Ia menambahkan, dalam UU TPKS, tak memungkinkan adanya proses damai.
"UU TPKS tidak memungkinkan adanya upaya proses damai yang ditawarkan oleh pelaku. Kami mendukung penuh atas kebijakan Polda Maluku yang tetap melanjutkan penyidikan terhadap pelaku.
Bupati Maluku Tenggara Muhammad Thaher Hanubun. (Kolase)
Jika saat ini ada informasi tentang pencabutan laporan oleh korban kami berharap agar penyidikan bisa tetap dilanjutkan karena aparat polisi sudah memiliki bukti pemeriksaan sebelumnya," ucap Bintang.
Ia menambahkan, UU TPKS ada sebagai bukti bahwa negara serius dalam melindungi korban kekerasan seksual.
"UU TPKS hadir sebagai bukti negara serius melindungi para korban kekerasan seksual khususnya kelompok rentan perempuan dan anak-anak. Ancaman pidana UU TPKS terhadap pelaku sudah tepat," tegas dia.
Muhammad Thaher Hanubun merupakan mantan anggota DPRD Provinsi Maluku pada 2013 dari Fraksi PAN.
Kini, Thaher Hanubun menjabat sebagai Bupati Maluku Tenggara setelah tiga kali ikut bertarung dalam pemilihan bupati dan wakil bupati, namun selalu kalah.
Thaher Hanubun menjabat Bupati Maluku Tenggara sejak 31 Oktober 2018.
M Thaher Hanubun kelahiran Danar Ternate, Maluku Tenggara, pada 3 Agustus 1958.
Diketahui, M Thaher Hanubun memiliki istri bernama Eva Eliya yang saat ini menjadi Bunda Literasi dan sekaligus Ketua TP PKK Kabupaten Maluku Tenggara.
Sebelumnya, M Thaher Hanubuan profesi sebagai guru di salah satu SMA di Jakarta dan terjun ke politik menjadi anggota DPRD Maluku Tenggara 2013.
M Thaher Hanubuan berpasangan dengan Petrus Beruatwarin yang didukung empat partai, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam Pilkada tahun 2018.
Muncul kontroversi hingga dilakukan pemungutan suara ulang
Saat pilkada 2018, Panwaslu Kabupaten Maluku Tenggara menemukan pelanggaran berupa tidak ditandatanginya daftar hadir pemilih oleh pemilih di 2 TPS.
Panwaslu kemudian mengeluarkan rekomendasi pada 27 Juni 2018 untuk TPS 1 Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat dan pada 29 Juni 2018 untuk TPS 14 Kelurahan Ohoijang-Watdek, Kecamatan Kei Kecil. KPU Kabupaten Maluku Tenggara menindaklanjuti rekomendasi tersebut dengan menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU) pada 1 Juli 2018 di 2 TPS tersebut.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Hasil pleno KPU Kabupaten Maluku Tenggara tentang rekapitulasi suara dalam Pilakda Maluku Tenggara 2018 digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya, Paslon lain meminta MK untuk membatalkan hasil pleno tersebut dan mendiskualifikasi paslon M Thaher Hanubuan dan Petrus Beruatwarin.
Hal itu karena diduga telah terjadi kecurangan berupa penambahan suara fiktif yang menguntungkan paslon tersebut.
MK kemudian menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima karena paslon lain dinilai tidak memiliki kedudukan hukum terkait dengan persyaratan jumlah minimal selisih suara antar-paslon.
Amar putusan yang dibacakan MK pada 10 Agustus 2018 sekaligus memperkuat kemenangan Muhammad Thaher Hanubun dan Petrus Beruatwarin dalam Pilkada Maluku Tenggara 2018.
Kecaman dari Berbagai Pihak
Kabar pernikahan antara korban dengan terduga pelaku tersebut pun mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Satu di antaranya komunitas pemerhati perempuan, Ina Mollucas Watch (IMW).
Pihak IMW mengaku geram terkait kabar Thaher Hanubun menikahi korban pelecehan seksual.
Ketua Bidang Advokasi IMW, Hijrah mengatakan, jika kabar pernikahan tersebut benar, maka publik akan merasa kinerja polisi gagal dalam memberikan perlindungan kepada korban.
Padahal, perlindungan korban kekerasan seksual sudah tertulis dalam Pasal 42 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Informasi ini harus segera diklarifikasi kebenarannya oleh pihak Polda Maluku. Dimana saat ini keberadaan korban? Apakah benar korban berada dibawah kendali orang-orang yang punya keterkaitan dengan terduga pelaku? Apakah ada tindakan-tindakan yang menghambat proses hukum?," kata Hijrah seperti yang diberitakan TribunAmbon.com.
Pihaknya juga mempertanyakan kinerja Kapolda Maluku dalam menegakkan UU TPKS dari sisi perlindungan korban.
“Apakah ada main mata dan membiarkan korban dibawah kendali pihak lain?” tanya Hijrah.
Ia menambahkan, jika kepolisian tidak mampu melindungi korban, maka pihak kepolisian wajib mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Sehingga disini kami sedang mengukur kualitas penanganan institusi Polda Maluku dalam menyelidiki kasus ini sesuai ketentuan pasal-pasal yang ada, apakah polisi sebagai penegak hukum takluk dan tunduk ketika menghadapi posisi terduga pelaku yang memiliki jaringan kekuatan dan kekuasaan? Ini harus segera terjawab," tandasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.