Breaking News
Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Ambruk

Dari 42433 Ponpes, Ternyata Hanya 50 yang Punya Izin Mendirikan Bangunan: Tanggung Jawab Pengelola

Lebih dari 99 persen institusi pendidikan yang dihuni puluhan ribu santri, beroperasi tanpa ada jaminan sertifikasi kelayakan bangunan.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
ISTIMEWA
TAK PUNYA IZIN - Bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk, Senin (29/9/2025) sore. Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, menyinggung pentingnya kepatuhan izin kelayakan bangunan pondok pesantren. 

TRIBUNJATIM.COM - Sebuah fakta mengejutkan terungkap di balik tragedi ambruknya musala tiga lantai di Pondok Pesantren Al Khoziny, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025) lalu.

Insiden yang menewaskan puluhan santri tersebut menjadi peringatan betapa pentingnya kepatuhan izin kelayakan bangunan pondok pesantren.

Dari peristiwa ini, terungkap data mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan, seperti dikatakan Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo.

Baca juga: Purbaya Ditegur Luhut Soal Anggaran MBG, Rocky Gerung Sebut Prabowo Pusing, Sentil Keretakan Kabinet

"Di seluruh Indonesia Raya, hanya 50 ponpes yang memiliki izin mendirikan bangunan, yang lain belum," kata Dody Hanggodo, Minggu (5/10/2025), dikutip dari Kompas.com

Dari total 42.433 pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag) periode 2024/2025, sekitar 50 pesantren yang tercatat telah mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

PBG merupakan pengganti dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Fungsinya krusial, yakni memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan dan kelayakan teknis.

Angka ini menunjukkan mayoritas atau lebih dari 99 persen institusi pendidikan yang dihuni puluhan ribu santri, beroperasi tanpa ada jaminan sertifikasi kelayakan bangunan dari pemerintah.

Dody mengakui adanya kompleksitas birokrasi karena PBG berada di bawah kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda), sementara operasional pesantren berada di bawah Kemenag.

"Harusnya semua pesantren memiliki izin. PBG ini kewenangannya ada di Pemda, tapi kita perlu koordinasi antara Kemendagri dan Kemenag, karena ponpes di bawah Kemenag," jelasnya.

Kelalaian ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pengelola pesantren.

Tetapi juga menunjukkan lemahnya koordinasi dan sosialisasi antara kementerian terkait untuk memastikan standar keselamatan diterapkan di seluruh lembaga pendidikan agama.

Menyusul tragedi Ponpes Al Khoziny, Kementerian PU akan berkoordinasi dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan tindakan masif.

Fokus utama setelah masa tanggap darurat di Sidoarjo selesai adalah sosialisasi mendalam kepada Pemda dan seluruh pondok pesantren di seluruh Indonesia.

Tujuannya adalah mendorong kepengurusan PBG dan sertifikasi laik bangunan.

Sejumlah alat berat dikerahkan untuk mempercepat proses evakuasi korban dan pembersihan puing bangunan musala yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Hingga Minggu (5/10/2025) siang, tim SAR gabungan terus bekerja tanpa henti sejak dini hari.
Sejumlah alat berat dikerahkan untuk mempercepat proses evakuasi korban dan pembersihan puing bangunan musala yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Hingga Minggu (5/10/2025) siang, tim SAR gabungan terus bekerja tanpa henti sejak dini hari. (Dok BNPB)

Atas hal ini, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan menindak tegas ponpes yang tidak mengantongi izin bangunan berupa PBG.

"Ke depan bersama-sama dengan semua kalangan, Kementerian PU, tentu juga dengan semua pemerintah di daerah berusaha agar menertibkan, agar meyakinkan bahwa bangunan-bangunan infrastruktur baik itu sekolah, kemudian juga pondok pesantren, termasuk rumah-rumah sakit dan semua yang menjadi fasilitas publik ini memiliki kekuatan dan aman," kata AHY di Jakarta Pusat, Senin (06/10/2025).

AHY juga menyampaikan duka mendalam atas peristiwa ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur yang menelan banyak korban jiwa.

Ia menilai kejadian ini harus menjadi pelajaran penting agar standar keamanan bangunan dipatuhi secara ketat.

"Kita sangat berduka atas insiden robohnya Pondok Pesantren di Sidoarjo yang mengakibatkan banyak korban jiwa, anak-anak kita, yang benar-benar harus kita sikapi agar tidak terjadi lagi. Saya rasa ini sesuatu yang sangat serius," ujarnya melanjutkan.

Menurut AHY, sejak awal kejadian, pemerintah berfokus pada penyelamatan korban.

Namun, kondisi bangunan yang parah membuat proses evakuasi berjalan sulit.

Ia menegaskan, insiden tersebut menunjukkan pentingnya penegakan standar konstruksi, terutama pada fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, dan ponpes.

"Jangan sampai kita abai tidak mematuhi. SOP itu ada karena memang sudah menjadi hasil riset dan terbukti," ucap AHY.

Baca juga: Organisasi Guru Tolak Cicipi Menu MBG hingga Bereskan Ompreng, Mendikdasmen Siapkan Insentif

Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Sudjatmiko, menyoroti ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny sebagai peringatan keras atas lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia. 

Dia menegaskan bahwa peristiwa tragis tersebut bukan sekadar musibah, tetapi menunjukkan kegagalan sistemik dalam penerapan standar teknis pembangunan.

"Tragedi ini bukan hanya peristiwa duka yang menelan korban, melainkan juga peringatan keras mengenai lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia," kata Sudjatmiko dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (5/10/2025).

Menurutnya, dalam disiplin teknik sipil, sebuah bangunan tidak akan runtuh secara tiba-tiba jika seluruh tahapan pembangunan dilakukan sesuai prinsip perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan yang benar. 

Dia menegaskan, nyawa manusia tidak boleh lagi melayang hanya karena kelalaian teknis dan ketidaktahuan terhadap prinsip bangunan aman.

"Ambruknya bangunan sering kali buru-buru dilabeli sebagai takdir. Padahal, dalam banyak kasus, penyebab utama justru kegagalan konstruksi," katanya.

Proses pengangkatan puing bangunan musala Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, Minggu (5/10/2025).
Proses pengangkatan puing bangunan musala Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, Minggu (5/10/2025). (Dok Basarnas Surabaya)

Sudjatmiko menjelaskan sejumlah faktor yang kerap menyebabkan kegagalan bangunan, khususnya pada lembaga pendidikan berbasis komunitas seperti pesantren.

Pertama, perencanaan struktur yang lemah karena banyak bangunan dibangun tanpa melibatkan tenaga ahli teknik sipil.

Kedua, penggunaan material yang tidak sesuai standar, di mana baja tulangan, semen, atau pasir sering diganti demi menekan biaya.

Ketiga, minimnya pengawasan konstruksi, sebab banyak proyek tidak diawasi oleh insinyur bersertifikat.

Keempat, ketidaktahuan terhadap kondisi tanah, yang membuat bangunan tidak didesain sesuai karakteristik lahan.

"Sidoarjo, misalnya, memiliki kontur tanah yang sebagian berupa tanah lunak. Tanah jenis ini membutuhkan pondasi kuat dan desain khusus."

"Tanpa kajian geoteknik, bangunan bisa amblas atau miring sebelum waktunya," ucapnya.

Sudjatmiko menekankan bahwa dalam ilmu teknik sipil, kegagalan struktur tidak boleh terjadi jika desain memperhitungkan faktor keamanan (safety factor) yang cukup.

Ambruknya gedung secara mendadak, katanya, menandakan adanya kesalahan serius sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan.

"Konstruksi pendidikan atau keagamaan seperti pesantren punya beban sosial besar."

"Setiap kesalahan teknis bukan sekadar bangunan roboh, tapi juga soal nyawa manusia," ujarnya.

Baca juga: Mengintip Rumah Diduga Milik Hacker Bjorka yang Berhasil Bobol Ribuan Dolar, Tidur Beralaskan Kain

Sudjatmiko menilai, tragedi Ponpes Al Khoziny harus menjadi pelajaran penting bagi ratusan pesantren lain di Indonesia. 

Dia menyerukan agar semua pembangunan fasilitas pendidikan keagamaan mematuhi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksanaannya.

Dalam pandangannya, ada enam langkah mitigasi yang harus dilakukan.

Pertama, melibatkan ahli sejak awal agar perhitungan struktur dan pondasi mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI).

Kedua, menetapkan standar mutu bahan bangunan, sesuai SNI 1726:2019 tentang ketahanan gempa.

Ketiga, melakukan audit kelayakan bangunan, terutama pesantren yang menampung ratusan santri.

Keempat menerapkan regulasi lebih tegas, termasuk penegakan izin mendirikan bangunan (IMB) dan pengawasan profesional.

Kelima meningkatkan edukasi dan sosialisasi, agar pesantren memahami pentingnya keselamatan konstruksi.

Keenam menyiapkan dana khusus renovasi dan standarisasi melalui bantuan pemerintah.

"Kesadaran bahwa bangunan aman adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual harus ditanamkan di lingkungan pesantren," katanya.

Sudjatmiko menegaskan, setiap bangunan yang gagal adalah alarm keras bagi dunia teknik dan kebijakan publik.

Ia berharap tragedi di Sidoarjo tidak berhenti sebagai berita sesaat, tetapi menjadi momentum perubahan dalam tata kelola pembangunan fasilitas pendidikan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved