Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Antisipasi Dampak Rupiah Loyo, ini 7 Poin Rekomendasi Ketua Banggar DPR RI untuk Pemerintah

Kecenderungan rupiah loyo disebabkan situasi eksternal dan internal.  Belakangan investor menarik diri, khususnya dalam perannya sebagai buyer di SBN

Editor: Sudarma Adi
ISTIMEWA
Ketua Banggar DPR RI sekaligus Ketua DPD PDIP Jatim, Said Abdullah 

TRIBUNJATIM.COM, JAKARTA - Sejak The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat memberlakukan suku bunga tinggi, sebagai respon atas inflasi tinggi akibat kenaikan harga komoditas global, karena pecahnya Perang Rusia dan Ukraina, sejumlah mata uang lokal mengalami tekanan hebat, seperti Lira hingga Rupiah, semuanya terjerembab.

Years to date, Rupiah di level Rp. 15.317 - 16.483/ US Dolar. Dibandingkan dengan tahun lalu, posisi rupiah malah minus 5,25 persen.

Kecenderungan rupiah loyo disebabkan situasi eksternal dan internal.  Belakangan investor menarik diri, khususnya dalam perannya sebagai buyer di Surat Berharga Negara (SBN).

Investor asing melepas SBN sejak pandemi Covid-19.

Pada tahun 2019, porsi asing dalam SBN sebanyak 38,5 persen, setahun kemudian tinggal 25,1 persen, dan akhir Mei 2024 tersisa 14 persen. Perginya investor asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan US Dolar (USD) juga kian menurun.

Baca juga: Minta Pemerintah Jelaskan Konteks Bansos Jelang Pemilu 2024, Ketua Banggar DPR Beri 5 Saran ini

Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menilai, penyebab lainnya, dimana harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara, dan CPO pada tahun 2023 dan 2024 tidak setinggi tahun 2022.

"Sejak pertengahan tahun 2023 hingga kini harga batubara hanya dikisaran 120 an USD/ ton, padahal awal kuartai II 2022 hingga kuartail I 2023 harga batubara dilevel 400 USD/ton," terangnya, Selasa (18/6/2024).

Demikian halnya dengan harga CPO yang tidak se cuan tahun 2022. Harga CPO di tahun 2022 dilevel 4.200-4.400 Ringgit/ton, sedangkan kini hanya 3.800-3.900 Ringgit/ton.

Menurunnya dua komoditas andalan Indonesia ini tidak membuat dompet devisa negara tebal.

Di saat yang sama, pemerintah malah membuka kran impor. Besarnya arus impor ini membuat arus USD makin pergi. Bukan hanya rupiah yang terpukul karena meluaskan kran impor, sejumlah industri dalam negeri seperti tekstil malah gulung tikar dan merumahkan karyawannya.

Dari sisi eksternal, perekonomian Amerika Serikat (AS) perlahan lahan makin membaik sejak badai inflasi ditahun 2022. Penguatan perekonomian AS ini membuat investor memilih meninggalkan Indonesia, akibatnya tiada pundi pundi devisa baru.

'Akibat situasi diatas, tahun lalu saja current account Indonesia defisit 1,6 USD Billion. Bahkan food trade deficit Indonesia pada tahun 2023 menyentuh 5,3 USD Billion, angka tertinggi selama republik ini berdiri," tutur pria yang juga Ketua DPD PDIP Jatim ini.

Baca juga: Subsidi Energi Naik, Banggar DPR Setujui APBN 2022 Direvisi Jadi Rp 3.106 Triliun

Untuk itu dia mengurai, hendaknya juga jangan terlena dengan data inflasi rendah di level 3 persen.

Sebab inflasi rendah semata mata tidak bisa dibaca sebagai terkendalinya harga kebutuhan pokok rakyat. Jika disandingkan dengan sejumlah data lainnya seperti berlanjutnya keputusan sejumlah industri merumahkan karyawan, tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 dan berjalan 2024 tidak setinggi tahun 2022.

Survei tingkat penjualan eceran jenis sandang oleh BI sejak pandemi di tahun 2020 sampai sekarang belum pulih masih di level 51,8 – 57, sedangkan periode sebelum pandemi di kisaran  150 – 240. Data ini memperlihatkan, daya beli rakyat sedang tidak baik baik saja.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved