Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Tak Lagi Ngotot, Menteri PKP Batalkan Program Rumah Subsidi 14 Meter usai Banyak Respons Negatif

Setelah menuai banjir kritik dari publik, akhirnya ia membatalkan rencana program rumah subsidi 18 meter.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra - Kementerian PKP
RENCANA RUMAH SUBSIDI AKHIRNYA DICABUT - Menteri Perumahan Rakyat RI, Maruarar Sirait alias Ara, saat rapat dengan Komisi V DPR RI, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025). Ia menyatakan permohonan maaf dan mencabut ide program rumah subsidi yang diperkecil alias minimalis. 

TRIBUNJATIM.COM - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, sempat ngotot merealisasikan program rumah subsidi mini berukuran 14 dan 24 meter persegi.

Meskipun telah ditentang banyak pihak, ia selalu keukeuh dengan idenya tersebut dan merasa percaya diri.

Setelah menuai banjir kritik dari publik, akhirnya ia membatalkan rencana program rumah subsidi.

Baca juga: Sosok Andini Permata Muncul dalam Video Durasi 2 Menit 31 Detik Bareng Bocil, Publik Diminta Waspada

Ya, Maruarar Sirait kini berbalik badan dan minta maaf setelah arus penolakan tak kunjung surut.

Dia berdalih, keputusan pembatalan program ini diambil setelah mendapatkan masukan dari warga.

Menurut dia, masukan dari publik atas program tersebut cenderung negatif.

"Nah, kenapa saya kasih draft? Untuk mendapatkan respons masyarakat," kata Ara kepada awak media di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025) lalu.

"Ya, kalau saya melihat respons masyarakatnya tidak baik, dari DPR juga sudah mengingatkan, masak saya jalan terus sih? Berarti kan saya tidak mendengarkan," imbuhnya.

Ara juga menyatakan, beberapa gambaran yang selama ini beredar perihal rumah subsidi mini tersebut masih sebatas draft.

Kata dia, draft tersebut masih dikaji hingga saat ini, seraya menunggu tanggapan atau respons dari publik.

"Namanya draft itu kita sampaikan ke publik, untuk mendapatkan respons," kata dia, dikutip dari Tribunnews.com.

"Nah, responsnya menurut saya, banyak yang negatif. Jadi ya saya, sportif saya batalkan. Jadi, saya harus begitu," tuturnya.

Atas banyaknya masukan negatif cenderung penolakan tersebut, akhirnya Menteri Ara memutuskan untuk membatalkan rencana proyek.

Terkini, Menteri Ara telah menyampaikan permohonan maaf di hadapan Pimpinan Komisi V DPR RI atas ide rumah subsidi mini tersebut.

RUMAH SUBSIDI - Mock up rumah subsidi yang diluncurkan oleh Lippo Group.
Mock up rumah subsidi yang diluncurkan oleh Lippo Group. (KOMPAS.com/Aisyah Sekar Ayu Maharani)

"Jadi saya pikir, itu cara saya. Untuk bagaimana meyakinkan, ini kebijakan perlu dijalankan enggak. Jadi, itu batal, titik," kata dia.

"Kenapa? Karena saya mendengarkan masukan dari DPR, dan komponen masyarakat, dan berbagai kalangan, bahwa itu dinilai tidak layak. Kesehatan dan sebagainya. Ya saya harus batalkan," ucap Ara.

Ara pun secara langsung menyampaikan permohonan maaf saat rapat kerja (raker) dengan Komisi V DPR RI.

"Terima kasih Pak atas kesempatannya. Hari ini kami pertama menyampaikan permohonan maaf saya punya ide dan mungkin yang kurang tepat, tapi tujuannya mungkin cukup baik."

"Tapi mungkin kami juga masih belajar bahwa ide ide di ranah publik harus lebih baik lagi soal rumah subsidi yang diperkecil," kata Ara dalam rapat Komisi V DPR RI.

Ia menyatakan, sejatinya ide tersebut sederhana, yakni untuk mewujudkan keinginan masyarakat, khususnya kaum muda, dalam upaya memiliki rumah sendiri di kota.

Ide ini muncul lantaran saat ini harga rumah dan tanah di kota terlebih di Jakarta, sudah terlampau mahal.

Sehingga yang memungkinkan adalah memperkecil ukuran rumahnya.

"Jadi tujuannya sebenarnya sederhana karena kami mendengar banyak sekali anak muda yang ingin sekali tinggal di kota, tapi kalau tanahnya di kota mahal, kalau mau diperkecil," ucap Ara.

Namun, idenya tersebut justru mendapatkan masukan dan kritik dari berbagai pihak, termasuk dari Komisi V DPR RI.

Alhasil, kata Ara, dirinya secara terbuka menyatakan bakal mencabut ide tersebut seraya melayangkan permohonan maaf kepada publik.

"Tapi saya sudah mendengar begitu banyak masukan termasuk dari teman-teman anggota DPR Komisi V, maka saya sampaikan secara terbuka menyampaikan permohonan maaf dan saya cabut itu ide itu. Ya terima kasih," tukas Ara.

Baca juga: Pantas Gaji RT Tak Dibayar, Cara Curang Bendahara 3 Kali Korupsi Dana Desa hingga Rp406 Juta Terkuak

Sebelumnya, kritik datang dari Real Estate Indonesia (REI) Komisariat Solo Raya atas rencana pemerintah soal rumah subsidi 18 meter persegi.

Hal itu disampaikan Ketua REI Komisariat Solo Raya, Oma Nuryanto, yang menyebut jika rumah subsidi 18 meter tak manusiawi.

Ia mengungkapkan, wacana lahan minimal rumah subsidi 18 meter persegi merupakan hal yang tidak manusiawi.

Oma menyebut, lahan minimal saat ini 60 meter persegi sudah ideal.

"Pada prinsipnya itu tidak memanusiakan orang. 18 meter persegi kamar berapa, parkir mobil bagaimana, kamar mandi, ruang tamu," ungkapnya saat dihubungi Tribun Solo, Minggu (15/6/2025).

Keterbatasan lahan menjadi salah satu alasan munculnya wacana ini.

Terutama bagi wilayah-wilayah kota besar yang makin sulit menemukan lahan dengan harga terjangkau.

"Ya memang baru wacana. Bagi yang di perkotaan di kota besar arahnya usulan dari teman-teman pengembang di kota besar," jelasnya.

RUMAH SUBSIDI VIRAL - Potret rencana rumah yang sedang disiapkan oleh Kementerian PKP untuk diluncurkan kepada masyarakat. Rumah tersebut menjadi perbincangan karena dirasa sangat sempit dan tidak layak huni.
Potret rencana rumah subsidi yang sedang disiapkan oleh Kementerian PKP untuk diluncurkan kepada masyarakat. Rumah tersebut menjadi perbincangan karena dirasa sangat sempit dan tidak layak huni. (Website Kementerian PKP)

Menurutnya, luas lahan rumah subsidi 60 meter persegi sudah ideal.

Rumah yang bisa dibangun di atas lahan tersebut mulai 21-36 meter persegi.

"Paling enggak 60 meter persegi. Itu udah dapat 2 kamar tidur, satu kamar tamu, ruang jemur, dapur, kamar mandi," paparnya.

"18 meter persegi saya enggak bisa bayangkan," tutur Oma.

Di samping itu, dengan aturan yang berlaku sekarang, mencari lahan yang terjangkau masih bisa dilakukan di sekitar Solo Raya.

Hanya saja, lahan yang terjangkau bisa didapat di pinggiran yang cukup jauh dari pusat kota.

"Memang betul harga tanah naik. Cuma kalau agak yang pinggir masih dapat."

"Kalau yang tengah kota enggak mungkin. Kalau ketersediaan unit enggak masalah," jelasnya.

Baca juga: Gubernur Beri Rp20 Juta ke Bocah Pacu Jalur, Atlet Kecewa Bonus Rp75 Juta Tak Cair dari Tahun Lalu

Meski begitu, ia mengakui daya beli masyarakat yang terus tertekan.

Harga rumah subsidi di Jawa Tengah saat ini Rp166 juta dengan angsuran sekitar Rp1 juta.

Sementara itu, Upah Minimum Kota (UMK) Solo hanya sekitar Rp2,4 juta.

Dengan beban angsuran sebesar itu, maka rumah subsidi masih sulit dijangkau warga Solo Raya.

"Daya beli memang semua merasakan. Daya belinya memang tertekan pada umumnya," jelas Oma.

Berdasarkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 harga jual rumah subsidi di Jawa Tengah, kecuali Jabodetabek seharga Rp166 juta.

Para pengembang pun makin banyak yang mencari lahan di daerah pinggiran yang makin jauh dari pusat kota.

"Agak menepi karena dipatok Rp166 juta, harus cari lahan yang terjangkau. Kalau tepi kota secara harga tidak klop," ungkap Oma.

Ia menyebut, sejumlah wilayah banyak dibangun rumah subsidi di Solo Raya.

Di antaranya Kecamatan Makamhaji dekat Pasar Jongke, sekitar Waduk Lalung Karanganyar, dan sekitar Waduk Cengklik hingga Bandara Adi Soemarmo Ngemplak, Boyolali.

"Hampir semua merata di Sukoharjo daerah Pasar Jongke, Boyolali Bandara, Waduk Cengklik, Karanganyar Waduk Lalung," jelasnya.

Menurutnya, hunian vertikal belum menjadi pilihan karena jarak antara daerah penyangga dengan pusat kota tak begitu jauh.

"Kalau vertikal di kota besar Jakarta, Surabaya. Kalau di Solo Raya pada umumnya belum."

"Karena memang jaraknya Solo bukan kota yang terlalu besar. Enggak kaya Jakarta. Belum (urgent) di sekitar Solo," tuturnya.

Menurutnya, ongkos untuk mengembangkan hunian vertikal di pusat kota terlalu tinggi jika dibandingkan dengan rumah tapak di pinggiran.

"Kalau vertikal, karena lahan di Solo Raya masih luas dan di tepi masih murah, vertikal jatuhnya lebih tinggi."

"Kecuali di kota-kota besar. Kalau beli lahan di kota dengan vertikal sama beli lahan (rumah tapak) di tepi, jatuhnya masih rumah di tepi."

"Karena relatif tanah masih terjangkau," kata Oma.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved