Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Pemilu 2024

Kenapa Dirty Vote Dirilis di Masa Tenang Pemilu 2024, Sutradara Dandhy Laksono Ungkap Harapan

Film Dirty Vote dirilis oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Sutradara Dandhy Laksono mengungkapkan kenapa film Dirty Vote dirilis di masa tenang pemilu.

Editor: Torik Aqua
Youtube
Dirty Vote yang dirilis di masa tenang Pemilu 2024 

TRIBUNJATIM.COM - Film dokumenter Dirty Vote menjadi atensi di dunia maya.

Dokumenter itu membahas tentang kondisi Pemilu 2024.

Film itu dirilis oleh Koalisi Masyarakat Sipil.

Sutradara Dandhy Laksono mengungkapkan kenapa film Dirty Vote dirilis di masa tenang pemilu.

Baca juga: Arti Kata Dirty Vote, Film Dokumenter Viral Bahas Kecurangan Pemilu 2024, Disutradarai Dandhy Dwi

Dirty Vote diketahui tayang mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan akan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal Youtube.

Ia menyebut, karya besutannya akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu.

Diharapkan di tiga hari krusial menuju hari H pencoblosan, film ini memberikan edukasi kepada publik melalui ruang dan forum diskusi yang digelar.

"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara." ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (12/2/2024).

Dandhy mengungkap, berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.

Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira mengatakan, dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil.

Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.

“Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.

20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.

Film ini dibintangi oleh Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Dalam film ini ketiganya mencoba mengulik sejumlah instrumen kekuasaan yang digunakan untuk memenangkan pemilu sekalipun menabrak tatanan demokrasi.

Koalisi masyarakat sipil mengatakan, penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.

Tentang Dirty Vote

Film dokumenter Dirty Vote kini disorot habis-habisan.

Film dokumenter ini diunggah di masa tenang, menjelang Pemilu 2024.

Film ini dirilis koalisi masyarakat sipil, mengupas desain kecurangan pemilu.

Sutradaranya adalah Dandhy Dwi Laksono.

Melansir dari Tribunnews, ini merupakan film keempat yang disutradarainya, mengambil momentum pemilu.

Pada 2014, Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film “Ketujuh”, masa itu di mana kehadiran Jokowi dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru.

Pada 2017, Dandhy menyutradarai “Jakarta Unfair” tak berapa lama menjelang Pilkada DKI Jakarta.

Dua tahun kemudian, film "Sexy Killers" tembus 20 juta penonton di masa tenang Pemilu 2019.

"Sexy Killers" membongkar jaringan oligarki bercokol pada kedua pasangan calon yang berlaga saat itu, Jokowi-Ma'ruf Amin versus Prabowo-Hatta.

Dokumenter berjudul “Dirty Vote” tayang pada Minggu (11/2/2024), mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal YouTube.

Baca juga: Masih Ada APK yang Belum Dicopot saat Masa Tenang di Ponorogo, Ini Tanggapan Bawaslu

"Dirty Vote" persisnya dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini.

Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu, sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo.

Penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data.

Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.

Sederhananya menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

Bercerita tentang dua hal.

Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung.

Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi.

Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan.

"Karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” kata Bivitri dalam keterangannya, Minggu (11/2/2024).

Bivitri mengingatkan, sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini.

Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?

“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” katanya.

Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari.

Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta Tanah Air.

Baca juga: Deretan Hal Boleh dan Tak Boleh Dilakukan dalam Masa Tenang Pemilu 2024, Simak Tahapan Proses Pemilu

Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.

"Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.

Sementara itu, menurut Dandhy sang sutradara, Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu.

Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar.

"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," ungkapnya.

Berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.

Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira, mengatakan dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil.

Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.

"Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” katanya.

20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.

Di sisi lain, Tim Kampanye Nasional (TKN) Capres dan Cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka angkat bicara soal dokumenter Dirty Vote

Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman menyebut, jika film tersebut justru mengutamakan narasi kebencian dan tuduhan yang disampaikan tidak ilmiah.

TKN menanggapi sebagai berikut.

"Bahwa di negara demokrasi semua orang memang bebas menyampaikan pendapat. Namun, perlu kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang bernada asumtif, dan sangat tidak ilmiah," kata Habiburokhman di Media Center TKN, Jakarta Selatan, Minggu (11/2/2024), melansir dari WartaKota.

Habiburokhman pun turut  mempertanyakan kapasitas tokoh yang terlibat dalam film tersebut. 

"Dan saya kok merasa sepertinya ada tendensi, keinginan untuk mensabotase pemilu. Bukan mensabotaselah, ingin mendegradasi pemilu ini, dengan narasi yang yang sangat tidak mendasar," ujar Habiburokhman. 

Selain itu, Habiburokhman juga menyampaikan, jika film ini sengaja dirilis di hari masa tenang pemilu.

"Ya karena cara-cara yang fair untuk bertarung secara elektoral sudah tidak mampu lagi mereka lakukan," imbuhnya

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com 

Berita Artis dan Berita Jatim lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di GoogleNews TribunJatim.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved