Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Fix, Rahmat Jalani Hukuman Kebiri dan 12 Tahun Penjara Akibat Cabuli 15 Siswa

Vonis 12 tahun penjara dan kebiri yang dijatuhkan terhadap Rahmat dinyatakan sudah Inkrah. Hingga kini Rahmat tak ajukan banding

Penulis: Samsul Arifin | Editor: Anugrah Fitra Nurani
TRIBUNJATIM.COM/SAMSUL ARIFIN
Rahmat, terpidana pencabulan 15 siswa ekstrakurikuler tak mengajukan banding atas vonis penjara 12 tahun dan kebiri 3 tahun 

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Syamsul Arifin 

TRIBUNJATIM.CON, SURABAYA - Rahmat Slamet Santoso menyatakan terima vonis 12 tahun penjara dan hukuman kebiri akibat ulahnya mencabuli 15 siswa ekstrakurikuler.

Setidaknya hingga kini, Minggu (1/12/2019), Rahmat tidak mengajukan upaya banding.

Hal itu dibenarkan oleh Aspidum Kejati Jatim, Herry Ahmad Pribadi. 

"Dia tidak menggunakan haknya untuk upaya hukum banding," ungkap Herry, Minggu, (1/12/2019). 

(Terpidana Guru Pramuka yang Dikebiri Kimia Tolak Didampingi Pengacara, Elok Dwi Katja Beri Tanggapan)

Artinya, vonis dari hakim kini sudah berkekuatan hukum alias sudah inkrah.

Jaksa penuntut umum sebelumnya juga menerima vonis tersebut. Meskipun vonis itu lebih ringan dari tuntutannya pidana 15 tahun penjara dan tiga tahun kebiri kimia. 

Dengan tidak adanya upaya hukum lanjutan dari terpidana maupun jaksa, kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap.

"Sudah mempunyai kekuatan hukum tetap," katanya.

Memet kini sudah mulai menjalani masa hukuman yang dijatuhkan hakim.

Namun, pelaku sodomi 15 siswa ini tidak langsung dikebiri. Memet harus menjalani pidana 12 tahun penjara. Setelah selesai, dia baru akan dikebiri. 

"Pelaksanaan hukuman pokoknya selama 12 tahun dulu, baru nanti tindakan kebirinya," ucapnya.

(Divonis 3 Tahun Kebiri Kimia & 12 Tahun Penjara, Terdakwa Guru Pramuka Surabaya Tak Ajukan Banding)

Vonis hukuman kebiri sebelumnya sempat memancing respon keras dari Komnas HAM

Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) M Choirul Anam berharap jaksa agung menerima putusan vonis kebiri kimia dari dua Pengadilan Negeri di Jawa Timur.

Dia juga berharap Mahkamah Agung tidak melakukan eksekusi atas putusan majelis hakim dari dua PN tersebut.

Vonis kebiri kimia dikeluarkan oleh PN Surabaya, dan PN Mojokerto pada 2019 ini.

Vonis kebiri kimia itu dijatuhkan kepada dua orang pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Anam menyampaikan pernyataan tersebut bukan tanpa sebab.

Anam menegaskan, hukuman kebiri kimia termasuk dalam penghukuman penyiksaan.

"Dalam konteks hak asasi manusia itu dilarang. Penghukuman itu melanggar hak asasi manusia. Karena kebiri adalah penyiksaan yang bisa menyebabkan kerusakan fisik permanen. Apalagi Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan," tegas Anam di sela-sela kegiatan Festival HAM di Kabupaten Jember, Kamis (21/11/2019).

(Hukuman Kebiri Kimia Predator Anak Melanggar HAM, Komnas Sebut Penyiksaan, Perlu Ditinjau Ulang)

Karenanya Anam menyindir Provinsi Jawa Timur melakukan sesuatu yang luar biasa karena majelis hakimnya mengeluarkan vonis kebiri kimia tersebut.

Anam menegaskan, dalam sejarah peradilan modern di Indonesia, tidak pernah ada vonis kebiri.

"Dalam sejarah peradilan modern di Indonesia, baru kali ini ada vonis kebiri. Dua-duanya di Jawa Timur pula. Pertama di Mojokerto, itu yang pertama kalinya. Kedua kalinya, beberapa hari lalu di Surabaya," imbuhnya.

Karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan, lanjutnya, karenanya dalam reformasi hukum di Indonesia sudah berkomitmen menghindari hukuman fisik.

Dia menegaskan, seharusnya jaksa tidak melakukan penuntutan hukuman kebiri kimia, begitu juga dengan hakim untuk tidak mengeluarkan vonis tersebut.

Karenanya, lanjutnya, vonis kebiri kimia tersebut melanggar hak asasi manusia.

Dia menegaskan, dirinya, Komnas HAM dan semua orang secara mutlak mengecam segala bentuk kekerasan seksual. Hal itu, tegasnya, tidak terbantahkan.

Tetapi hukuman fisik seperti kebiri, lanjutnya, juga tidak menjamin kasus serupa tidak terjadi lagi, atau membuat seseorang jera.

(Hukuman Kebiri Kimia Predator Anak Melanggar HAM, Komnas Sebut Penyiksaan, Perlu Ditinjau Ulang)

"Dari jaman batu dulu, sudah ada hukuman ini, namun rupanya juga tidak menghentikan kasus perkosaan atau kekerasan seksual yang lain. Bahwa kita semua mengecam segala bentuk kekerasan seksual itu adalah mutlak, tidak terbantahkan. Tetapi ketika ada vonis kebiri, itu juga perlu peninjauan ulang atas pelaksanaan hukuman itu," tegasnya.

Tindak kekerasan seksual, kata Anam, harus menjadi kesadaran semua pihak, pun termasuk dalam mencari solusi, dan mencegahnya.

Dia menyarankan adanya pendidikan seksual secara dini, juga pendidikan terhadap pola pikir orang tentang cara berpakaian seseorang yang saat ini masih kerap jadi 'tersangka' terjadinya kasus kekerasan seksual.

"Juga adanya CCTV di tempat-tempat yang dideteksi rawan kejahatan. Kasih saja hukuman maksimal untuk pelaku tindak kekerasan seksual, namun jangan hukuman fisik seperti kebiri itu," pungkasnya.

Seperti diberitakan, beberapa waktu lalu PN Mojokerto memvonis seorang laki-laki 'predator' anak dengan hukuman kebiri kimia.

Lelaki itu melakukan tindak kekekerasan terhadap sembilan orang anak.

Lalu pada awal pekan ini, PN Surabaya juga menjatuhkan vonis serupa kepada seorang pembina Pramuka.

Lelaki itu divonis bersalah melakukan tindak kekerasan seksual kepada anak didiknya.

(Vonis Kebiri Kimia Guru Pramuka Surabaya Disebut Kejati Belum Bisa Diterapkan, Tunggu Pidana Pokok)

 
 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved