Kaum Muda di Jombang Pilih Diskusi Melingkar Bahas Sistem Demokrasi, Banyak Pembatasan Ruang Kritik
Siskusi ini langkah bijak di tengah situasi nasional yang saat ini sedang tidak menentu dengan banyaknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah
Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Samsul Arifin
Poin Penting :
- Sejumlah elemen kepemudaan di Kabupaten Jombang berkumpul menggelar diskusi terbuka
- Diskusi ini bertemakan Anak Muda Jombang Jaga Demokrasi: Membangun Kesadaran Hak Hukum untuk Ruang Publik yang Aman dan Inklusif
-
Pemilihan diskusi ini sebagai langkah bijak di tengah situasi nasional yang saat ini sedang tidak menentu dengan banyaknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah
Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Anggit Pujie Widodo
TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Sejumlah elemen kepemudaan di Kabupaten Jombang berkumpul menggelar diskusi terbuka bertema “Anak Muda Jombang Jaga Demokrasi: Membangun Kesadaran Hak Hukum untuk Ruang Publik yang Aman dan Inklusif”.
Acara ini diselenggarakan oleh Women Crisis Center (WCC) dan Aliansi Inklusi Kabupaten Jombang.
Diskusi hangat ini berlangsung pada Rabu (3/9/2025) pukul 13.00 WIB di Kantor WCC Jombang. Diskusi menghadirkan empat pemantik utama, yakni Daffa (Ketua PC GMNI Jombang), Asrorudin (Ketua PC PMII Jombang), Furqon (Ketua PC HMI Jombang), dan Shasmita (perwakilan IPPNU Jombang).
Sementara itu, hadir pula Aan Anshori dari Lingkar Indonesia untuk Keadilan serta Ana Abdillah selaku Direktur WCC Jombang sebagai penanggap. Jalannya diskusi dipandu oleh Fuad, Koordinator Aliansi Inklusi Jombang.
Rangkaian kegiatan dimulai dengan doa bersama untuk para korban aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia.
Baca juga: MBG di Jombang Dikeluhkan Siswa, Vendor SPPG Buka Suara Soal Temuan Nasi Basi dan Susu Kadaluwarsa
Usai doa, seluruh peserta dan narasumber bersama-sama menyanyikan lagu Padamu Negeri sebagai pengingat bahwa kepentingan bangsa berada di atas segalanya.
Pemilihan kegiatan berupa diskusi ini dinilai sebagai langkah bijak di tengah situasi nasional yang saat ini sedang tidak menentu dengan banyaknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah.
Setiap narasumber memaparkan sudut pandangnya tentang demokrasi dan harapan untuk anak muda di masa yang akan datang.
Dalam penyampaiannya, Daffa menegaskan bahwa demokrasi seharusnya menjamin kebebasan berpendapat bagi seluruh warga. Namun, realitas yang ia temui di lapangan menunjukkan masih ada pembatasan ruang kritik.
Ia mencontohkan pengalaman kader GMNI yang mendapat intimidasi usai menyuarakan aspirasi dalam aksi mahasiswa.
"Kualitas demokrasi sering kali hanya dipersempit pada pelaksanaan pemilu dan pilkada, sementara gagasan kepemimpinan dan substansi kebijakan publik masih terabaikan," ucapnya dalam forum.
Pandangan berbeda datang dari Asrorudin. Ketua PC PMII Jombang itu menilai demokrasi merupakan amanah yang harus dijaga, tetapi saat ini cita rasanya mulai memudar.
Baca juga: Pemkab Jombang Lindungi ASN Longgarkan Aturan Seragam dan Kendaraan Dinas, Situasi Tak Menentu
Represi aparat, keterlibatan militer dalam ranah sipil, serta polarisasi masyarakat membuat demokrasi rapuh. Pembangunan sering kali dikendalikan oleh kepentingan elektoral yang mengikis budaya lokal. Menurutnya, kedaulatan rakyat perlu dikembalikan sebagai prinsip utama.
"Hal ini juga tampak di Jombang, di mana masyarakat dibiarkan hidup dalam pro dan kontra tanpa adanya kejelasan sikap politik. Kondisi ini berdampak pada banyak pemimpin yang gagal memahami hakikat demokrasi, sehingga menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan," katanya.
Selain itu, ketimpangan pembangunan juga kerap dipacu oleh kepentingan elektoral yang terpusat, sehingga mengikis nilai budaya dan identitas lokal.
"Akumulasi kekecewaan publik ibarat air bah yang dapat meledak kapan saja, entah dipicu kepentingan politik atau konflik antar-lembaga. Karena itu, PMII menegaskan pentingnya kembali pada prinsip dasar bahwa kedaulatan sejatinya berada di tangan rakyat," ungkapnya.
Baca juga: Demo di Pasuruan Berjalan Damai dan Tertib, Bupati dan Dewan Siap Perjuangkan Suara Mahasiswa
Furqon dari HMI Jombang menyoroti persoalan moral elit politik. Ia menilai demokrasi hari ini tidak hanya bermasalah dalam prosedur, tetapi juga dirusak oleh perilaku koruptif dan lemahnya integritas pejabat publik.
Bagi HMI, anak muda harus menjadi penjaga moral dengan berlandaskan iman, ilmu, dan pengabdian agar demokrasi tetap berpihak kepada rakyat.
"Degradasi moral yang ditunjukkan para elit politik saat ini hanya dapat diatasi dengan peran aktif anak muda dalam menjaga demokrasi. Di media populer pun semakin jelas tergambar bahwa kondisi demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja," ungkapnya.
Beberapa minggu terakhir, forum internal HMI sampai pada kesimpulan bahwa persoalan utama demokrasi hari ini bukan hanya soal prosedur, tetapi juga perilaku koruptif yang merusak.
Korupsi tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan keuangan negara, tetapi juga merambah pada aspek moralitas dan integritas pejabat publik.
"HMI menekankan bahwa anak muda harus mengambil peran sebagai penjaga moral dan demokrasi. Prinsip yang dipegang HMI adalah yakinkan dengan iman, usahakan dengan ilmu, dan perjuangkan dengan amal. Dengan dasar iman, ilmu, dan pengabdian inilah generasi muda diyakini mampu mengembalikan marwah demokrasi agar tetap berpihak pada rakyat dan keadilan sosial," jelasnya.
Sementara itu, Shasmita dari IPPNU menekankan bahwa generasi muda kurang mendapatkan pendidikan mendalam soal demokrasi.
Akibatnya, banyak pelajar tumbuh tanpa pemahaman kritis dan lebih mudah terpengaruh arus informasi media. IPPNU terus berupaya mendorong kesadaran politik anak muda lewat diskusi dan forum kecil, meski ruang partisipasi yang tersedia masih sangat terbatas.
"Sistem demokrasi di Indonesia yang berlandaskan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat selama ini sering hanya dipahami sebatas slogan. Di sekolah, pelajar tidak diajarkan secara mendalam tentang makna dan praktik demokrasi, sehingga generasi muda tumbuh tanpa bekal pemahaman yang kuat," bebernya.
Akibatnya, banyak anak muda lebih mengikuti arus media tanpa mampu membaca secara kritis peta perpolitikan yang ada. Kondisi ini membuat sebagian generasi muda bersikap pragmatis dan apatis terhadap situasi politik.
"Meskipun pelajar tidak selalu turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi, mereka tetap berusaha menumbuhkan. kesadaran bersama melalui cara yang sesuai dengan karakter mereka, misalnya lewat doa dan forum diskusi kecil," tuturnya.
Namun, kekhawatiran muncul ketika banyak anak muda tidak merasa resah melihat realitas sosial dan politik yang penuh masalah. IPPNU sendiri terus berupaya mengajak anak muda untuk berpikir kritis dan peduli. terhadap kondisi bangsa.
"Sayangnya, wadah untuk mengembangkan kesadaran tersebut masih terbatas, sehingga perjuangan anak muda sering terhenti di tengah jalan. Alih-alih semakin sadar, sebagian justru kembali kehilangan semangat karena minimnya ruang partisipasi yang benar-benar mendukung mereka," imbuhnya.
Aan Anshori, salah satu penanggap, mengapresiasi peran anak muda yang hadir dalam diskusi tersebut. Ia menilai generasi Z justru memiliki kapasitas kritis yang penting bagi bangsa.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, mulai dari represifitas aparat hingga praktik politik yang cenderung hanya memuaskan nafsu kekuasaan Menurutnya, kepemimpinan moral sangat diperlukan untuk menyeimbangkan praktik demokrasi.
"Secara prosedural, demokrasi di Indonesia tampak berjalan baik. Namun, secara substansial, banyak kebijakan yang justru diskriminatif. Contoh peristiwa 31 Agustus lalu, ketika sekitar 200 demonstran ditahan di Polrestabes Surabaya, meski kemudian dibebaskan secara bertahap. Peristiwa ini menunjukkan bahwa eskalasi kekerasan antara aparat negara dan warga sipil semakin meningkat di tingkat nasional," katanya.
Pada titik ini, Aan mengingatkan pandangan Imam Ghazali, rusaknya rakyat karena rusaknya pemerintah, dan rusaknya pemerintah karena tokoh agamanya lebih cinta dunia dan ketenaran. Menurutnya, ketika tidak cukup banyak tokoh agama yang mampu mengagregasi ketertindasan rakyat, hal itu merupakan cermin dari kegagalan kepemimpinan moral.
"Di Jombang, patron-klien antara tokoh agama dan kekuasaan masih sangat kuat, sehingga belum ada kyai yang berani mengkritik pemerintah. Menjaga demokratisasi berarti juga menjaga kesucian demokrasi itu sendiri, agar tidak terjebak hanya pada prosedur, tetapi benar-benar menghadirkan keadilan dan keberpihakan kepada rakyat," ujarnya menambahkan.
Senada dengan itu, Ana Abdillah dari WCC Jombang menyoroti lemahnya literasi digital dan meningkatnya hoaks yang beredar di ruang publik. Ia menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya soal prosedur politik, tetapi juga perlindungan hak warga dan penguatan literasi masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa secara sederhana Indonesia masih menganut paham trias politica, yakni pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun, menurutnya, gagasan ini kini dianggap usang karena praktik demokrasi modern telah melahirkan berbagai lembaga independen seperti LPSK, KPK, dan Komnas HAM.
"Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan bentuk koreksi atas keterbatasan trias politica dalam menjawab kompleksitas demokrasi," ungkapnya.
la menyoroti pula pergeseran pola protes masyarakat. Jika dahulu gerakan publik lebih banyak menyuarakan aspirasi moral, kini protes seringkali berubah menjadi tindakan kekerasan di jalanan.
Situasi ini, menurut Ana, menjadi lahan subur bagi berkembangnya hoaks dan disinformasi.
"Data dari Sosmon (pelacak disinformasi dan percakapan digital) bahkan menunjukkan peningkatan signifikan penggunaan deepfake, yang mencerminkan lemahnya literasi digital masyarakat Indonesia, di samping masih rendahnya literasi membaca dan menulis," bebernya.
Dalam catatannya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 4,791 hoaks. terverifikasi, dengan rincian 33 persen terkait isu politik, 28 persen isu sosial, dan 21 persen isu kesehatan. Selain itu, sekitar 40 persen percakapan politik di media sosial dilakukan dengan akun palsu (fake account).
Menutup tanggapannya, Ana Abdillah menegaskan bahwa kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik, tetapi juga dapat hadir dalam bentuk kebijakan atau keputusan yang diskriminatif.
Oleh karena itu, penguatan demokrasi harus disertai dengan peningkatan literasi publik, perlindungan hak-hak warga negara, serta upaya mencegah penyalahgunaan kekuasaan. "Suara kritis bukan ancaman, melainkan napas bagi demokrasi yang sehat," pungkasnya.
diskusi
mahasiswa
GMNI
IPPNU
HMI
berita jombang hari ini
demokrasi
TribunJatim.com
Tribun Jatim
Woman Crisis Center (WCC)
PMII
Kompol Cosmas Menangis Minta Maaf ke Keluarga Affan, Ayah Driver Ojol: Cukup Anak Saya Jadi Korban |
![]() |
---|
Pabrik Pakan Ternak dari Tiongkok Bangun Pabrik di SIER, Bakal Serap Ratusan Tenaga Kerja |
![]() |
---|
Duduk Perkara Wapres Gibran Digugat Rp125 Triliun, Warga Bantah Ada yang Bekingi |
![]() |
---|
Cerita 7 PMI Asal Madiun dan Magetan Bekerja di Afrika Tengah, Tak Digaji hingga Tinggal di Hutan |
![]() |
---|
Demo di Pasuruan Berjalan Damai dan Tertib, Bupati dan Dewan Siap Perjuangkan Suara Mahasiswa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.