Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Krisis Air Bersih di Indonesia Jadi Sorotan, Anggota DPR Nilai Upaya Perbaikan Belum Optimal

Pemerintah terus berupaya memperluas cakupan air bersih, masih terdapat kesenjangan signifikan dalam ketersediaan air minum aman bagi masyarakat.

Editor: Torik Aqua
Istimewa
KRISIS AIR BERSIH - Bambang Haryo Soekartono, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra. 

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono menilai kondisi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Indonesia masih belum optimal.

Akses terhadap air layak minum dinilai menghadapi tantangan besar dan belum merata, terutama di daerah padat penduduk dan wilayah terpencil.

Meskipun pemerintah terus berupaya memperluas cakupan air bersih, masih terdapat kesenjangan signifikan dalam ketersediaan air minum aman bagi masyarakat.

“SPAM kita di Indonesia masih sangat parah cakupannya. Di Jawa Barat saja, yang dekat dengan Jakarta, baru sekitar 20 persen. Di Bandung sekitar 70 persen, tapi hampir 100 persen air minum itu tidak bisa langsung diminum. Kondisinya hampir sama di semua wilayah,” ujar anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, Senin (17/11/2025).

Baca juga: Pipa Air Putus Terkena Longsor, Warga Desa Tulungrejo Blitar Alami Krisis Air Bersih 

Ia menilai, air minum merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia bagi seluruh warga negara.

Kendati demikian, Bambang mengapresiasi AQUA yang memberi kontribusi besar bagi perekonomian nasional.

Dari sekitar 67 juta UMKM di Indonesia, 80 persen di antaranya menjual air minum kemasan merk tersebut.

“Bayangkan berapa banyak tenaga kerja yang terserap dan multiplier effect yang dihasilkan. Kehadiran AQUA membantu masyarakat, termasuk pelaku usaha kecil yang menjual makanan dan minuman sehari-hari,” ujarnya.

Meski sempat diterpa isu soal sumber airnya yang disebut bukan dari pegunungan, Bambang menegaskan bahwa air minum dalam kemasan tetap memberikan dampak ekonomi dan sosial yang besar.

Ia juga menaruh kepercayaan terhadap hasil penelitian para pakar hidrogeologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuktikan bahwa sumber air AQUA berasal dari air pegunungan alami dan telah melalui kajian ilmiah mendalam.

“Saya belain sedikit karena ini segi mutu sudah terbukti. Kedua, karena perannya dalam menyediakan air layak minum di masyarakat,” katanya.

Data Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan menunjukkan masih ada sekitar 28 juta penduduk Indonesia yang kesulitan mendapatkan air bersih hingga Maret 2025.

Sekretaris Kemenko Infrastruktur, Ayodhia Kalake, menyebut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan 2,2 miliar orang di dunia belum memiliki akses air minum layak dan 3,5 miliar belum memiliki sanitasi yang memadai pada 2024.

“Sekitar 28 juta warga Indonesia masih harus mendapat perhatian serius dalam akses air bersih setiap hari,” ujarnya dalam webinar Air untuk Negeri beberapa waktu lalu.

Ayodhia menambahkan, 80 persen pasokan air di Indonesia digunakan untuk sektor pertanian, sementara lebih dari 50 persen sumber air berpotensi tercemar.

Kondisi ini, katanya, menjadi tantangan besar di tengah upaya mewujudkan kemandirian pangan nasional sebagaimana visi Presiden Prabowo Subianto.

Dalam acara yang sama, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan bahwa indeks kualitas air nasional pada 2024 masih berada di angka 51,78, di bawah target nasional.

Ia menyoroti enam dari sepuluh provinsi dengan kualitas air terendah berada di Pulau Jawa — wilayah dengan kepadatan penduduk dan aktivitas ekonomi tertinggi.

Sungai-sungai strategis seperti Citarum, Brantas, Musi, dan Batanghari, menurutnya, juga menunjukkan tren penurunan kualitas dalam tiga tahun terakhir.

Hanif menjelaskan, ketimpangan pasokan air bersih juga terjadi antarwilayah. Pulau Jawa memiliki indeks pemanfaatan air hanya 0,27 meski kebutuhan air untuk pangan mencapai lebih dari 30 ribu juta meter kubik per tahun. “Sementara di Papua, indeksnya mencapai 1,89, artinya ketersediaan air di sana jauh lebih besar tetapi belum termanfaatkan optimal,” ucapnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved