Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Gaji Pegawai non-ASN Pemkot Surabaya Turun, Pilih Tak Protes Takut Massa Kerja Tak Diperpanjang

Sejumlah perwakilan pegawai non-ASN di Surabaya mendatangi DPRD Surabaya, Jumat (4/3/2023). Mereka menyampaikan tiga tuntutan kepada DPRD terkait kepa

|
Tribunnews.com
Ilustrasi Gaji dalam artikel Gaji Pegawai non-ASN Pemkot Surabaya Turun, Pilih Tak Protes Takut Massa Kerja Tak Diperpanjang 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Koloway

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Sejumlah perwakilan pegawai non-ASN di Surabaya mendatangi DPRD Surabaya, Jumat (4/3/2023). Mereka menyampaikan tiga tuntutan kepada DPRD terkait kepastian nasib mereka.

Pertama, mereka meminta Dewan mendorong Pemkot Surabaya membatalkan kebijakan penyesuaian gaji non-ASN. Sejak berlaku awal tahun ini, gaji pegawai turun cukup dalam.

"Bagaimana mungkin, disaat APBD Surabaya naik justru gaji kami diturunkan? Kami meminta pertolongan kepada DPRD," kata perwakilan pegawai di Surabaya, Eko Mardiono ditemui di sela aksi tersebut.

Mereka mengingatkan, jumlah pegawai non-ASN di Surabaya cukup besar, 24 ribu orang. Mereka memiliki kontribusi besar dalam pelayanan kepada masyarakat.

Penyesuaian gaji pegawai non-ASN di Surabaya yang berlaku awal tahun ini didasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PKM.02/2022 tentang standar biaya masukan tahun anggaran 2023.

Aturan ini mengatur gaji sopir dan satpam yang bekerja di instansi pemerintah di daerah Jawa Timur dengan besaran honor Rp4.135.000 per bulan.

Baca juga: Kabar Gembira, Buruh Pabrik Rokok Apache di Blitar yang Terdampak PHK Tahun Lalu Masih Dapat BLT

Baca juga: Besar Gaji Sebenarnya Pegawai Pajak Kemenkeu, Wajarkah Hidup Mewah? Pengamat Ulas Nasib Para Anak

Sedangkan untuk petugas kebersihan dan pramubakti Rp3.759.000 per bulan. Besaran tersebut jauh berada di bawah besaran UMK Surabaya tahun 2022 (Rp4.525.479).

Tak hanya beberapa pegawai tersebut, sejumlah bidang pekerjaan lain ikut turun. Misalnya, pegawai administrasi sekolah, TU, hingga sejumlah pegawai lainnya.

Untuk pegawai TU misalnya, gaji turun sekitar Rp300 ribu. "Rp300 ribu itu bisa membeli beras untuk satu bulan per keluarga," katanya.

Selain itu, pria yang juga Ketua Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) Jawa Timur ini juga mempertanyakan dasar klasifikasi pemberian gaji tersebut.

"Berdasarkan lama bekerja, kualifikasi ijazah, atau beban kerja? Selama ini tak jelas," katanya.

Baca juga: Tanggapan Ketua DPRD Kota Batu Soal Usulan Menaikkan Gaji Penyapu Jalan dan Pengambil Sampah

"Misalnya, petugas kebersihan dan pegawai keamanan. Apakah yang menjadi dasar sehingga selisihnya sejauh itu? Minimal dibuat sama lah," tegasnya.

Apabila tuntutan pertama tersebut tak bisa dipenuhi, maka pihaknya mengajukan tuntutan kedua. DPRD diminta mendorong pemkot membuat diskresi.

Menurutnya, kebijakan Surabaya sebelum adanya pemberlakuan Peraturan Menteri (Permen) sudah baik.

"Peraturan Menteri ini kan dibuat untuk memastikan kesejahteraan pegawai. Sedangkan di Surabaya selama ini sudah baik, bahkan jauh di atas ketentuan ini," katanya.

"Kalau Permen tersebut dipakai di luar Surabaya, mungkin masih relevan sebab di sana gaji masih di bawah (UMK). Namun, apakah hal ini juga perlu diterapkan di Surabaya?," keluhnya.

Imbas penyesuaian honor tersebut, pegawai jadi kebingungan. Sekalipun, tak banyak yang bisa dilakukan.

"Kami diam bukan berarti kami terima. Selama ini banyak pegawai yang resah namun tidak berani berteriak," katanya.

"Teman-teman tidak protes karena khawatir massa kerja mereka tidak diperpanjang. Karenanya, kami hadir di sini mewakili mereka," katanya.

Tuntutan ketiga, mereka meminta kepastian pengangkatan honorer menjadi ASN.

Jelang penghapusan tenaga honorer oleh pemerintah pusat akhir 2023, mereka mengingatkan pemerintah untuk memprioritaskan pengangkatan honorer menjadi ASN.

"Terutama, teman-teman yang sudah lama menjadi honorer. Sudah mau pensiun, tapi nasib kita belum juga jelas," kata pria yang sudah 35 tahun bekerja sebagai honorer tersebut.

Kehadiran mereka lantas diterima Anggota Komisi A DPRD Surabaya, Tri Didik Adiono. Pria yang akrab disapa Didik Bledek ini, akan melanjutkan aspirasi tersebut kepada pemerintah.

"Kebijakan (penyesuaian gaji), bukan semata-mata kebijakan pemkot. Namun, ada aturan dari pusat. Nah, aspirasi dari teman-teman ini baik namun kita juga perlu meninjau payung hukumnya," kata Didik yang juga Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.

DPRD Surabaya bukan kali ini saja bertemu dengan perwakilan pegawai non-ASN.

Pada awal Februari, Komisi D DPRD Surabaya yang membidangi Kesejahteraan Rakyat juga telah menerima perwakilan pegawai karena masalah yang sama.

Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Khusnul Khotimah, mengungkap ada berbagai persoalan yang seharusnya segera dituntaskan pemerintah.

Di antaranya, kurangnya sosialisasi aturan ini, besaran gaji yang berbeda, hingga berbagai masalah lainnya.

"Ada selisih antara pegawai satu dengan yang lainnya. Ini didasarkan apa? Tolong ini disampaikan. Seharusnya, sosialisasi jauh dilakukan setahun sebelumnya, bukan langsung diterapkan di awal tahun," katanya.

Sekali pun demikian, Khusnul masih cukup optimis penyesuaian gaji ini tak akan menggangu kinerja di lapangan. Khususnya, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

"InsyaAllah tidak. Terpenting, masukan dari teman-teman (honorer) ini didengar kemudian dijelaskan. Sehingga, tak memunculkan miss-persepsi," katanya.

"Selain itu, beban kerja juga sudah dihitung. Seharusnya hal ini tak akan berpengaruh sepanjang aturan tersebut disosialisasikan dengan baik," katanya.

Soal mekanisme penghapusan tenaga honorer, pihaknya berharap agar pemerintah tetap memprioritaskan mempertahankan pegawai honorer yang telah lama bekerja.

"Setiap tahun, banyak ASN yang pensiun. Artinya SDM berkurang," katanya

"Nah, akhirnya Pemerintah mengambil tenaga non-ASN. Nah, kami berharap kepada pegawai yang sudah mengabdi puluhan tahun di instansi Pemkot Surabaya ini bisa diangkat (sebagai ASN)," kata politisi PDI Perjuangan ini.

Baginya, kepastian nasib untuk honorer itu penting. "Bisa dengan perjanjian kerja (Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK)) atau bahkan PNS. Ini bergantung dengan kemampuan anggaran negara," katanya.

"Sebab, mereka ini sudah mengabdi cukup lama. Artinya, loyalitas, kualitas, maupun kinerja tak perlu diragukan. Nah, ini harus ada kepastian, mereka akan menjadi PPPK atau PNS," katanya.

Terkait kebijakan tersebut, Pemkot Surabaya menegaskan bahwa mereka patuh terhadap aturan Permenkeu.

Di hadapan DPRD, Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Surabaya menegaskan Pemkot harus menjalankan aturan tersebut.

Pun demikian pula dengan Dinas Pendidikan Surabaya. "Kami melaksanakan itu. Aturan kontrak yang perorangan, mau nggak mau mengikuti itu (peraturan menteri). (Gaji) yang TU, yang administrasi sekolah ya seperti itu.

Peraturan dari pusat seperti itu," kata Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Yusuf Masruh dikonfirmasi terpisah

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved