"Selama perempuan tersebut mau, maka nantinya orang lain yang akan menilai kalau kita mampu. Buktikan kalau apa yang orang lain prediksikan tentang kita tidak bisa itu terbalik. Kita available dan capable. Saya cinta bidang ini dan tidak tahu kapan akan berhenti, meski saat ini status saya adalah istri dan ibu dari dua anak. Jangan sampai pernikahan merontokkan karier sebagai jurnalis," papar Adek.
Lastri Berry Wijaya atau Adek Berry adalah seorang jurnalis dan telah menekuni dunia foto jurnalistik lebih dari 23 tahun, termasuk liputan perang di Afghanistan dan konflik di Timor Leste.
Saat ini ia bekerja sebagai fotografer kantor berita AFP yang berbasis di Jakarta.
Baca juga: Eko Yuli Irawan The Movie: Gembala Kambing ke Olimpiade, Menembus Batas dan Menjaga Mimpi Jadi Juara
Kemudian, Fadriah, seniman dari Ternate yang selalu mengedepankan perempuan dan hak minoritas dalam karyanya mengungkapkan Break The Bias berarti mewujudkan persamaan hak bagi siapa saja tanpa terkecuali.
Fadriah adalah seorang pelukis wanita asal Ternate yang juga pendiri Lembaga Seni Kampong Warna dan Magazine Art Space di Ternate, Maluku Utara.
Saat ini ia sedang bergeliat mengembangkan kegiatan kesenian, khususnya seni rupa sebagai sarana edukasi masyarakat secara swadaya.
"Cara saya untuk melawan orang-orang yang menganggap remeh seni di Ternate adalah dengan pendidikan. Pengalaman secara formal bisa membuktikan bahwa perempuan mampu berkarya di dunia kesenian," ujar Fadriah.
Baca juga: Virtual American Film Showcase 2021 Dibuka Hari Ini, Izzy Chan Berbagi Proses Kreatif The Big Flip
Sesama Perempuan Saling Mendukung, Bukan Menjatuhkan
Menurut Maria Anityasari, Director of Global Partnership dan dosen jurusan Teknik Sistem dan Industri di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Break The Bias merupakan upaya untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat dan seluruh perempuan Indonesia bahwa perempuan punya kesempatan yang sama untuk belajar di bidang sains dan teknologi.
"Kita sesama perempuan harus saling mendukung dan bukan menjatuhkan. Misalnya ada perempuan yang masuk jurusan STEM, kita dukung. Di era Revolusi Industri 4.0 ini, kesempatan bagi perempuan justru terbuka lebar. Perempuan sangat punya potensi, karena mereka detail dan multitasking. Dengan adanya teknologi, Work From Home (WFH) menjado mungkin. Maka dari itu, perempuan harus percaya diri karena perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama," jelas Maria.
Maria Anityasari menuntaskan pendidikan sarjana Teknik Industri ITS di tahun 1994. Ia melanjutkan S2 dan S3-nya di School of Mechanical and Manufacturing Engineering, University of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia.
Baca juga: Diskusi Film Walk Run Cha-Cha Jadi Penutup Virtual American Film Showcase 2021, Intip Foto-fotonya
Bekerja di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) memberikan kesempatan bagi Maria untuk terlibat dalam berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintahan.
Selama lebih dari 5 tahun, ia berkesempatan menjadi Tim Ahli Program Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sejak tahun 2012 hingga saat ini ia diberi kepercayaan sebagai Direktur Kemitraan Global ITS, di mana ia telah banyak menginisiasi berbagai program terobosan termasuk penciptaan peluang untuk peningkatan kompetensi global mahasiswa.
Menariknya, pada bincang virtual Break The Bias, Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik memaparkan pendapatnya soal konsep kesetaraan untuk perempuan.
"Perempuan itu setara dan punya kesempatan yang sama tapi tanpa mengecilkan laki-laki. Penghargaan yang kita capai bukan karena gender, but because we earned it. Kita harus saling menghormati perempuan dan menempatkan laki-laki di tempat yang berharga," papar Founder & Creative Director of NILUH DJELANTIK - BALI.
(TribunJatim.com/Ficca Ayu Saraswaty)