Ia menyebut, penerapan tarif ini juga merupakan respons terhadap rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang meminta agar pembiayaan MCC tidak sepenuhnya ditopang oleh APBD.
Menurut BPK, pengelolaan MCC semestinya menghasilkan pendapatan daerah melalui skema retribusi atau penyewaan.
“Bahasa awamnya dari BPK, jangan sampai 100 persen pakai APBD karena MCC itu bisa disewakan, harus ada uang masuk ke situ,” terangnya.
Mengenai regulasi, Bayu menegaskan bahwa dasar hukum untuk penerapan tarif telah tersedia dalam Perda PRD. Perda tersebut mengatur secara teknis mengenai tarif sewa, seperti biaya per meter persegi, jenis ruang, dan skema sewa lainnya. Namun, Perda itu tidak membahas soal kapitalisasi atau mekanisme pembiayaan lainnya.
“Di Perda itu yang diatur lebih kepada item teknis sewanya saja. Soal kapitalisasi atau skema pembiayaan lainnya tidak diatur di situ,” jelasnya.
Bayu berharap, penerapan retribusi ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai potensi penerimaan dari MCC ke depannya. Data selama Agustus hingga Desember 2025 akan menjadi dasar untuk menyusun target retribusi pada tahun anggaran 2026.
“Harapannya, di 2026 kita sudah bisa melihat pola yang lebih jelas. Berapa kontribusi APBD dan berapa dari retribusi MCC, itu akan jadi acuan kami di Dewan,” tandasnya.
Dengan diberlakukannya tarif sewa, MCC diharapkan dapat lebih mandiri secara finansial dan tetap menjadi ruang kreatif produktif bagi masyarakat Kota Malang