Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Tariske dan Barongan Jepaplok: Napas Budaya dari Lereng Wonosalam Jombang

Tariske Valentine merupakan perajin Barongan Jepaplok asal Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam, Jombang. Ia giat melestarikan warisan budaya.

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Dwi Prastika
Tribun Jatim Network/Anggit Puji Widodo
UMKM JOMBANG - Tariske Valentine (23) perajin Barongan Jepaplok asal Dusun Sanggar, Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, saat membuat barongan di rumahnya, Kamis (24/7/2025). Pesanan ramai menjelang bulan Agustus.  

Bukan sekadar produk seni, setiap karyanya sarat filosofi. Baginya, barong bukan tokoh sembarangan.

“Barong itu ibarat raja berwatak jahat. Ia memakai jamang atau mahkota bergambar naga liman gabungan paksi, naga, dan gajah. Semua itu lambang kekuatan besar, tapi belum tentu digunakan dengan bijak,” ungkapnya.

Pada prosesnya, pembuatan satu unit barongan bisa memakan waktu satu bulan, tergantung tingkat kerumitan.

Bagian tersulit, menurut Tariske, adalah membuat kepala barong.

“Presisi jadi kunci. Kanan kiri harus simetris. Kalau tidak seimbang, karakternya bisa berubah,” bebernya.

Bahan yang ia pakai pun tak sembarangan.

Kayu waru krisik dipilih karena ringan dan mudah dibentuk.

Setelah ukiran selesai, proses pengecatan dilakukan dengan kombinasi warna-warna mencolok agar tampil mencuri perhatian saat dipentaskan.

Harga satu barongan buatannya berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 7,5 juta. Itu belum termasuk kostum, yang biasa dipesan terpisah. 

Meski harga tak bisa dibilang murah, peminatnya justru datang dari berbagai daerah, mulai dari Jombang, Kediri, Mojokerto, hingga Kalimantan dan Sumatera.

Puncak pesanan biasanya terjadi menjelang bulan Agustus, bertepatan dengan musim pertunjukan seni rakyat dalam rangka HUT RI.

Dalam momen itu, Tariske tak hanya menjadi perajin, tapi juga penggerak budaya.

“Ramainya di bulan Juni sampai Agustus. Banyak yang butuh untuk pentas. Saya senang, artinya barongan masih dicari dan dihargai,” tuturnya.

Di tengah era digital dan budaya instan, pilihan Tariske untuk bertahan dengan kerajinan tradisional bukan hal mudah.

Tapi bagi pemuda ini, warisan budaya bukan untuk dikenang semata melainkan dijaga agar tetap hidup dan berkembang.

“Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Budaya Jawa itu kaya. Sayang kalau cuma jadi pajangan museum,” pungkasnya. 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved