Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Tradisi Megengan Jelang Bulan Ramadan untuk Kedamaian Bangsa

Adat Megengan, berasal dari kata “meng-agung-kan” bulan yang dianggap paling suci, keramat dan penuh berkah

Penulis: Samsul Arifin | Editor: Samsul Arifin
Istimewa/TribunJatim.com
Melaksanakan tradisi megengan, PCNU Kota Surabaya, menyelenggarakan doa bersama, Sabtu, (9/3/2024). 

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Waktu sebulan yang paling ditunggu, akan segera datang. Bulan Ramadhan, sudah di depan mata.

Walau permulaan pelaksanaan puasa, bisa berbeda.

Tetapi di ujung akhir, Idul Fitri, bisa dirayakan pada hari yang sama. Berbeda namun tetap khidmat.

Menjadi bentuk demokrasi dalam agama, tetap dalam koridor tasamuh (saling menghargai). Yang penting, tetap melaksanakan puasa.

Serta berbahagia menyambut bulan Ramadhan dengan menggencarkan ke-dermawan-an sosial. 

Baca juga: Gelar Tradisi Megengan di Grahadi, Pj Gubernur Adhy Ajak Saling Memaafkan Jelang Ramadan

“Menjelang Ramadhan terdapat tradisi yang bersendi syara’ menjadi perintah agama untuk melaksanakan megengan, mempersiapkan mental menyambut Ramadhan,” kata Rois Syuriyah PCNU Kota Surabaya, KH Ahmad Zul Hilmy.

Berbagai adat budaya, antara lain Grebek Syuro, Grebek Mulud, serta Megengan, menjadi penyambung silaturahim antar-rakyat, dan dengan Kesultanan (pejabat, dan aparat negara).  

Adat Megengan, berasal dari kata “meng-agung-kan” bulan yang dianggap paling suci, keramat dan penuh berkah.

Megengan hanya terjadi selama kira-kira tiga hari penghujung bulan Jawa Ruwah (kalender Arab bulan Sya’ban) menjelang Ramadhan.

Dimaksudkan sebagai bulan arwah. Sehingga pada saat megengan, warga muslim Indonesia dari berbagai suku, akan mendatangi kuburan leluhurnya.  

Berdasar ajaran ulama-ulama salaf (terdahulu), diyakini, menjelang Ramadhan, seluruh arwah memperoleh “rehat” alam kubur dan boleh “pulang” menjenguk keluarganya yang masih hidup.

Karena itu yang masih hidup mestilah menjemput. Dalam tataran fiqih, megengan dipakai sebagai tanda kesiapan mental menyambut Ramadhan. Yakni sikap positif berupa suka sedekah. 

“Karena itu menjelang bulan puasa, dibuat hidangan untuk tetangga. Ater-ater hidangan berupa kue tradisional dan buah (kadang dengan nasi dan lauk-pauk sebagaimana kendurian), diantar ke tetangga terdekat,” jelas kyai Zul Hilmy, yang juga Imam utama masjid Agung Sunan Ampel Surabaya.

Pada zaman teknologi komunikasi saat ini, megengan juga disertai pesan pada akun WhatsApp, facebook, dan twitter. Juga berbagai posting di media sosial lain, termasuk youtube, dan TikTok. 

Isi pesan umumnya permohonan maaf kepada kerabat dan sahabat. Serta meng-ingatkan berbuat baik (ke-salehan sosial), saling tolong menolong. Maka gema Ramadhan diagungkan bersama seluruh rakyat. Termasuk di-ikuti masyarakat non-muslim. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved