Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Pilu Dedi Tinggal di Gubuk, Penghasilan dari Jual Sapu Lidi Rp 3500, Belum Pernah Merasakan Bansos

Dedi tinggal bersama istri dan dua anak laki-lakinyaMereka hidup di sebuah gubuk kecil di halaman rumah orang tuanya.

Editor: Torik Aqua
TribunnewsBogor.com/Muamarrudin Irfani
GUBUK - Penampakan gubuk kecil yang ditinggali oleh satu keluarga di Kampung Sukajadi, Desa Mekarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Kamis (9/10/2025). 

TRIBUNJATIM.COM - Pilu Dedi, seorang kuli bangunan yang kini hanya sanggup tinggal di sebuah gubuk.

Gubuk sederhana itu terkadang membuat anak-anak Dedi takut saat hujan deras dan angin kencang melanda.

Gubuk milik Dedi itu terletak di Kampung Sukajadi, Desa Mekarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dedi (39) dan istrinya Ajeng Septian (25).

Baca juga: Kades Kaget Ngadiyem & Tukimin 7 Tahun Tinggal di Gubuk Reyot Berlantai Tanah: Keburu Viral Duluan

Mereka tinggal di Kampung Sukajadi RT 02 RW 01, Desa Mekarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dedi tinggal bersama istri dan dua anak laki-lakinya yang berusia 9 tahun dan 4 tahun.

Mereka hidup di sebuah gubuk kecil di halaman rumah orang tuanya.

Di gubuk yang memiliki luas 3x5 meter itu mereka berlindung di bawah rintik hujan dan panasnya terik matahari serta dinginnya malam.

Bangunan gubuknya sangat sederhana berkonsep rumah panggung yang terbuat dari bambu dan material kayu dengan atap genteng tanah liat sisa proyek di tempat kerjanya.

Gubuk tersebut memiliki dua ruangan yang di antaranya satu kamar tidur utama dan satu ruang depan yang juga disulap menjadi kamar saat malam hari.

Pada area dalam gubuk tidak banyak perabot rumah tangga, hanya terlihat lemari plastik dan kasur. 

Begitupun dengan alat elektronik hanya terdapat kipas angin, televisi, dan magicom untuk memasak nasi yang berada di dalam kamar.

Karena luas bangunan yang terbatas, area teras atau bale pada area depan disulap menjadi dapur terbuka.

Sementara itu, kamar mandi berada berada di luar rumah yang digunakan secara bersamaan dengan orang tuanya.

"Listrik ngambil dari sini (rumah orang tua) buat lampu sama TV aja, magicom," ujar pria berusia 39 tahun itu, Kamis (9/10/2025).

Gubuk tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi yang tidak layak, hanya dipisahkan oleh terpal yang seolah menyatu dengan alam di sekitarnya.

Dedi mengungkapkan, mereka telah tinggal di gubuk tersebut sejak 2022.

Sebelumnya, mereka tinggal bersama anggota keluarga lainnya di depan gubuk yang sekarang mereka tempati.

"Tadinya di sini tahun 2018 (rumah orang tua), pindah ke situ (gubuk) tahun 2022," ujar Dedi kepada wartawan, Kamis (9/10/2025).

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Dedi bekerja sebagai buruh serabutan.

Jika tidak ada pekerjaan, ia mengambil pelepah sawit di kebun untuk dijadikan sapu lidi oleh istrinya.

Dalam sehari, Ajeng mampu membuat sekitar 10 ikat sapu lidi yang dijual kepada pengepul seharga Rp 3.500 per ikat.

"Kalau dari bangunan itu Rp 120 ribu sehari, kalau lagi ada (pekerjaan). Kalau lagi gak ada, bikin sapu lidi istri yang ngerjain di rumah, saya yang ngambil (pelepah sawit)," tuturnya.

Dedi mengaku belum pernah menerima bantuan sosial dari pemerintah, hanya memiliki BPJS Kesehatan PBI untuk menutupi biaya kesehatan.

Ia berharap agar ke depannya dapat memiliki tempat tinggal yang layak untuk keluarganya.

Dengan kondisi demikian yang sangat memprihatinkan, Dedi pun berharap pemerintah dapat memberikan perhatian kepada keluarganya.

Terlebih, saat hujan turun gubuk tersebut tak mampu memahan air yang terus menerjang istana kecil mereka.

Anaknya pun selalu ketakutan manakala hujan deras disertai angin kencang melanda wilayah tersebut hingga harus mengungsi ke rumah orang tuanya yang berjarak lima langkah.

Untuk membangunkan tempat tinggal yang lebih layak atau mengontrak, Dedi mengaku belum sanggup karena pendapatannya sangat tak menentu.

Bahkan, untuk mencukupi kebutuhan di rumah terkadang ia harus mencari bahan untuk membuat sapu lidi di kebun sawit yang akan dikerjakan oleh istrinya.

Upah dari membuat sapu lidi tersebut pun sangat minim, hanya dibeli Rp3.500 per ikat oleh pengepul yang datang seminggu sekali.

"Kalau ada angin, hujan, suka keluar air dari genteng, tampias, bocor mah engga, cuma tampias aja, kalau ujan juga anak suka pengen pindah ke rumah neneknya," katanya.

Di lokasi yang sama, Ketua RW 01, Sofian Hadi menyatakan, perangkat lingkungan telah berupaya maksimal untuk mengajukan program pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).

"Bukan gak berupaya, dari awal sudah sangat berupaya karena memang belum ada tanggapan mungkin. Belum waktunya mungkin," ungkap Sofian.

Sofian menambahkan, masih ada beberapa warga lainnya yang membutuhkan perhatian dari pemerintah.

Beberapa sudah mendapatkan penanganan, namun masih banyak yang belum tersentuh. 

"Kemarin-kemarin sudah didata ulang lagi sama RT, sudah diajukan sama teman-teman untuk melihat kondisi langsung. Alhamdulillah mungkin sekarang sudah ada tanggapan," pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di TribunnewsBogor.com 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved