Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Gus Baha : Kalau Ada Orang yang Sedikit-sedikit Tanya Dalil, Ini Cara Jitu Dari Gus Baha

KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha, sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Al Quran dari ayahnya, KH Nur S

Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
yoni Iskandar/Tribunjatim
Gus Baha bersama para muhibbin (pecintanya) serta para santri 

Penulis : Yoni Iskandar | Editor : Yoni Iskandar

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha, sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Al Quran dari ayahnya, KH Nur Salim Al-Hafidz.

Maka tidak heran apabila Gus Baha menjadi ahli tafsir Al Quran. Sehingga sangat diidolakan anak-anak muda atau yang biasa disebut kaum milenial.

Gus Baha merupakan putra dari seorang ulama pakar Al Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA yang bernama KH Nursalim al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah ini pernah didatangi Malaikat Izrail (Pencabut Nyawa).

Tokoh ulama muda Nahdlatul Ulama (NU), KH. Bahauddin Nursalim atau yang lebih akrab dipanggil Gus Baha menjelaskan, Gus Baha.

"Sekarang kalau masih miskin, Berbahagialah. Karena miskin itu mudah jadi orang dermawan. Kalau orang sudah kaya itu ribet," kata Gus Baha.

Menurut Gus Baha yang kelahiran 15 Maret 1970 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah ini tentang keloyalan seorang santri kepada gurunya atau Kiainya.

"Coba misalnya anda jadi santri saya. Tak contohkan, biasanya santri kalau sama kiainya kan loyal.

"Kamu miskin punya ayam 2. Saya minta satu boleh nggak..? Boleh.," kata Gus Baha.

Gus Bahak melanjutkan, padahal ayam itu kalau dihitung hanya 50 persen.

Baca juga: Gus Baha Didatangi Malaikat Izrail Malaikat Pencabut Nyawa, Tapi Ndak Jadi Meninggal

Baca juga: Gus Baha Ziarah Wali di Jawa Timur Bersama Keluarga, Berkahnya Malas

Baca juga: Nggak Etis Pinta Kaesang Soal Putuskan Felicia, Akui Sudah Ngomong Akhiri Asmara, Sempat Dimaki

"Terus punya uang 100 ribu. Saya minta 50 ribu, kira-kira boleh nggak..? Boleh.! Padahal itu 50 persen. Tapi kalau kamu kaya, punya uang 1 milyar. Saya minta 500 juta, boleh nggak kira-kira..? pasti berat.!

Padahal itu 50 persen. Gampang mana dermawannya orang kaya dengan orang miskin untuk beramal 50 persen? jelasn Gus Baha.

Selain Gus Baha juga mencontohkan seorang mahasiswa yang tergolong pas-pas dalam melangsungkan studinya.

"Itu mahasiswa yang masih miskin-miskin, uangnya hanya 100 ribu. Mentraktir temannya..Habis, nggak masalah. Padahal itu berarti 100 persen. Uangnya 50 ribu, diminta temannya, dikasihkan semua. Padahal itu aset satu-satunya. Tak masalah saat ini kamu miskin bisa jadi itu alasan Allah kelak memasukanmu ke Surga," jelas santri kesayangan kiai Maimoen Zubair atau Mbah Moen.

Boleh Kaya

Bahkan, Islam tidak melarang penganutnya untuk memiliki harta berlimpah. Apalagi yang bersangkutan adalah tokoh agama, sehingga keayaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebaikan.

Penegasan tersebut disampaikan KH Bahauddin Nursalim pada Haul Majemuk Masyayikh dan Keluarga Besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Banyuputih, Situbondo Jawa Timur belum lama ini.

“Kalau pakai logika fikih, harta itu fitnah. Oke, seakan-akan harta itu masalah. Tapi kalau ini (harta) dimiliki orang dzalim, maka akan menjadi masalah besar. Sehingga orang saleh juga harus menguasai harta,” katanya di hadapan sejumlah tamu undangan.

Gus Baha, menceritakan bagaimana awalnya Imam Syafi’i sangat musykil dengan gurunya yang terbilang kaya raya yakni Imam Malik. Namun pendirian sedikit demi sedikit berubah lantaran Imam Malik kaya, dan membiayai menemui orang yang juga alim yakni Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban.

Kekaguman Imam Syafii kepada ulama kaya semakin lengkap saat bertemu Muhammad Hasan Asy-Syaiban di Iraq. Karena begitu tiba di kediamannya, Imam Syafi’i kaget karena tuan rumah juga sangat kaya, bahkan saat itu ia tengah sibuk menata uang dan emas di ruang tamunya.

Saat Imam Syafi’i terlihat masih takjub, Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban langung berucap: “Anda kagum ini, anda kaget ini. Kalau kamu menyoal orang saleh kaya, ini (harta) saya kasihkan kepada orang-orang fasik biar dipakai judi, selingkuh, maksiat, dan sebagainya,” kata Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban.

Mendapat jawaban tersebut, Imam Syafi’i menjawab: “Jangan, jangan, harta ini harus tetap di tangan orang saleh. Kalau jatuh ke tangan orang fasik, bahaya.”

Menurut Gus Baha, dialog antara Imam Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban ini mengisyaratkan bahwa orang alim, orang saleh boleh bahkan harus menguasai harta. Karena jika harta dikuasai orang fasik maka akan menimbulkan mudarat dan maksiat.

“Berarti kiai boleh kaya, dan sejak saat itu ada gerakan kiai kudu sugih (harus kaya). Cuma ada yang kesampaian, ada yang tidak (kesampaian),” terang Gus Baha.

Kebolehan bahkan keharusan orang alim kaya, juga diqiyaskan kepada kekuasaan. Maka paradigmanya sama, yakni kekuasaan harus dipegang orang-orang saleh. Sebab jika kekuasaan jatuh ke tangan orang fasik, bisa menimbulkan bahaya.

Pada kesempatan tersebut, Gus Baha menjelaskan bagaimana ulama dan kiai saat ini juga cenderung mendukung calon pada pemilihan kepala daerah. Bahkan tidak sedikit kiai yang juga maju sebagai calon.

Kondisi tersebut tidak bisa dipisahkan dengan suratan sejarah yang memang ‘memaksa’ para wali dan tokoh agama Islam untuk memiliki wilayah kekuasaan politik.

“Maka banyaklah kiai menjadi bupati, dan sebagainya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Gus Baha juga mengisi kajian di Ma’had Aly pesantren setempat. Dan tampil pula KH Musleh Adnan dari Pamekasan memberikan mauidlah hasanah.

Kita ketahui soal Gus Baha, selain mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada Gus Baha untuk mondok di Rushoifah atau Yaman.

Namun Gus Baha menolaknya dan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah PP. al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

Setelah ayahnya wafat pada tahun 2005, Gus Baha' melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di pondoknya, pondok pesantren LP3IA Narukan.

Saat menjadi pengasuh di pondoknya, banyak santri yang ada di Yogyakarta merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Akhirnya para santri pergi sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Hingga pada akhirnya Gus Baha’ bersedia namun hanya satu bulan sekali.

Selain menjadi pengasuh di pondoknya dan mengisi pengajian di Yogyakarta, Gus Baha’ juga diminta untuk mengisi pengajian tafsir al-Qur'an di Bojonegoro, Jawa Timur. Adapun untuk waktunya dibagi-bagi, di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut, Gus Baha’ lakukan secara rutin sejak 2006 hingga sekarang.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved