Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Karyawan Bank Santai Tilap Uang Nasabah Rp 24,6 M, 7 Tahun Beraksi hingga Punya Motor Rp 61 Juta

Seorang karyawan bank pemerintah santai tilap uang nasabah Rp 24 miliar lebih.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
Tribun Cirebon/Eki Yulianto
KARYAWAN BANK KORUPSI - MY, mantan staf administrasi bank pemerintah dihadirkan dalam konferensi pers yang digelar Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (1/10/2025) malam. Dia melakukan tindak tindak pidana korupsi hingga Rp 24,6 miliar sejak 2018 hingga 2025. Punya barang-barang mewah. 

TRIBUNJATIM.COM - Seorang karyawan bank pemerintah santai tilap uang nasabah Rp 24 miliar lebih.

Ia dengan santai beraksi selama tujuh tahun ini.

Tersangka yang berinisial MY, merupakan mantan staf administrasi bank pemerintah tersebut.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Cirebon mengatakan, MY menilap Rp 24,6 miliar dengan cara memanfaatkan celah sistem perbankan sejak 2018 hingga 2025.

MY dihadirkan dalam konferensi pers yang digelar di Kejari Cirebon, Rabu (1/10/2025) malam.

Dia kemudian digiring menuju mobil tahanan dengan rompi tahanan merah muda.

 Wajahnya tertutup masker, wajahnya menunduk. Dia dikawal petugas kejaksaan dan kerabatnya.

“Dapat kami sampaikan, tim penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon menetapkan tersangka serta melakukan penahanan terhadap inisial MY, mantan staf administrasi dana dan jasa bank pemerintah Kantor Cabang Sumber, dalam perkara tindak pidana korupsi,” ujar Kepala Kejari Kabupaten Cirebon, Yudhi Kurniawan, dalam konferensi pers, dilansir dari TribunJabar.

Modus MY rapi dan berulang.

Dia memproses transaksi dari satu rekening penampung ke rekening lain dengan memanfaatkan celah waktu agar tidak terpantau sistem.

"Untuk menutupi perbuatannya, tersangka bahkan membuat dokumen dan narasi fiktif,” ucapnya. 

Baca juga: Cara Culas Karyawan Bank Gelapkan Rp 2,8 M untuk Sabung Ayam, Direksi Ungkap Nasib Nasabah

Selama tujuh tahun, penyidik menemukan lebih dari 280 transaksi mencurigakan.

“Dari tahun 2018 sampai 2025, total transaksi ada 280 lebih yang dilakukan secara bertahap,” jelas dia.

Tak hanya uang, penyidik juga menyita berbagai barang mewah yang diduga hasil dari korupsi tersebut.

“Ini juga ada satu buah mobil merek Hyundai Stargazer, ada satu Vespa, kemudian ada iPhone 12 Pro Max, ada dompet Louis Vuitton, tas bermerek MCM. Barang-barang ini diduga dibeli menggunakan uang hasil korupsi,” katanya.

Nilainya pun fantastis.

Dompet Louis Vuitton diperkirakan seharga Rp 10 juta, sementara Vespa batik yang ikut diamankan bernilai sekitar Rp 61 juta.

Tak ketinggalan, uang tunai sebesar Rp 131,9 juta juga disita dari rekening tersangka.

Akibat perbuatannya, MY dijerat dengan pasal berlapis.

“Untuk tindak pidana korupsi di pasal 2, hukumannya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Pasal 3, hukumannya mati atau seumur hidup,” ujarnya.

Baca juga: Negara Rugi Rp8,9 M Ulah 3 Karyawan Bank, Pantas Kacab Gonta-ganti Mobil, Cairkan 13 Kredit Fiktif

Selain itu, MY juga dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun serta denda maksimal Rp 10 miliar.

Meski baru menetapkan satu tersangka, Kejari tidak menutup kemungkinan adanya pihak lain yang ikut terlibat.

“Untuk perkara tindak pidana korupsi sampai dengan saat ini masih satu orang. Kami masih mencari dan memastikan apakah ada peran orang lain,” ucap Yudhi. 

Kini, MY ditahan selama 20 hari ke depan, mulai 1 Oktober hingga 20 Oktober 2025, di Rutan Kelas I Cirebon.

Hukum Makan Uang Hasil Korupsi

Modus operandi dari perilaku korupsi berkembang pesat dan meresahkan.

Seseorang dapat terlibat praktik korupsi tanpa sadar, yakni dengan ikut menerima harta hasil korupsi.

Hal ini lantas menjadi sumber pertanyaan tersendiri di kalangan umat Islam tentang bagaimana jika mendapati pemberian yang tidak jelas dan mencurigakan?

Pemberian (atau apa saja yang kita dapat dengan cara halal), baik uang, makanan, pakaian, atau barang lainnya, yang kita tidak mengetahui asal-usul bagaimana barang itu didapat, maka kita hukumi saja sebagai halal.

Dalam kasus seperti ini, berlaku sebuah ungkapan apa saja yang tidak kita ketahui detailnya, kita tidak perlu mempertanyakaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-Maidah ayat 101,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَسْـَٔلُوْا عَنْ اَشْيَاۤءَ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ ۚوَاِنْ تَسْـَٔلُوْا عَنْهَا حِيْنَ يُنَزَّلُ الْقُرْاٰنُ تُبْدَ لَكُمْ ۗعَفَا اللّٰهُ عَنْهَا ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu … .”(Al-Maidah:101), melansir dari laman https://muhammadiyah.or.id/.

Maksudnya, jika memang tampak bagi kita itu sesuatu yang baik/halal, maka halal hukumnya kita manfaatkan.

Ini berlaku bagi jasa secara umum, kecuali jika sampai ke tingkat patut dicurigai, yakni kita mempunyai dugaan keras bahwa barang yang diberikan itu barang haram.

Misalnya kita menerima pemberian dari orang yang suka berjudi, maka kita perlu mencari tahu asal-usul barang yang diberikan tersebut.

Selama kecurigaan kita belum hilang, sebaiknya kita jangan menggunakan (baik kita manfaatkan sendiri atau kita berikan kepada orang lain) pemberian tersebut.

Atau kita tempuh jalan pintas, yaitu mengembalikan barang tersebut kepada si pemberi.

Itu hampir sama dengan sebuah pemberian yang lebih mendekati praktik suap, karena kita mempunyai jabatan penting, misalnya, yang sekarang populer dengan sebutan gratifikasi.

Baca juga: Pantas Kepsek SMAN Tilap Dana Bos 846 Juta Tanpa Ketahuan, Rancang Anggaran dan Ambil Uang Sendiri

Oleh sebab itu kita perlu mencurigai si pemberi, boleh jadi ada maksud tertentu dibalik pemberian tersebut.

Kita harus mencari tahu, sampai kecurigaan kita hilang. Jika memang lebih mendekati kasus penyuapan, maka sebaiknya kita jangan menerima pemberian itu, atau pilihan lain, melaporkannya kepada yang berwajib (polisi), jika sekiranya persoalan beri-memberi itu memasuki wilayah kriminalitas.

Dalam hal ini perlu memahami peta harta haram yang banyak tersebar di masyarakat kita. Secara umum, harta haram bisa dikelompokkan menjadi dua:

1. Harta haram karena dzatnya, seperti khamr, babi, bangkai, anjing, darah, dan seterusnya.

2. Harta haram karena cara mendapatkannya, meskipun dzatnya halal, seperti uang riba, barang curian, mobil korupsi, sapi suap, dan seterusnya.

Selanjutnya, untuk harta haram karena cara mendapatkannya, dibagi menjadi dua:

a. Harta haram yang diambil secara suka rela, saling ridha, atau dengan izin pemilik pertama. Seperti upah wanita pezina, hasil judi, atau jual beli barang haram (misal: hasil menjual babi, khamr), dan seterusnya.

b. Harta haram yang diambil secara sepihak, dan merugikan pihak lain, tidak saling rida. Seperti harta hasil curian, harta hasil merampas, hasil menipu, dan lain-lain.

Harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli, tidak saling ridha, statusnya tetap haram, meskipun berpindah ke tangan orang lain, baik diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah. Sebagian ulama menjelaskan dengan dalil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةَ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةَ مِنْ غُلُوْلٍ

“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” (HR. Muslim)

Baca juga: Siasat Licik Oknum ASN Tilap Uang Pajak Rp 321 Juta, Ketahuan saat Pelaku Bolos Kerja

Ibnu Hajar mengatakan,

دَلَّ قَوْلُهُ لَا تُقْبَلُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ أَنَّ الْغَالُ لَا تَبْرَأُ ذِمَّهُ إِلَّا بِرَدِّ الْغُلُوْلِ إِلَى أَصْحَابِهِ بِأَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِذَا جَهِلَهُمْ مَثَلاً والسَّبَبُ فِيْهِ أَنَّهُ مِنْ حَقِّ الْغَانِمِيْنَ فَلَوْ جُهِلَتْ أَعْيَانُهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْهِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ.

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedekah tidak diterima karena hasil korupsi” menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain.” (Fath al-Bari: III: 278)

Harta hasil korupsi termasuk jenis harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli.

Hal ini karena sejatinya harta itu adalah milik rakyat, dan semua orang sepakat tidak ada rakyat yang bersedia hartanya diambil oleh pejabat.

Oleh karena itu, sekalipun telah dilakukan money laundry (pencucian uang) atau diserahkan kepada orang lain harta itu wajib untuk disita dan dikembalikan kepada negara.

Bagi penerima yang mengetahui bahwa itu hasil korupsi maka dia harus menolaknya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved