Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Sejarah Pasar Besar Malang yang Erat dengan Masyarakat Kota Malang, Berdiri Sejak Masa Kolonial

Jauh sebelum Kota Malang berdiri, aktivitas pasar sudah hidup. Kegiatan perdagangan di pasar itu didominasi oleh etnis Tionghoa

Penulis: Benni Indo | Editor: Samsul Arifin
TribunJatim.com/Benni Indo
PUNYA NILAI SEJARAH - Papan nama Pasar Besar Kota Malang yang terletak di bagian Utara, Kamis (30/1/2025). Keberadaan pasar ini tidak lepas dari sejarah lahirnya Kota Malang. Sejarawan Dwi Cahyono menyarankan Pemkot Malang bisa menjaga nilai sejarah jika hendak merevitalisasi pasar. 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Benni Indo

TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Pasar Besar Malang memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan masyarakat Kota Malang.

Jauh sebelum Kota Malang berdiri, aktivitas pasar sudah hidup. Kegiatan perdagangan di pasar itu didominasi oleh etnis Tionghoa.

Sejarawan Dwi Cahyono menceritakan, sebelum disebut pasar gede atau pasar besar, nama yang akrab didengar saat itu adalah pasar pecinan kecil.

Sebutan ini bukan tanpa sebab, pasalnya sudah ada pasar pecinan besar terlebih dahulu.

Pasar pecinan besar membentang dari kawasan jembatan bug gludug hingga ke Stasiun Kota Lama. Pedagang dari etnis tionghoa mendominasi kawasan perdagangan ini.

Baca juga: Diskopindag Anggap Wajar Penolakan Pembangunan Pasar Besar Malang: Belum Memahami Kondisi

Seiring bertambahnya penduduk, pemukiman mulai rapat.

Orang-orang mulai mencari tempat baru yang terletak di sebelah selatan Alun-alun Kabupaten Malang, yang sekarang menjadi lokasi Pasar Besar Malang. Tempat baru ini disebut pasar pecinan kecil waktu itu.

“Dulu di masa kolonial, ketika awal pasar didirikan, itu sebutannya pasar pecinan kecil. Yang awal pasar pecinan besar mulai dari bug gludug sampai ke Kota Lama. Itu Pecinan besar. Lalu munculah percabangan jalan, yaitu di sekitar perempatan kelenteng. Sebenarnya, jalan ini sudah ada, kemudian jalan ini menguatkan. Dalam situasi segregasi sosial, Belanda juga tidak ingin terjadi konflik yang pernah terjadi dengan masyarakat tionghoa. Maka dari itu, masyarakat tionghoa saat itu dikelompokan di pasar pecinan kecil,” kata Dwi.

Baca juga: Hippama Tolak Pembongkaran Pasar Besar Malang, Singgung Status Wakil Ketua dan Pernyataan Ilegal

Dijelaskan Dwi Cahyono, seiring bertambahnya tahun, pasar pecinan kecil berubah menjadi sentra. Momentum lahirnya Kota Malang pada 1914 semakin menguatkan posisi pasar pecinan kecil menjadi pasar gede atau pasar besar. Pasar pecinan kecil menggantikan pasar Katemenggungan yang kini bernama Pasar Kebalen. 

“Pasar ini kemudian menjadi pusat karena di empat penjuru Kota Malang sudah ada. Ada Pasar Blimbing di utara, Pasar Sukun, Dinoyo, termasuk Pasar Bunul,” katanya.

“Nah pasar besar ada di tengah, bisa diposisikan sebagai pasar utamanya Kota Malang. Disebut Pasar Besar,” urainya.

Baca juga: Sidak Anggota Komisi B DPRD Kota Malang ke Pasar Besar, ini Hasilnya

Di masa awal pasar besar beroperasi, bangunannya hanya terdiri atas satu lantai. Tidak ada sekat antar pedagang. Pasar besar banyak menjual barang-barang yang beragam dengan jumlah lebih banyak dibanding pasar lainnya yang berada di pinggiran.

Pintu masuk pasar berada di utara. Posisinya berada di tengah bangunan. Di bagian depan pasar, ada sedikit lahan yang biasa digunakan untuk parkir kendaraan. 

Berbicara perihal konsep pembangunan pasar yang direncanakan Pemerintah Kota Malang dengan gara heritage, Dwi mengatakan perlunya sebuah diskusi yang serius terlebih dahulu. Sejauh ini Dwi belum mengetahui informasi apapun mengenai konsep heritage yang hendak dikembangkan oleh pemerintah.

Baca juga: Dua Paguyuban Pedagang di Pasar Besar Malang Sepakat Dukung Perbaikan Total, Ajukan 2 Syarat

Dwi Cahyono menjelaskan, bentuk utuh bangunan awal Pasar Besar Malang sudah berubah. Bentuk bangunan yang berdiri sekarang merupakan generasi ketiga yang dibangun di masa Orde Lama.

Dwi mempertanyakan, jika Pemkot Malang hendak membangun pasar dengan konsep heritage, maka referensi heritage mana yang akan diambil. Apakah bentuk awal pasar berdiri atau setelah adanya perbaikan.

“Kalau mau yang heritage, ya satu lantai tapi itu tidak memungkinkan kalau mendengar rencana pembangunan kali ini akan didesain menjadi dua lantai,” ujarnya.

Baca juga: Harga Cabai Di Pasar Besar Kota Malang Semakin Pedas, Tembus Rp 110 Ribu per kilogram

Dwi Cahyono berpendapat, konsep heritage yang diharapkan Pemkot Malang bertujuan untuk menarik wisatawan semata, bukan berpaku pada sejarah berdirinya pasar tersebut. Sama halnya seperti yang dikembangkan di kawasan Kayutangan.

“Nah oleh karena itu, kalau desain dua lantai tidak betul-betul heritage, ini kan harus dibuat duplikatnya karena bukan melestarikan pasar lama. Pasar lama sudah hilang sama sekali. Hanya saja, duplikatnya pun tidak sama persis karena dikemas dua lantai. Kalau mau seperti pacinan kecil mestinya satu lantai,” katanya.

Dwi Cahyono berharap Pemkot Malang tidak tergesa-gesa membuat desain heritage tanpa mendiskusikan dengan kelompok yang paham heritage. Ada nilai-nilai yang perlu dijaga atas keberadaan pasar itu. Pasar Besar Malang telah menjadi identitas yang terlepas dari masyarakat Kota Malang.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved