Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Arti Dwifungsi ABRI yang Dikaitkan dengan Revisi UU TNI, Bisa Beri Dampak Negatif Bagi Masyarakat

Revisi UU TNI oleh sejumlah pihak dikhawatirkan dapat mengembalikan dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI. Apa yang dimaksud dengan dwifungsi ABRI?

KOMPAS.com/Singgih Wiryono
DWIFUNGSI ABRI - 3 Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan saat mencoba masuk ruang rapat Panja Revisi UU TNI DPR-RI dan Kemenhan di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025). Simak makna dwifungsi ABRI yang dikaitkan dengan Revisi UU TNI. 

TRIBUNJATIM.COM - Berikut ini arti dwifungsi ABRI yang dikaitkan dengan Revisi UU TNI.

Lengkap dengan dampak penerapan dwifungsi ABRI.

Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Republik Indonesia (TNI) oleh sejumlah pihak dikhawatirkan dapat mengembalikan dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI.

Pemerintah dan DPR RI diketahui tengah menyiapkan revisi UU TNI yang akan menambah usia dinas keprajuritan serta menambah keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil.

Kekhawatiran revisi UU TNI menghidupkan dwifungsi ABRI itu pun membuat publik meminta kepada panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI menghentikan pembahasan itu.

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dwifungsi ABRI dan seperti apa kaitannya dengan revisi UU TNI?

Baca juga: 3 Poin Revisi UU TNI yang Disahkan oleh DPR RI, Cakupan Tugas Pokok TNI hingga Batas Usia Pensiun

Apa itu dwifungsi ABRI?

Dwifungsi ABRI merupakan kebijakan yang mengatur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki dua fungsi, dikutip dari Kompas.com (31/12/2020).

Dwifungsi ABRI membuat angkatan bersenjata Indonesia memiliki fungsi sebagai kekuatan militer Indonesia dan fungsi sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara.

Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berasal dari lembaga angkatan bersenjata gabungan TNI dan Polri yang dibentuk Presiden Soekarno.

Diberitakan Antara (3/12/2024), Soekarno mengeluarkan Tap MPRS Nomor II dan III tahun 1960 yang menyatakan ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara.

Pada 1960-an, ABRI yang meliputi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian berada dalam satu organisasi departemen pertahanan dan keamanan.

Penyatuan kekuatan ABRI dilakukan guna mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan peran, serta tidak mudah terpengaruh kepentingan kelompok politik tertentu.

Saat Presiden Soeharto menjabat pada 1968, ABRI mulai terlibat dalam politik sehingga menerapkan dwifungsi ABRI yang digagas oleh A.H. Nasution pada masa Orde Baru.

Konsep ini membuat militer berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara sekaligus berpartisipasi dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Namun, TNI dan Polri kembali dipisah pada 1 April 1999. Hal ini sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999.

Dilansir dari Kompas.com, Minggu (16/3/2025), dwifungsi ABRI benar-benar dihapus pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Dwifungsi ABRI dihapus dengan mereformasi TNI. Perubahan itu mulai diberlakukan pada Pemilu 2004 dengan harapan selesai diterapkan pada Pemilu 2009.

Baca juga: PC PMII Bondowoso Tegaskan Tolak RUU TNI : Berpotensi Kembalikan Dwi Fungsi Militer

Dampak penerapan dwifungsi ABRI

DWIFUNGSI ABRI - 3 Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan saat mencoba masuk ruang rapat Panja Revisi UU TNI DPR-RI dan Kemenhan di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025). Simak makna dwifungsi ABRI yang dikaitkan dengan Revisi UU TNI.
DWIFUNGSI ABRI - 3 Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan saat mencoba masuk ruang rapat Panja Revisi UU TNI DPR-RI dan Kemenhan di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025). Simak makna dwifungsi ABRI yang dikaitkan dengan Revisi UU TNI. (KOMPAS.com/Singgih Wiryono)

Presiden Soeharto mengesahkan dwifungsi ABRI pada 1982 melalui UU Nomor 20 Tahun 1982, diberitakan Kompas.com (25/4/2022).

Kebijakan itu membuat ABRI mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif Orde Baru. Sejak 1970-an, banyak perwira ABRI menjadi anggota DPR, MPR serta DPD tingkat provinsi.

Dwifungsi ABRI juga berperan penting dalam mengendalikan arah politik dari organisasi Golkar.

Pada masa Orde Baru, banyak perwira ABRI diangkat menjadi kepala pejabat. Contohnya, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang merupakan Jenderal KKO Angkatan Laut.

Setelah Ali Sadikin purnatugas, posisinya digantikan mantan jenderal di Angkatan Darat, Tjokropranolo.

Sayangnya, penerapan Dwifungsi ABRI mengalami penyimpangan bahkan memberikan dampak negatif bagi masyarakat.

Salah satu dampak dwifungsi ABRI, warga sipil tidak mendapatkan tempat bekerja pada bidang pemerintahan. Sebab, banyak anggota ABRI yang menjabat di pemerintahan.

Puncak kejayaan ABRI terjadi pada 1990-an. Anggota ABRI saat itu banyak mengisi jabatan pemerintahan, seperti bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, dan menteri kabinet Soeharto.

Kemudian, keterlibatan ABRI dalam kehidupan sosial politik mengakibatkan militer berubah menjadi alat kekuasaan rezim untuk melakukan pembenaran atas kebijakan pemerintah.

Pasukan militer dipakai pemerintah untuk menegakkan kebijakan kepada warga. Namun, kekuasaan ini menyebabkan marak tindak kekerasan yang berujung ke pelanggaran HAM.

Baca juga: Ketum PDIP Megawati Singgung Pemerintah Bertindak Bak Zaman Orde Baru: Ibu Udah Gemas Benar

Dwifungsi ABRI bangkit lewat UU TNI

Pengamat hukum tata negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai revisi UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI.

"Ya revisi UU TNI ini sangat berpotensi menghidupkan dwifungsi ABRI," ujar Bivitri saat dimintai tanggapan Kompas.com, Minggu (16/3/2025).

Dwifungsi ABRI dianggap bisa muncul lagi setelah revisi UU TNI akan membolehkan prajurit aktif mengisi jabatan sipil di 16 kementerian dan lembaga negara.

Menurut Bivitri, TNI berpotensi mengalami dwifungsi militer jika terlibat politik praktis dan tidak hanya mengemban tugas utama pada sektor pertahanan Indonesia.

"Dwifungsi tentara itu artinya ketika tentara tidak hanya di sektor pertahanan, tapi juga di sektor politik dan bisnis," terangnya.

Padahal menurut Bivitri, Pasal 30 UUD 1945 mengatur TNI menjadi alat negara yang hanya berwenang pada bidang pertahanan dari luar perbatasan Indonesia.

TNI sebagai alat pertahanan harusnya mengurusi Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) untuk pertahanan, bukan memasuki ranah keamanan, bisnis, politik, serta urusan dalam negeri.

TNI yang menerapkan dwifungsi militer berpotensi menimbulkan kekerasan ke sipil, pendapat warga tidak didengarkan, bahkan mengubah negara demokratis Indonesia menjadi otoriter.

"Memang TNI harus kembali ke barak (sebagai) alat negara di bidang pertahanan. TNI harus hanya mengurusi pertahanan, tidak ada urusan politik, bisnis dan lain-lainnya," tegas Bivitri.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Berita Viral dan Berita Jatim lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved