Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Kota Batu

Nasib Pilu Petani Apel di Kota Batu, Produksi Apel Semakin Turun, Bertahan Hanya Demi Ikon Kota

Buah apel yang menjadi ikon Kota Batu, kini produksinya semakin menurun.

Penulis: Dya Ayu | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/DYA AYU
Pengunjung petik apel yang ada di Kota Batu 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Dya Ayu

TRIBUNJATIM.COM, BATU - Buah apel yang menjadi ikon Kota Batu, kini produksinya semakin menurun.

Hal itu terjadi karena semakin tahun petani apel di Kota Batu jumlahnya semakin berkurang, lantaran biaya perawatan dengan hasil yang didapat tak sebanding.

Tak mau terus merugi, para petani apel di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji yang menjadi lokasi paling banyak kebun apel di Kota Batu, satu persatu mengalih fungsi kebun apel mereka menjadi kebun sayur.

Namun tak sedikit juga petani apel yang masih mempertahankan kebun apel mereka demi mempertahankan ikon Kota Batu.

Baca juga: Tanggapan Ketua DPRD Kota Batu Soal Usulan Menaikkan Gaji Penyapu Jalan dan Pengambil Sampah

Sudarmawan salah satu petani apel Dusun Junggo Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji mengaku masih bertahan merawat pohon apel miliknya demi ikon kota.

“Demi ikon Batu, makanya beberapa petani apel disini masih bertahan. Padahal kalau bicara soal laba itu tidak ada. Biaya perawatannya lebih mahal dari pada hasilnya, apalagi setelah pandemi ini. Apel tidak ada harganya. Kami bertahan maksimal dua tahun ke depan, setelah itu kami tidak tahu lagi apakah sanggup bertahan atau tidak,” kata Sudarmawan kepada Tribun Jatim Network, Minggu (5/3/2023).

Menurut Sudarmawan, kondisi itu terjadi karena harga pupuk dan obat-obatan pertanian melambung tinggi sejak awal pandemi hingga sekarang.

Baca juga: Ancaman Longsor Hantui Kota Batu, Masyarakat Diminta Waspada saat Beraktivitas di Luar Rumah

Khususnya pupuk yang saat ini sulit didapatkan. Sedangkan pemakaian pupuk organik membuat hasil buah apel tak maksimal.

“Harga jual apel menurun, pupuk sulit, obat obatan mahal, petani sudah tidak mampu. Kalau pupuk subsidi susah carinya. Mesipun masuk kelompok tani dan punya kartu anggota, nyatanya beli pupuk subsidi dipersulit. Akhirnya beli yang bukan subsidi dan harganya tiga kali lipat,” ujarnya.

Pihaknya membeberkan, empat tahun sebelum Indonesia diterjang Pandemi Covid-19 petani apel di Kota Batu terbilang sejahtera.

Pasalnya harga apel saat itu dari petani masih stabil kisaran Rp 7 ribu perkilo, hasil panen maksimal dan harga obat-obatan tidak semahal sekarang, serta kesediaan pupuk melimpah. Sehingga banyak laba yang didapat.

Baca juga: Hujan Deras, 4 Lokasi di Kota Batu Diterjang Tanah Longsor, Pengguna Jalan Diimbau Lebih Waspada

Namun kini setelah dihantam badai covid serta cuaca ektrem, harga apel dari petani dijual ke tengkulak hanya Rp 5 ribu sampai Rp 6 ribu perkilo, ditambah hasil panen yang menurun drastis.

“Biasanya panen dapat 5 ton, setelah ada Covid dan cuaca ekstrem beberapa tahun belakangan ini paling banyak 3 kuintal. Sangat menurun. Ditambah kami tidak bisa menentukan harga karena tengkulak yang buat harga. Harga dari kita ke tengkulak itu rendah, tapi tengkulak menjual dipinggir jalan, kemudian dijual ke pengecer itu harganya sudah berkali-kali lipat. Padahal yang capek petani,” keluhnya.

Lebih lanjut pria yang akrab dipanggil Pak Dar itu mengaku, untuk menyambung hidup agar dapat menekan biaya kerugian, petani apel di daerahnya kini menanam sayur dan juga mencari aktivitas lainnya.

Sumber: Tribun Jatim
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved