bulan Syawal dalam kalender Islam," terang Edy.

Sementara Tumpeng Sewu berakar dari tradisi selamatan desa atas hasil panen yang melimpah. Warga suku Osing menggelarnya sebagai bentuk rasa syukur sekaligus untuk memperkuat solidaritas sosial antarwarga.

"Kami berusaha menjaga warisan leluhur. Pariwisata menjadi momentum bagi masyarakat suku Osing terus merawat tradisi," imbuh pria 27 tahun itu.

Edy menjelaskan, memoles desa adat menjadi desa wisata tidak semudah membalik telapak tangan. Beberapa kali upaya dilakukan, tapi tak selalu membuahkan hasil maksimal. Desa wisata pertama kali digagas sekitar tahun 2013.

Berbagai kegiatan budaya digelar untuk mendatangkan minat wisatawan. Sempat berjalan beberapa tahun, tapi kurangnya konsistensi membuat desa adat sempat mati suri.

Baru sekitar 2017, pemuda-pemuda suku Osing yang tergabung dalam kelompok karang taruna mencoba mengulangnya kembali. Sekitar 20 remaja membentuk Pokdarwis.

Mereka menyiapkan titik-titik destinasi budaya sebagai paket wisata dengan konsep yang lebih matang. Para pemuda yang melek teknologi membuat promosi Desa Wisata Adat Kemiren menjadi lebih bergairah.

Apalagi saat itu bertepatan juga dengan momentum kebangkitan wisata di Bumi Blambangan. Data pemerintah daerah yang dihimpun dari Badan Statistik Nasional mencatat, jumlah wisatawan yang datang ke Banyuwangi pada 2017 mencapai 4,9 juta kunjungan.

Naik signifikan dari tahun sebelumnya sebesar 4 juta kunjungan. Sejak saat itu, wisatawan di Banyuwangi terus meningkat dari tahun ke tahun, yakni 5,3 juta pada 2018 dan 5,4 juta pada 2019. Sempat menurun karena pandemi Covid-19, Banyuwangi terus mencoba bangkit untuk mengulang kesuksesan sebelumnya.

Di beberapa daerah, pariwisata mengubah budaya dari sebuah desa. Tapi tidak di Kemiren. Di sana, kearifan lokal justru semakin dirawat sebab ia menjadi daya tarik.

Baca juga: Inovasi Polsek Banyuwangi, Gelar Patroli Jamu-Kopi Keliling Gratis untuk Warga: Dekatkan Polisi

Sumber: Tribun Jatim
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved