Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Nasib Anak yang Jadi Korban Pelecehan Sekeluarga, Wali Kota Surabaya : Anaknya akan Dirawat Pemkot!

Nasib Anak yang Jadi Korban Pelecehan Sekeluarga, Wali Kota Surabaya : Anaknya akan Dirawat Pemkot!

TribunJatim.com/Bobby Koloway
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerjunkan tim untuk membantu korban pelecehan seksual anak di bawah umur oleh 4 orang anggota keluarga 

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerjunkan tim untuk membantu korban pelecehan seksual anak di bawah umur oleh 4 orang anggota keluarga.

Korban selanjutnya mendapatkan penanganan psikologis dari Pemkot Surabaya.

Wali Kota Eri telah menginstruksikan Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, serta Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB) Kota Surabaya memberikan intervensi.

Diharapkan, psikologis korban tersebut dapat pulih.

"Insyaallah bisa kembali dengan kekuatan hatinya, dengan psikologisnya," kata Cak Eri di Surabaya.

Baca juga: Gadis di Surabaya Dilecehkan Ayah, Kakak dan Dua Paman, Pengakuan Pelaku Buat Polisi Kesal: Ya Beda!

Nantinya, pihaknya akan terlebih dahulu berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain.

Kalau anggota keluarga tak dapat merawat, maka Pemkot akan mengambilalih intervensi pendidikan.

Melalui program sekolah bibit unggul, anak-anak tersebut akan berada di bawah penanganan Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan.

"Anak-anak seperti ini akan kami kumpulkan, kami asramakan, dan kami sekolahkan hingga lulus," katanya.

Menurutnya, para anak yang menjadi korban kekerasan tetap memiliki masa depan.

Wali Kota mencontohkan, ada beberapa anak yang saat ini dirawat Pemkot dan berhasil mengangkat derajat keluarga.

"Ada yang sebelumnya, maaf, dijual bapaknya, sekarang sudah kuliah bahkan sudah bekerja di salah satu maskapai penerbangan. Bahkan, ada yang menjadi konsultan hukum," kata kandidat doktor Pengembangan SDM Unair ini.

Mengantisipasi kejadian tersebut terulang, Cak Eri melibatkan seluruh masyarakat untuk melakukan pengawasan bersama.

"Kami menggalakkan sosialisasi. Kami juga menyampaikan melalui RT/RW untuk sama-sama menjaga di kampung masing-masing," kata pria kelahiran Surabaya ini.

"Bagaimana pun, kekerasan terhadap perempuan dan anak, sulit juga (pengawasannya) kalau terjadi dalam rumah, dalam tempat yang tertutup," kata bapak 2 anak ini.

Pencegahan terhadap perilaku kekerasan pada anak dan perempuan menjadi fokus Pemkot Surabaya. Ini menjadi bagian dari upaya Pemkot untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) di Kota Pahlawan.

"Pembangunan (daerah) tak cukup kalau hanya fisik. Namun, bagaimana pembangunan itu juga menyangkut dengan pembangunan manusianya, termasuk soal Akhlakul Kharimah," tandas mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini.

DP3APPKB Kota Surabaya mengungkapkan sejumlah faktor bisa memicu terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di antaranya, karena masalah individual, sosial, dan hukum.

Pada faktor individual, hal ini bisa disebabkan karena lingkungan keluarga. Banyak pelaku dan korban kekerasan, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga atau masyarakat yang tidak harmonis.

"(Pelaku) menganggap kekerasan ini hal yang wajar. Tidak perlu dilaporkan, tidak perlu ditindaklanjuti, dan mereka itu tidak sadar, bahwa apa yang mereka lakukan salah dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," jata kata Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), DP3A-PPKB Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari, dikonfirmasi terpisah.

Selain itu, tidak adanya kesadaran pelaku terhadap tindakan kekerasan. Menurut dia, banyak pelaku kekerasan tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan itu menyakiti atau merugikan korban.

Selain kurangnya kesadaran, faktor individual juga bisa dipicu dari sosok pelaku yang memang memiliki karakter keras, agresif, impulsif, egois dan tidak sabaran. Di samping itu, faktor lain yang bisa menjadi penyebab adalah rantai kekerasan yang tidak terputus.

"Jadi mereka tidak selesai sebagai orang tua. Mereka (pelaku) juga (sebelumnya) dikerasi oleh orang tuanya dari dulu, secara fisik dan sebagainya," paparnya.

Kemudian faktor lain yang bisa memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah masalah sosial budaya patriarki. Thussy menjabarkan, bahwa dalam beberapa kasus, menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan inferior.

"Kesetaraan gender belum digubris dalam (kasus) itu. Nah, budaya ini melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima," bebernya.

Tak hanya itu, perkembangan teknologi juga memiliki pengaruh. Warga yang tak bijak dalam memanfaatkan gawai akan mendapatkan pengaruh negatif. "Gadget itu luar biasa pengaruhnya. Ini dapat berperan dalam memicu terjadinya kekerasan," kata dia.

Thussy menerangkan, selain faktor individual dan sosial, kurangnya kesadaran terhadap hukum, juga memicu terjadinya kasus kekerasan. "Yang tidak paham itu masyarakatnya atau pelaku. Jadi mereka tidak paham apa yang dilakukan itu ada konsekuensi hukum," jabarnya.

Dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, lingkungan keluarga berperan penting. Baik itu orang tua maupun anak, harus kembali memegang teguh ajaran agama masing-masing.

"Tidak ada agama yang mengajarkan tentang kekerasan terhadap keluarga, apakah golongan-golongan minoritas yang lemah yaitu perempuan dan anak. Kemudian faktor terbesar lain adalah ekonomi," kata dia.

Sebelumnya, Tindak pelecehan seksual kembali terjadi kepada anak di bawah umur. Kali ini menimpa siswi SMP di Tegalsari, Surabaya, Jawa Timur, yang usianya masih 12 tahun.

Korban jadi sasaran tindak asusila oleh empat orang, yang semuanya anggota keluarganya sendiri. Empat pelaku tindak asusila tersebut adalah ayah kandungnya, PE (43), kakak lelakinya, MA (14) dan dua pamannya masing-masing I (43) dan JW (49).

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved