Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Dampak Putusan MK yang Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah terhadap Peta Politik di Sidoarjo

Komisioner KPU Sidoarjo, Bawaslu Sidoarjo, dan pengamat politik. Mereka menilai putusan ini sebagai langkah besar yang akan ubah peta politik lokal.

Penulis: M Taufik | Editor: Dwi Prastika
Tribun Jatim Network/M Taufik
DISKUSI – Suasana diskusi publik yang digelar di Balai Wartawan Sidoarjo, Senin (14/7/2025) malam. Pengamat politik, Komisioner KPU, Bawaslu, mahasiswa, aktivis, seniman, dan wartawan hadir dalam acara yang membahas tentang potensi dampak putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. 

"UU pasal 24, MK mengadili tingkat pertama dan terakhir. Pada putusan MK no 136 itu, 9 hakim MK putusan 135 semua setuju. Ada pemisahan pemilu nasional dan lokal. Nasional 2029 dan daerah 2031. Secara UU periodik 5 tahun pemilu, sehingga ada bonus 2 tahun. KPU itu lembaga hierarkis, sehingga harus manut apa kebijakan nasional," tegasnya.

Dia juga mengungkit sejarah tentang masa jeda itu.

Di Indonesia, bukan pertama kali ada jeda penyelenggaraan pemilu.

Sebelumnya juga pernah. Sehingga diyakini pelaksanaannya bakal tetap berjalan baik. Utamanya di Sidoarjo, yang sejarahnya mencatat tidak pernah ada kerusuhan atau sebagainya dalam pelaksanaan pemilu.

“Pemilu di Sidoarjo selalu panas dan seru. Tapi tidak pernah sampai terjadi kerusuhan atau hal-hal berlebihan lainnya. Saya yakin, ke depan juga kita semua akan terus dan tetap bisa menjaga itu,” ujarnya.

Nada lebih kritis datang dari Ketua Bawaslu Sidoarjo, Agung Nugraha, yang melihat potensi keuntungan politik bagi partai besar dalam sistem pemilu yang dipisah ini.

Ia menyebut struktur partai, netralitas birokrasi, dan lemahnya bangunan partai sebagai persoalan serius dalam demokrasi lokal saat ini.

"Saat dipisah, 3 partai besar diuntungkan, partai yang memiliki struktur dan landasan yang kuat. Evaluasi Pemilu 2024 menunjukkan netralitas birokrasi masih bermasalah. Praktik cawe-cawe terbukti destruktif dan rawan disintegrasi. Setelah pilkada langsung diberlakukan, terbukti kemenangan kepala daerah berdampak pada naiknya suara partai di pemilu berikutnya," jelas Agung.

Dia menyoroti celah pengawasan yang melemah dan potensi konflik kepentingan yang belum disentuh dalam revisi undang-undang politik. Yang menurutnya, hal itu perlu menjadi perhatian banyak kalangan.

"Putusan MK soal jadwal pilkada membuat pengawasan lebih longgar dan menghapus wacana ad-hoc. Tapi konflik partai dan UU Parpol belum tersentuh dalam paket UU politik. Masalah pilkada bukan sekadar biaya mahal, tapi lemahnya bangunan partai. Idealnya, ekosistem produksi warga menyatu dengan ekosistem politik. Di beberapa desa, suara partai stabil karena ketua koperasi juga kader partai. Ini bukti bahwa basis ekonomi bisa menopang kekuatan politik," kata dia.

Kekhawatiran masyarakat pun tak bisa diabaikan.

Mereka menilai pemisahan pemilu ini memberi celah bagi partai pemenang pemilu nasional untuk mengatur strategi politik di daerah, termasuk dalam penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah oleh Mendagri yang dinilai rawan digunakan untuk kepentingan elektoral calon tertentu.

Dengan keputusan MK ini, demokrasi Indonesia tengah memasuki babak baru, lebih terstruktur, tapi juga penuh tantangan tersembunyi.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved