Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Viral Internasional

39.000 Warga Israel Tuntut PM Benjamin Netanyahu untuk Ganti Rugi Rumah yang Rusak Diserang Iran

Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dihadapkan dengan tuntutan hampir 39.000 warga Israel yang mengajukan klaim ganti rugi kepada negara.

Editor: Torik Aqua
khaberni/tangkap layar via Tribunnews
GANTI RUGI - Penampakan rudal-rudal Iran di langit Tel Aviv, Israel pada Sabtu (14/6/2025). Meski sejumlah rudal bisa ditangkal, beberapa rudal Iran menghantam sejumlah fasilitas di Israel tengah, termasuk Tel Aviv. PM Israel Benjamin Netanyahu didesak untuk mengganti rugi rumah warga yang rusak. 

TRIBUNJATIM.COM - Tekanan besar dialami Israel di tengah perang dengan Iran.

Kini, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dihadapkan dengan tuntutan hampir 39.000 warga Israel yang mengajukan klaim ganti rugi kepada negara.

Mereka mendesak agar mendapatkan ganti rugi dari negara.

Hal itu atas kerusakan ribuan rumah, kendaraan, dan properti pribadi akibat serangan rudal dan drone yang ditembakkan Iran selama serangan balasan beberapa pekan lalu.

Baca juga: Dampak Perang Iran-Israel, Kepulangan Jemaah Haji Banyuwangi dan Pamekasan Ditunda Demi Keamanan

PERANG IRAN ISRAEL - Iran menyerang balik usai dirudal terlebih dahulu oleh Israel pada Jumat (13/6/2025) dini hari waktu setempat. Dunia lantas bereaksi terhadap serangan ini. Mayoritas mengecam, termasuk Indonesia.
PERANG IRAN ISRAEL - Iran menyerang balik usai dirudal terlebih dahulu oleh Israel pada Jumat (13/6/2025) dini hari waktu setempat. Dunia lantas bereaksi terhadap serangan ini. Mayoritas mengecam, termasuk Indonesia. (YouTube.com/Al Jazeera English dan Dok. MehrNews)

Data yang dilaporkan surat kabar Israel Yedioth Ahronoth, mengutip dari Anadolu mencatat sebanyak 38.700 klaim telah diajukan ke Badan Pajak Israel melalui Dana Ganti Rugi sejak 13 Juni 2025.

Di antara klaim tersebut terdapat 30.809 permintaan ganti rugi bangunan, 3.713 permintaan ganti rugi kendaraan,

Serta 4.085 klaim permintaan ganti rugi peralatan dan barang lainnya, buntut serangan balasan Iran mulai mengguncang wilayah permukiman di Israel.

Sementara itu, situs web Israel Behadrei Haredim melaporkan bahwa lebih dari 24.932 klaim diajukan di Tel Aviv di Israel tengah saja, diikuti oleh kota selatan Ashkelon dengan 10.793 klaim.

Otoritas setempat memperkirakan masih banyak warga yang belum mengajukan klaim karena kendala akses dan verifikasi data lapangan yang masih berlangsung.

"Ada perkiraan bahwa ribuan bangunan lainnya mengalami kerusakan, tetapi belum ada klaim kompensasi yang diajukan untuk mereka," sebut surat kabar Israel Yedioth Ahronoth.

Netanyahu Bungkam soal Tuntutan Ganti Rugi
 
Belum ada pengumuman resmi dari pihak pemerintah maupun PM Netanyahu terkait total anggaran yang disiapkan untuk membayar kompensasi tersebut.

Sementara itu, kantor perdana menteri belum memberikan jadwal atau pernyataan resmi soal kapan bantuan akan dicairkan, ataupun langkah pemerintah dalam mengatasi beban administratif dari puluhan ribu klaim yang terus masuk.

Dalam beberapa pernyataan publik terakhirnya, Netanyahu justru menekankan bahwa Israel telah mencapai kemenangan strategis atas Iran.

Pada konferensi pers 24 Juni, ia menyatakan bahwa dua ancaman eksistensial negara telah dinetralisir: program nuklir dan rudal balistik Iran.

“Israel telah meraih kemenangan historis. Kami menghapus ancaman nuklir Iran dan memperlemah kemampuan militernya,” ujar Netanyahu. “Ini bukan hanya kemenangan militer, tapi juga untuk keamanan generasi mendatang.”

Pernyataan itu disampaikan hanya beberapa jam setelah diumumkannya gencatan senjata yang dimediasi langsung oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Ketidakhadiran tanggapan langsung dari Netanyahu telah menuai sorotan dari sejumlah politisi oposisi dan warga terdampak.

Beberapa kelompok masyarakat sipil menyebut pemerintah terkesan lebih fokus pada kemenangan diplomatik ketimbang nasib rakyat yang kehilangan tempat tinggal.

Perang Lawan Iran Bikin Kantong IsraelJebol

Perang udara selama 12 hari antara Israel dan Iran tidak hanya memakan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, tetapi juga membebani keuangan negara secara drastis.

Laporan dari Financial Express mengungkapkan bahwa Israel menghabiskan sekitar 5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 81 triliun hanya dalam minggu pertama serangan ke Iran.

Tak hanya itu setiap malam, Israel menghabiskan sedikitnya 285 juta dolar AS hanya untuk sistem pertahanan rudal seperti Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow demi menghadapi gelombang rudal balistik dari Iran

Buntut lonjakan biaya perang Israel dengan Iran yang berkecambuk, Anggaran militer Israel dilaporkan membengkak drastis.

Sebelum perang pecah, anggaran militer Israel berada di kisaran 60 miliar shekel sekitar 16 miliar dolar AS.

Namun sejak konflik melawan Iran dimulai, angka ini melonjak menjadi sekitar 118 miliar shekel atau mencapai 31 miliar dolar AS.

Artinya, anggaran pertahanan nyaris dua kali lipat hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.

Di luar biaya langsung untuk persenjataan dan operasi, upaya perang juga mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Otoritas Pajak Israel bahkan harus membayar 2,4 miliar shekel (Rp 11 triliun) untuk menutupi kerusakan properti sipil antara Januari dan Mei 2025, dengan total penarikan dana mencapai 3 miliar shekel (Rp 13,8 triliun).

Imbasnya defisit anggaran membesar menjadi sekitar 4,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Kerugian juga dialami jika Selat Hormuz diblokade

Konflik Israel dan Iran masih menjadi sorotan dunia.

Kini kemungkinan Iran memblokade Selat Hormuz akan membawa dampak besar.

Jika skenario ini terjadi, dampaknya akan dirasakan luas, terutama oleh negara-negara Asia yang sangat bergantung pada jalur perdagangan minyak mentah ini.

Data dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) menyebutkan, sekitar 14,2 juta barel minyak mentah dan 5,9 juta barel produk minyak bumi melewati Selat Hormuz setiap hari.

Jumlah tersebut mewakili sekitar 20 persen dari pasokan minyak global pada kuartal pertama tahun ini.

Dari angka itu, sekitar 84 persen ditujukan ke kawasan Asia.

Baca juga: Israel dan Iran Masih Saling Serang, Akhirnya Gencatan Senjata Trump Goyah, Ini Kata Menlu Iran

Minyak yang melintasi selat sempit antara Iran dan Oman ini sebagian besar berasal dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, Qatar, dan Iran, dan hampir seluruhnya menggunakan jalur tersebut sebagai rute utama ekspor.

Berikut ini dampak yang mungkin terjadi pada negara-negara utama di Asia jika jalur Selat Hormuz terganggu, informasi dirangkum dari AFP pada Senin (23/6/2025), dikutip dari Kompas.com.

China: Pembeli terbesar

China menjadi negara Asia yang paling terdampak karena merupakan pembeli minyak terbesar dari kawasan Teluk melalui Selat Hormuz.

Menurut EIA, China mengimpor sekitar 5,4 juta barel minyak mentah per hari melalui selat ini pada kuartal pertama 2025.

Arab Saudi merupakan pemasok utama kedua bagi China, menyuplai sekitar 15 persen dari total impor minyak, atau sekitar 1,6 juta barel per hari.

Selain itu, lebih dari 90 persen ekspor minyak Iran juga dibeli oleh China, berdasarkan data firma analisis energi Kpler.

Pada April lalu, China mengimpor sekitar 1,3 juta barel minyak Iran per hari, sedikit menurun dibandingkan bulan Maret.

Peta Selat Hormuz. PT Pertamina (Persero) mengalihkan jalur pelayaran pengiriman minyak mentah dari Timur Tengah ke Indonesia menyusul meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan, khususnya rencana penutupan Selat Hormuz oleh Iran.
Peta Selat Hormuz. PT Pertamina (Persero) mengalihkan jalur pelayaran pengiriman minyak mentah dari Timur Tengah ke Indonesia menyusul meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan, khususnya rencana penutupan Selat Hormuz oleh Iran. (Wikimedia Commons)

India: Diversifikasi meski masih tergantung

India juga sangat bergantung pada Selat Hormuz.

Data EIA menunjukkan, negara ini mengimpor sekitar 2,1 juta barel per hari melalui selat tersebut. 

Sekitar 53 persen kebutuhan minyak India masih disuplai dari Timur Tengah, terutama dari Irak dan Arab Saudi.

Namun, demi mengurangi ketergantungan, India telah memperluas impor minyak dari Rusia selama tiga tahun terakhir.

Menteri Perminyakan dan Gas Alam India, Hardeep Singh Puri, menyatakan, pemerintah terus memantau situasi di Timur Tengah.

"Kami telah mendiversifikasi pasokan kami dalam beberapa tahun terakhir dan sebagian besar pasokan kami tidak datang melalui Selat Hormuz sekarang," tulisnya di platform X.

"Kami akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas pasokan bahan bakar bagi warga kami," jelas dia.

Korea Selatan: Siaga darurat

Berdasarkan catatan EIA, sekitar 68 persen impor minyak Korea Selatan, atau 1,7 juta barel per hari, juga melewati Selat Hormuz.

Arab Saudi menjadi pemasok utama dengan kontribusi sekitar sepertiga dari total impor minyak negeri itu pada tahun lalu.

Kementerian Perdagangan dan Energi Korea Selatan mengaku telah menyiapkan langkah antisipasi jika pasokan terganggu.

"Pemerintah dan pemangku kepentingan industri telah bersiap menghadapi keadaan darurat dengan menjaga cadangan minyak strategis yang setara dengan pasokan sekitar 200 hari," bunyi pernyataan resmi kementerian.

Baca juga: Presiden AS Donald Trump Bantah Pernyataan Resmi Intelijennya Sendiri Soal Pengembangan Nuklir Iran

Jepang: Hampir semua dari Timur Tengah

Jepang mengimpor sekitar 1,6 juta barel minyak mentah per hari melalui Selat Hormuz.

Data bea cukai menunjukkan 95 persen impor minyak Jepang tahun lalu berasal dari negara-negara Timur Tengah.

Perusahaan pelayaran besar seperti Mitsui OSK menyatakan telah mengurangi waktu pelayaran kapal di wilayah Teluk untuk meminimalkan risiko.

"Saat ini kami sedang mengambil langkah-langkah untuk mempersingkat waktu yang dihabiskan kapal-kapal kami di Teluk sebanyak mungkin," ujar perusahaan tersebut kepada AFP.

Negara Asia dan kawasan lain

Selain negara-negara besar tersebut, sekitar 2 juta barel minyak mentah per hari yang melintasi Selat Hormuz juga ditujukan ke negara-negara lain di Asia, seperti Thailand dan Filipina.

Sementara itu, Eropa menerima sekitar 0,5 juta barel, dan Amerika Serikat sekitar 0,4 juta barel per hari.

Alternatif terbatas

Meskipun negara-negara Asia dapat mencoba mendiversifikasi sumber pasokan, menggantikan volume besar dari Timur Tengah bukan hal yang mudah.

Menurut analisis dari MUFG Bank, dalam jangka pendek, persediaan minyak global, kapasitas cadangan OPEC+, dan produksi minyak serpih AS bisa sedikit membantu meredam dampak.

Namun, mereka mengingatkan bahwa, penutupan penuh Selat Hormuz tetap akan berdampak pada aksesibilitas sebagian besar kapasitas produksi cadangan ini yang terkonsentrasi di Teluk Persia.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memang memiliki infrastruktur jalur pipa alternatif untuk menghindari selat tersebut, namun kapasitasnya terbatas pada sekitar 2,6 juta barel per hari.

Iran sendiri telah membangun jalur pipa Goreh-Jask untuk menyalurkan ekspor lewat Teluk Oman.

Namun, jalur ini telah tidak aktif sejak tahun lalu, dan kapasitas maksimumnya hanya 300.000 barel per hari, menurut EIA.

Apakah Indonesia terdampak?

Meski tidak disebut secara eksplisit dalam laporan EIA, sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia juga bisa merasakan efek tidak langsung, terutama jika harga minyak dunia melonjak akibat krisis di Selat Hormuz.


Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved