Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisah Para Pemuda Suku Osing di Banyuwangi Jadi Penggerak Desa Wisata Kelas Dunia

AROMA kopi menyeruak ketika melangkah di jalan utama Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (8/11/2025) petang.

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/AFLAHUL ABIDIN
KOPI - Ratusan warga berbaur dalam Festival Ngopi Sepuluh Ewu di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (8/11/2025). Ini adalah salah satu festival di Banyuwangi yang mengangkat adat istiadat masyarakat suku Osing. 

"Masyarakat suku Osing memiliki rumah yang khas terbuat dari kayu dan bambu dengan bentuk atap yang berbeda dari rumah khas Jawa atau Bali. Sejak menjadi desa wisata, rumah-rumah adat justru semakin banyak karena ini juga menjadi daya tarik," tambah Edy tahun itu.

Kebudayaan lain masyarakat suku Osing tak boleh dilupakan adalah Tari Gandrung. Ini merupakan sebuah tarian yang pertama kali ditampilkan zaman kependudukan Belanda atau sekitar abad ke-18.

Tarian tersebut kini dikenal luas melalui pentas tari kolosal Festival Gandrung Sewu yang digelar oleh Pemkab Banyuwangi. Festival yang rutin digelar di pantai Selat Bali ini menjadi salah satu event unggulan nasional dan masuk dalam kalender wisata Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata.

Kekayaan budaya yang dibungkus dalam atraksi wisata berhasil mengantarkan Desa Kemiren sebagai salah satu desa wisata terbaik di dunia 2025.

Kemiren masuk dalam jaringan desa wisata terbaik dunia kategori Upgrade Programme dari UN Tourism, badan kepariwisataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kategori itu merupakan tingkat kedua tertinggi dalam penilaian desa wisata opeh UN Tourism. Dari 72 desa wisata terbaik di dunia tahun ini, hanya ada dua desa wisata di Indonesia yang masuk di dalamnya.

Sejak Kemiren menjelma menjadi desa wisata, lebih dari 200 keluarga hidupnya bergantung pada sektor tersebut. Mereka antara lain adalah para pemandu wisata, pekerja seni, pemilik akomodasi penginapan, pelaku usaha mikro kecil menengah, pengelola rumah adata kawasan cagar budaya, hingga pemilik persewaan tempat tinggi atau homestay.

Jumlah pelaku jasa wisata di Desa Kemiren juga terus tumbuh seiring waktu berjalan. Tercatat saat ini, sebanyak 22 usaha kecil-menengah berdiri di desa tersebut. Mereka bergerak di usaha makan-minuman hingga sandang.

Jumlah homestay berkali-kali lipat lebih banyak. Pihak desa mencatat, lebih dari 40 homestay berdiri di kawasan Desa Wisata Kemiren. Mayoritas adalah rumah tinggal milik pribadi yang disewakan saat ada tamu berkunjung.

Beberapa sedikit di antaranya adalah hunian berupa kamar-kamar yang sengaja dibangun untuk tempat menginap tamu.

“Adanya wisata juga membuat sanggar kesenian tetap hidup. Di Kemiren, sanggar kesenian berjumlah 18. Semuanya adalah sanggar yang melestarikan kebudayaan adat suku Osing,” ujar Edy.

Setiap tahunnya, ribuan orang datang ke Desa Wisata Kemiren untuk mengenal kebudayaan setempat. Data yang dihimpun Pokdarwis setempat, rata-rata 2 ribu hingga 4 ribu kunjungan tercatat dalam buku tamu dalam setiap tahunnya.

“Sebelum pandemi Covid-19, kunjungan di Desa Wisata Kemiren sempat menyentuh angka 18 ribu kunjungan. Itu terjadi pada 2019. Namun setelah pandemi, kunjungan sebanyak itu masih belum terulang kembali. Kami berupaya menyuguhkan kebudayaan dalam pariwisata sebaik mungkin untuk mengulang kembali capaian waktu itu,” imbuhnya.

Budaya dan Wisata Berjalan Beriringan

Bagi masyarakat suku Osing, kebudayaan yang membaur dengan pariwisata justru memberi nilai lebih. Keduanya saling melengkapi. Adat istiadat tetap lestari dan dijunjung tinggi. Di satu sisi, asap dapur rumah warga juga terus mengepul dampak dari pariwisata yang bergeliat.

“Kalau menurut saya, keduanya bisa berjalan beriringan dengan sangat baik. Dengan jadinya Kemiren sebagai desa wisata, masyarakat juga sejahtera. Anak-anak muda tak perlu pergi ke kota besar untuk mencari kerja,” kata Ketua Adat Osing Desa Kemiren, Suhaimi.

Suhaimi menjelaskan, suku Osing sebenarnya memiliki lebih banyak kebudayaan menarik di luar yang disuguhkan dalam pariwisata. Contohnya, masyarakat suku Osing memiliki bahasa Osing, sebuah dialek jawa khas yang hingga kini masih menjadi bahasa ibu, bahkan oleh kalangan muda-mudi.

Sumber: Tribun Jatim
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved