Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kapan Rebo Wekasan 2023? Tradisi yang Digelar Tiap Rabu Terakhir di Bulan Safar, ini Sejarahnya

Rebo Wekasan adalah tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir di Bulan Safar dalam kalender hijriyah.

Kolase/Trihugger dan DOK TribunJatim.com
Rebo Wekasan adalah tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir di Bulan Safar dalam kalender hijriyah. 

Salah satu daerah yang menyelenggarakan tradisi Rebo Wekasan adalah Yogyakarta, tepatnya di Wonokromo, Bantul.

Tradisi dilakukan dengan membuat lemper raksasa dan dibagikan kepada masyarakat yang menghadiri acara ini.

Baca juga: Apa Itu Arti Kata Rabu Wekasan atau Rebo Wekasan? Simak Penjelasan dan Hukumnya Menurut Islam

Ilustrasi Rebo Wekasan tradisi turun-menurun masyarakat Jawa yang terjadi di hari terakhir Bulan Safar.
Ilustrasi Rebo Wekasan tradisi turun-menurun masyarakat Jawa yang terjadi di hari terakhir Bulan Safar. (Kolase/Trihugger dan DOK TribunJatim.com)

Dilansir dari laman Kemendikbud, sejarah hadirnya tradisi ini tersedia dalam beberapa versi.

Versi pertama, Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak 1784.

Saat itu, hidup tokoh bernama Mbah Faqih Usman atau yang dikenal sebagai Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit.

Masyarakat meyakini Kyai mampu mengobati penyakit dengan metode membacakan ayat Al Quran pada segelas air dan diminumkan kepada pasien.

Kemampuan Mbah Kyai Faqih semakin menyebar, hingga terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I (HB I).

Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan HB I mengutus empat prajurit untuk membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke keraton.

Ternyata, ilmu Mbah Kyai terbukti dan mendapat sanjungan.

Sepeninggal Mbah Kyai Faqih, masyarakat pun meyakini mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.

Baca juga: Berikut Bacaan Doa Tolak Bala Rebo Wekasan di Bulan Safar, Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan

Versi kedua, upacara Rebo Wekasan tak lepas dari Sultan Agung, penguasa Mataram yang dulu pernah memiliki keraton di Pleret.

Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600.

Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit.

Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk.

Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kyai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris.

Halaman
123
Sumber: Tribun Sumsel
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved