Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Sound Horeg

Jauh sebelum Fatwa MUI, Ponpes di Jombang ini Sudah Nyatakan Sound Horeg Haram Lebih Dulu

Fenomena Sound Horeg yang awalnya sekadar hiburan kini memicu perdebatan luas di tengah masyarakat, khususnya di kalangan pesantren dan ulama. 

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/ANGGIT PUJIE WIDODO
FATWA HARAM SOUND HOREG - Kegiatan masyarakat yang menghadirkan seni Sound Horeg di Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada Minggu (6/7/2025). Pondok di Jombang sudah menyatakan haram untuk Sound Horeg.  

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Anggit Pujie Widodo

TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Fenomena Sound Horeg yang awalnya sekadar hiburan kini memicu perdebatan luas di tengah masyarakat, khususnya di kalangan pesantren dan ulama. 

Berawal dari kekhawatiran akan dampak kesehatan dan sosial, sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur mulai angkat suara bahkan menjatuhkan fatwa haram terhadap praktik ini.

Yang menarik, Ponpes Mambaul Ma’arif Denanyar di Jombang ternyata telah lebih dulu menyuarakan keprihatinan ini jauh sebelum fatwa serupa dikeluarkan oleh Ponpes Besuk, Pasuruan. 

Dalam forum Bahtsul Masa’il Kubro ke-5 Asrama An-Najah, pada 17 November 2024, para kiai secara tegas memutuskan bahwa penggunaan sound horeg adalah haram, bukan hanya karena bising, melainkan karena membahayakan masyarakat secara langsung.

Baca juga: Pemkab Jombang Membangun dari Hulu, Air Bersih, Sekolah Hijau dan Jaminan Sosial Jadi Fokus Utama

“Volume yang melampaui batas wajar, itulah yang disebut sound horeg. Kalau masih dalam ambang batas, itu bukan horeg, hanya sound system biasa,” ucap Kiai Thohari Muslim, salah satu Dewan Mushohih forum tersebut dalam keterangan yang diterima pada Rabu (16/7/2025). 

Lebih dari sekadar persoalan selera musik atau gaya hidup, sound horeg dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip kesehatan masyarakat. Menurut Kiai Thohari, ini bukan sekadar soal suara keras, tapi sudah masuk ke ranah mafsadah atau kerusakan yang nyata.

“Yang aneh, justru pemerintah memberi izin terhadap kegiatan yang jelas-jelas melanggar batas kebisingan yang telah ditentukan. Padahal, regulasi soal ini sudah sangat jelas,” lanjutnya.

Memang, regulasi tentang batas kebisingan bukan hal baru. Permen LH No. 48 Tahun 1996 telah menetapkan batas ambang kebisingan berdasarkan zona kegiatan, seperti 55 desibel untuk lingkungan pemukiman, 70 desibel untuk kawasan industri dan rekreasi, dan 55 desibel untuk tempat ibadah serta sekolah. 

Bahkan WHO menyarankan batas aman konser tidak lebih dari 100 desibel. Namun faktanya, sound horeg bisa mencapai angka ekstrem, yakni 135 desibel setara suara jet lepas landas.

Baca juga: Komplotan Maling Berjumlah 6 Orang Terekam CCTV, Gasak Sepeda Motor Pegawai Minimarket di Jombang

Di sejumlah daerah, sound horeg bahkan menjadi simbol gaya hidup baru dalam pesta pernikahan atau hajatan rakyat. 

Namun suara berlebihan ini bukannya mempererat sosialitas, justru menimbulkan friksi. Banyak warga mengeluhkan gangguan tidur, anak kecil yang rewel, hingga orang lanjut usia yang terganggu kesehatannya.

“Awalnya saya kira cuma hiburan, tapi setelah beberapa kali terganggu tidur dan anak saya jadi susah belajar, baru sadar ini bukan soal hiburan semata,” ujar Nia, warga Jombang.

Dukungan fatwa haram dari MUI Jawa Timur memperkuat suara pesantren-pesantren yang menginginkan pembatasan terhadap penggunaan sound horeg

Namun fatwa hanyalah satu langkah. Penertiban harus dilakukan melalui sinergi antara masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah.

“Fatwa ini bukan untuk mematikan tradisi hiburan, tapi untuk menyelamatkan nalar sehat dan hak masyarakat atas lingkungan yang nyaman,” pungkas Kiai Thohari. 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved