Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Pakar Soroti Deflasi Tahunan 2025, sebut Adanya Potensi Perlambatan Ekonomi

Setelah lebih dari dua dekade, Indonesia kembali mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Samsul Arifin
Istimewa
POTENSI PERLAMBATAN EKONOMI - Pakar ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR) Prof  Dr Sri Herianingrum SE Msi menjelaskan bahwa fenomena deflasi tahunan menunjukkan adanya potensi perlambatan ekonomi.  

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Fikri Firmansyah

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Setelah lebih dari dua dekade, Indonesia kembali mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa kondisi itu dipicu oleh berbagai faktor, termasuk diskon tarif listrik serta penurunan harga sejumlah komoditas pangan seperti beras, tomat, dan cabai merah.

Pakar ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR) Prof  Dr Sri Herianingrum SE Msi menjelaskan bahwa fenomena deflasi ini menunjukkan adanya potensi perlambatan ekonomi. Berdasarkan data BPS, deflasi bulanan pada Januari 2025 mencapai 0,76 persen, sementara pada Februari 2025 tercatat 0,48 persen.

“Data untuk Maret masih menunggu rilis pada April, terutama karena dampak Ramadan yang biasanya memicu inflasi. Sebagai perbandingan, pada Ramadan 2023 terjadi inflasi sebesar 0,16 persen, sementara pada 2024 meningkat menjadi 0,52 persen,” jelasnya, Senin (17/3/25).

Stok Berlebih

Menurut Prof Sri, kondisi pasar saat ini menunjukkan adanya oversupply pada sejumlah komoditas primer seperti minyak goreng dan telur.

Baca juga: Diskon Tarif Listrik Beri Dampak Deflasi di Kota Malang pada Januari 2025

Hal ini terjadi karena produk-produk tersebut tidak terserap sepenuhnya oleh pasar, menyebabkan penurunan harga yang signifikan.

“Misalnya, harga telur yang sempat melonjak hingga Rp29.000 per kilogram pada Desember 2024, turun drastis sekitar 30 persen setelah tahun baru. Penurunan daya beli masyarakat terlihat jelas, terutama di pasar tradisional yang biasanya ramai menjelang buka puasa namun kini lebih sepi dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Risiko Ekonomi

Deflasi yang berlangsung dalam jangka waktu lama menandakan adanya penurunan permintaan yang signifikan, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ketika daya beli melemah, transaksi ekonomi berkurang, dan produsen kesulitan menjual barang, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pengurangan produksi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika tren ini terus berlanjut, deflasi dapat menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis. 

Baca juga: 5 Bulan Deflasi, Kota Kediri Catatkan Inflasi di Oktober 2024, Komoditas Pangan Penyumbang Tertinggi

Kebijakan Pemerintah

Dari sisi kebijakan, Prof Sri menekankan perlunya strategi moneter dan fiskal yang tepat. Kebijakan moneter dapat diarahkan untuk meningkatkan jumlah uang beredar, seperti melalui penurunan suku bunga guna mendorong aktivitas di sektor riil.

“Sementara itu, kebijakan fiskal perlu difokuskan pada peningkatan daya beli masyarakat dan dukungan terhadap sektor UMKM. Pemerintah juga harus memastikan bahwa investasi yang dilakukan memiliki dampak langsung terhadap pemulihan ekonomi, bukan justru membebani anggaran negara,” tuturnya.

Ia juga mencermati bahwa faktor ketidakpastian pasca-pemilu turut memengaruhi perilaku belanja masyarakat. 

Banyak yang memilih untuk menahan pengeluaran karena minimnya kepastian ekonomi, baik karena keterbatasan dana maupun kekhawatiran terhadap kondisi keuangan di masa depan. 

Oleh karena itu, kebijakan stimulus yang lebih intensif diperlukan agar roda perekonomian dapat kembali bergerak dan kepercayaan masyarakat terhadap pasar kembali pulih.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved